Dalam konteks dewasa ini, agama kian tampil di ruang-ruang yang dikenal sebagai “ruang publik”. Tampilnya agama di public sphare sejatinya bukan dalam bentuk yang paling substantif, akan tetapi dalam bentuk simbolik-formalis. Karena penggunaan simbol-simbol Islam yang semakin populer di media massa, “agama” menjadi bersifat diseminatif. “naiknya” agama di sini diartikan secara peyoratif, artinya agama yang diasumsikan dan dipersepsikan oleh ‘massa’.
Karena faktor di atas, kerap kali agama dibenturkan dengan dasar Negara dan konstitusi. Naiknya agama hari ini merupakan efek plesbol pasca sekularis mememinggirkan agama. Demokrasi Penerimaan Islam terhadap demokrasi bukan bersifat tekstual eksplisit pada nash-nash syariat Islam.
Pasalnya setiap problem sekarang mesti ditinjau dari aspek agama. Anehnya, sikap keberagamaan semacam ini cendrung untuk offensive dengan semangat “boikot” dan spirit yang berlebihan. Pada poin ini terkadang bisa membuat orang lain salah memahami peran agama Islam di masyarakat.
Fenomena “naiknya” agama hari ini perlu diteliti lebih jauh, agar setiap orang mampu beragama dengan baik di satu sisi dan rasional di sisi lain. Barangkali, ini menurut hemat penulis, dengan “naiknya’ agama di ruang publik akan bersentuhan dengan akan banyak orang dan model-model bernegara yang telah diijtihadkan oleh para Founding Father dan Ulama di Republik ini.
Akar-akar Islamisme
Perbincangan seputar ini adalah masalah klasik, islamisme versus sekularisme. Pembahasan ini merujuk kepada dua perdebatan panjang. Perdebatan tersebut lahir dari respons atas “barat” yang sekular dan “Islam” sebagai tatanan yang berbeda dari barat. Apa yang dianggap sebagai bagian dari barat, bukanlah “Islam” itu sendiri.
Sikap seperti ini tentu bukan asumsi semata. Sikap seperti lahir dari pergulatan panjang dunia Islam terhadap kolonialisme. Pasca jatuhnya kekhalifahan Islam di Turki, banyak pengamat mulai mempertanyakan relasi agama dan Negara. Perdebatan menjurus kepada, “perlukah kekhalifahan Islam”. Dua Negara dengan basis kultural Islam yang berbeda, Arab Saudi dan Mesir sama-sama mengusung kekhalifahaan sebagai “pembeda” terhadap barat yang nation-state, demokrasi sekularis.
Proses pembedaan tersebut melahirkan respons yang dikenal dengan “islamisme”. Sejatinya, gerakan politik “islamisme” ini bukan sekedar isapan jempol semata, gerakan ini tidak melihat bahwa Western Civilization sebagai akar lahirnya tatanan demokrasi dan nation-state. pola pikir semacam ini tidak bekerja untuk memisah-memilah. Pada dua dasawarsa akhir abad 20 memunculkan banyak pemikir Islam yang dikenal dengan Islamic Revivalis.
Geneologi gerakan ini merujuk kepada pemikir Islamic Revivalis. Di antaranya Abd al-“ala al-Maududi, Sayyid Quthb, dan lainnya. Para pengikut mereka kemudian memistifikasi model Negara ‘Islam’ dengan al-Islam Din wa Dawlah (Islam adalah agama dan Negara). Perdebatan panjang tentang relasi agama dan Negara selalu terjadi dalam sejarah abad 21.
Penerimaan Pancasila oleh Para Ulama
Di antara Ijtihad kenegaraan para ulama Indonesia adalah menerima konsep negara Indonesia. Dengan dasar negara Pancasila, Negara Indonesia bukan merupakan produk demokrasi sekuler ala barat dan bukan juga negara Islam. Hal ini terepresentasikan sila pertama. Bahkan secara umum Pancasila sudah sesuai dengan spirit agama Islam.
Dalam sejarahnya, penerimaan ini berdinamika pasca Piagam Madinah dan Pancasila. Setelah 14 tahun kemerdekaan republik Indonesia, Bung Karno mengadakan rapat Konstituante yang dihadiri oleh berbagai ulama dan berbagai kalangan. Dalam pertemuan yang a lot dan diisi dengan diskusi panjang tersebut diputuskan agar kembali kepada UUD 1945 dan Pancasila.
Penerimaan ini oleh ulama Indonesia dibangun berdasarkan kaidah fikih, Ma La Yudraku Kulluh La Yutraku Julluhu. Sesuatu yang tidak didapatkan secara keseluruhan maka tidak harus ditinggalkan semuanya. Ijtihad Politik Kenegaraan ini disampaikan oleh KH. Wahab Chasbullah dalam sidang Konstituante 1955-1959. Dalam perdebatan tak berkesudahan antara kelompok Masyumi-PNI-PKI, keduanya berpendapat bahwa Negara Indonesia harus menjadi Negara Islam atau Nasional Demokrat. KH. Wahab Chasbullah mengatakan bahwa Sunan Kalijaga itu adalah orang yang nasionalis. Perkataan KH. Wahab Chasbullah ini merepresentasikan agama dan nasionalisme dalam satu tarikan nafas.
Pandangan Kiai Wahab Chasbullah ini didasarkan atas pertimbangan dari kaidah fikih, ma la yudraku kulluhu la yutraku julluhu. Negara Indonesia itu sudah Dar al-Islam, karena umat Islam sudah bebas untuk melaksanakan ibadahnya. Kalo masih ada yang kurang, maka bukan berarti harus ditinggalkan keseluruhannya. Bahkan itu adalah upaya tahshil al-hasil, buat apa jika diislamkan lagi, toh umatnya sudah beragama Islam.
Pancasila secara prinsipil sudah sesuai dengan spirit quranik. Yaitu spirit kesetaraan (al-Musawah), keadilan (al-Adl) dan toleransi keberagamaan (al-Tasamuh). Spirit tersebut sangat sesuai dengan QS. 2:156, QS. 49: 13, QS. 5:448.