Kisah persahabatan Gus Dur dengan orang-orang Tionghoa di negeri ini, merupakan cermin bagaimana bersikap. Jika selama ini, persepsi publik terhadap orang Tionghoa cenderung negatif, hal ini lebih karena kesalahpahaman. Bahkan, di media sosial sering muncul kampanye negatif bahwa bahwa Tionghoa identik dengan kafir. Framing inilah yang menjadi ancaman terhadap persaudaraan sesama bangsa, ukhuwwah wathaniyyah kita. Momentum Imlek ini, menjadi penting untuk merenungi kajian ini.
Persepsi negatif tentang Tionghoa di negeri ini, melalui proses yang sangat panjang. Apalagi, kontestasi politik di DKI Jakarta pada 2017 lalu, yang menggunakan isu agama dan etnis untuk mempengaruhi persepsi publik, turut membentuk citra negatif terhadap orang-orang Tionghoa di negeri ini. Perdebatan di media sosial, turut membentuk jurang yang curam, alih-alih membangun jembatan untuk saling mengenal dan belajar dari saudara lintas agama dan etnis.
Dalam amatan penulis, persepsi negatif tentang orang-orang Tionghoa, yang dianggap sebagai ‘orang asing’, bukan pribumi, dan seterusnya, menimbulkan kekacauan yang semakin berlarut. Karena, jika kita menziarahi sejarah peradaban, Nusantara ini merupakan persilangan budaya dari beberapa peradaban dunia: Tiongkok, India, Arab, dan peradaban besar lain. Ulasan Denys Lombard, memberi sumbangsih besar bagaimana memahami peran penting peradaban Tiongkok, dengan kegigihan, kreatifitas dan kebudayaan komunitas-komunitas Tionghoa di negeri ini.
Bagaiman sikap kita terhadap orang Tionghoa di negeri, mari kita mengikuti jalan kebudayaan yang dibangun KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sepanjang hidupnya, Gus Dur membangun pertemanan dengan orang-orang lintas etnis dan agama. Gus Dur beranggapan, semua makhluk Allah itu saudara, apapun kepercayaan dan latar belakang budayanya. Ukhuwwah basyariyyah inilah yang menjadi pedoman Gus Dur. Jika kita cermat, Gus Dur berteman dengan orang Yahudi, Papua, Aceh, dan beragam etnis di berbagai negara: betapa luas jalinan persahabatan beliau.
Lalu, mengapa Gus Dur membela Tionghoa? Dalam sebuah kesempatan diskusi, pada awal 2008, Gus Dur mengungkap nenek moyangnya keturunan Tionghoa. “Saya ini China tulen sebenarnya, tapi ya sudah campurlah dengan Arab dan India. Nenek moyang saya orang Tionghoa asli,” ungkap Gus Dur, dalam talkshow “Living in Harmony The Chinese Heritage in Indonesia” di Jakarta (20/1/2008).
Gus Dur mengungkapkan, bahwa ia merupakan keturunan Putri Campa, yang kemudian menjadi selir Raja Majapahit, Brawijaya V. Dari perkawinan ini, Putri Campa memiliki dua keturunan: seorang anak lelaki bernama Tan Eng Hian, dan anak perempuan bernama Tan A Lok. Kemudian hari, Tan Eng Hian menjadi Raja kerajaan Demak, mengganti nama menjadi Raden Patah.
Sedangkan, pada perjalanan hidupnya, Tan A Lok, saudari Raden Patah, menikah dengan seorang ulama muslim keturunan Tionghoa bernama Tan Kim Ham. Sosok ini, merupakan tokoh yang menggulingkan kerajaan Majapahit, serta membantu proses pendirian kerajaan Demak.
Dalam catatan sejarah, Tan Kim Han merupakan tokoh muslim Tionghoa pada abad 15 dan 16. Ia bersama beberapa tokoh muslim, yakni Maulana Ishak dan Sunan Ngudung, untuk mengusung revolusi politik di Majapahit. Tan Kim Han, menurut Gus Dur, dikenal sebagai Syaikh Abdul Qadir as-Shini. Jejak makamnya, sekarang masih ditemukan di pemakaman kuno Troloyo, Trowulan, Mojokerto.
Dalam sebuah kesempatan ziarah, penulis berniat silaturahmi dan ‘uluk salam’ dengan Syaikh Abdul Qadir. Memasuki pemakaman Trowulan, penulis bertanya-tanya kepada masayarakat sekitar, maupun kepada petugas makam. Tidak ada satupun yang mengenal makam Tan Kim Han. Penulis sempat berkeliling, hingga ziarah ke makam Sunan Ngudung (ayah Sunan Kudus) dan Syaikh Jumadil Kubro.
Penulis kemudian mengingat, bahwa nama lain dari Tan Kim Han, yakni Syaikh Abdul Qadir as-Shini, atau Syaikh Abdul Qadir (yang berbangsa China). Dari jejak inilah, penulis kemudian menelusuri makam beliau, yang ternyata dekat dengan makam Syaikh Jumadil Kubro. Dari jejak panjang silsilah dengan Syaikh Abdul Qadir as-Shini, jalur nasab Gus Dur bertemu dengan orang-orang Tionghoa. Ketika menjadi Presiden RI, Gus Dur mengunjungi perkampungan Tan Kim Han di Quanzou, Tiongkok [Munawir Aziz].