Akhir-akhir ini publik sedang ramai memperbincangkan penggalan puisi bernada permohonan atau ‘doa’ (sengaja saya kasih tanda kutip) seorang Neno Warisman. Ya, Neno merapalkan sebuah puisi permohonan yang konon jika ditelusuri berasal dari doa Nabi Muhammad saw. saat Perang Badar. Meskipun tidak sedikit yang menyangsikan Neno merujuk langsung kepada sumber-sumber utama ihwal doa tersebut. Penggalan yang dimaksud kira-kira begini bunyinya:
Dan jangan Engkau tinggalkan kami, dan menangkan kami, karena jika Engkau tidak menangkan kami khawatir Ya Allah, kami khawatir Ya Allah, tak ada lagi yang menyembah-Mu, ya Allah, izinkan kami, memiliki generasi yang dipimpin oleh pemimpin terbaik dengan pasukan terbaik untuk negeri adil dan makmur terbaik, takdirkanlah bagi kami generasi yang dapat kami andalkan, untuk mengejar nubuah kedua, wujud dan nyata, dan lahirnya sejuta al-Fatih di bumi Indonesia.
Dalam tulisan singkat ini saya tidak akan mengulas puisi Neno Warisman yang konon disebut sebagai Puisi Munajat Cinta itu. Saya justru ingin melihat konteks serta alasan doa Nabi Muhammad yang konon menginspirasi penggalan puisi Neno.
Imam Muslim dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidina Umar bin Khattab mengatakan bahwa:
“Pada saat perang Badar Nabi saw melihat jumlah kaum musyrik yang berjumlah sekitar seribu orang. Sementara di pihak kaum Muslim sejumlah tiga ratus tujuh belas pasukan. Lalu Nabi saw menghadapkan wajahnya ke kiblat, menengadahkan kedua tangannya sembari berdoa: Ya Allah. Tunaikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku, datangkanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Wahai Tuhanku, sekiranya Engkau (mengizinkan kepada pihak kaum Musyrik) dengan mengalahkan pasukan kaum muslim ini, maka Engkau tidak akan disembah lagi.” Nabi terus berdoa dengan menengadahkan kedua tangannya dan menghadap arah kiblat, hingga sorban yang beliau kenakan jatuh ke bawah. Kemudian Sayyidina Abu Bakar menghampiri beliau, menjumput sorban dan mengenakannya kembali ke pundak beliau. Lalu Sayyidina Abu Bakar berbisik, “Duhai Nabi, kiranya engkau cukupkan doanya. Allah Swt. akan mengabulkan doamu.”
Sementara dari jalur lain, Sayyidina Ibnu Abbas meriwayatkan:
Bahwa pada saat Perang Badar Nabi berdoa, “Ya Allah, aku mengharapkan janji-Mu (kemenangan kaum muslim), jika engkau berkehendak lain (kekalahan kaum Muslim), engkau tidak akan disembah. Lalu Sayyidina Abu Bakar memegang tangan Nabi dan berkata, “Cukup, duhai Nabi”, sembari membaca QS Al-Qamar ayat 45: mereka semua bakal terkalahkan dan tunggang langgang mundur ke belakang.
Terlepas dari perdebatan apakah riwayat hadis tersebut memang riwayat bil makna (sebuah riwayat hadis yang redaksinya tidak persis sesuai tanpa mengubah substansinya) atau memang redaksi asli dari Nabi benar-benar demikian (untuk perdebatan ini silakan simak di https://islami.co/benarkah-rasul-saw-berdoa-dengan-mengancam-allah-saat-perang-badar-seperti-neno-warisman-ini-tafsirnya/), dari kutipan dua hadis ini setidaknya ada dua hal menarik yang ingin saya uraikan di sini.
Pertama, Optimisme Sayyidina Abu Bakar. Dari kedua hadis ini seolah terkesan bahwa Sayyidina Abu Bakar justru optimis. Bahkan sampai meyakinkan Nabi Muhammad Saw dan menghentikan doanya. Sementara Nabi Muhammad Saw. sendiri terkesan ragu. Imam As-Suhaili dalam karyanya Ar-Raudh al-Anf mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Sayyidina Abu Bakar adalah sebuah sikap refleks sebagai seorang sahabat. Beliau mengambil sorban Nabi yang jatuh dan mengenakannya kembali ke pundaknya. Dalam konsep tasawuf, sikap Sayyidina Abu Bakar adalah maqam raja’. Sedangkan Nabi Muhammad Saw. menunjukkan maqam ‘khauf’. Kedua maqam ini merupakan maqam spiritual yang sama-sama tinggi.
Kedua, apakah doa tersebut bisa dianggap sebagai bentuk kekhawatiran Nabi Saw akan punahnya Islam? Ibnu Jarir At-Thabari dalam karyanya berjudul Tarikh al-Umam wa al-Muluk mengatakan bahwa justru karena Nabi Muhammad Saw adalah nabi pamungkas. Yang jika dalam medan laga perang Badar ini Nabi dan pasukannya wafat, maka tidak akan ada lagi Nabi yang akan diutus oleh-Nya. Yang artinya bahwa syariat agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. tidak akan ada yang menjalankannya lagi. Di sisi lain, masih menurut Imam Thabari, doa yang dipanjatkan Nabi memperkuat keyakinan para sahabatnya untuk berjuang melawan kaum musyrik yang jumlahnya memang tak sebanding.
Wallahu A’lam bis-Shawab