Ada ustadz Salafi di Indonesia yang masih terus menyalahkan Amaliah kita. Kali ini masalah muadzin yang membaca doa adzan dengan suara keras. Ternyata dia hanya taklid kepada Mufti Saudi. Untuk menjawab terhadapnya kita kupas fatwa Ulama Saudi:
ﻭﻳﻜﻮﻥ ﺫﻟﻚ ﺑﺼﻔﺔ ﻓﺮﺩﻳﺔ ﻻ ﺑﺼﻮﺕ ﺟﻤﺎﻋﻲ، ﻭﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻠﻤﺆﺫﻥ ﺃﻥ ﻳﺠﻬﺮ ﺑﺬﻟﻚ ﺑﻌﺪ اﻷﺫاﻥ؛ ﻟﺌﻼ ﻳﻈﻦ ﺃﻧﻪ ﻣﻦ اﻷﺫاﻥ
Doa setelah adzan bentuknya adalah individu (dibaca sendiri-sendiri), tidak dibaca dengan suara bersama-sama. Dan bagi muadzin tidak boleh mengeraskan doa adzan, agar tidak dikira sebagai adzan (Fatawa Al-Lajnah ad-Daimah 5/73)
Syekh Bin Baz bersama para Mufti Saudi lainnya memberikan alasan larangan muadzin mengeraskan adzan supaya tidak disangka bagian dari adzan. Dan kita tahu doa adzan itu bukan bagian dari adzan. Dari mana kita tahu? Pertama bacaan adzan itu singkat, sementara bacaan doa setelah adzan panjang. Kedua bacaan adzan disuarakan dengan lantang, sementara doa adzan tidak selantang kalimat adzan.
Karena sudah tidak ada kekhawatiran maka hukumnya juga berubah berdasarkan kaedah:
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما
“Hukum terletak pada illat (alasannya), baik untuk berlakunya hukum atau tidak”
Karena illatnya sudah tidak ada, yaitu khawatir dikira bagian dari adzan, maka boleh saja bagi muadzin doa setelah adzan.