Tidak ada manusia yang mengetahui segala hal. Hidup manusia selalu berproses. Semakin banyak manusia belajar, maka pengetahuannya pun semakin luas. Salah satu cara untuk menambah pengetahuan adalah dengan bertanya kepada yang orang yang pandai dan lebih tahu tentang materi pertanyaan.
Al-Qur’an menyebutkan sebagai berikut:
فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
Artinya, “Bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan bila kalian tidak mengetahui,” (Surat Al-Nahl ayat 43).
Kendati bertanya dianjurkan dalam Islam, tapi konon terlalu banyak bertanya juga tidak dibolehkan dalam Islam, terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang tidak penting. Dalam hadits riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah berkata:
فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
Artinya, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena banyak bertanya dan berselisih dengan para nabi,” (HR Bukhari dan Muslim).
Lalu bagaimana sebaiknya? Apakah sering bertanya atau tidak bertanya sama sekali? Dalam ayat di atas dianjurkan untuk bertanya, sementara hadits di bawahnya melarang banyak bertanya.
Untuk memahami kedua dalil ini agar tidak bertolak-belakang atau kontradiktif, Imam An-Nawawi dalam Syarah Matan Arba’in menjelaskan ada tiga macam bentuk pertanyaan. Ia mengatakan:
اعلم أن السؤال على أقسام: القسم الأول: سؤال الجاهل عن فرائض الدين كالوضوء والصلاة والصوم وعن أحكام المعاملة ونحو ذلك…..والقسم الثاني، السؤال عن التفقة في الدين لا للعمل وحده مثل القضاء والفتوى، وهذا فرض الكفاية….والقسم الثالث، أن يسأل عن شيء لم يجبه الله عليه ولا على غيره وعلى هذا حمل الحديث
Artinya, “Pertanyaan ada beberapa macam: pertama, pertanyaan orang awam tentang kewajiban agama, semisal wudhu, shalat, puasa, hukum muamalah, dan lain-lain…Bentuk kedua adalah pertanyaan tafaqquh fid din (pendalaman agama) yang tidak hanya diamalkan untuk diri sendiri, seperti qadha’ dan fatwa, menanyakan hal yang berkaitan dengan persoalan ini adalah fardhu kifayah…Bentuk ketiga adalah bertanya tentang sesuatu yang tidak diwajibkan Allah, baik untuk diri sendiri maupun orang lain, inilah yang dimaksud dalam hadits di atas.”
Imam An-Nawawi menjelaskan ada tiga macam pertanyaan: pertama, ada pertanyaan yang penting, khususnya yang berkaitan dengan cara ibadah wajib, maka hal seperti ini wajib ditanyakan kepada orang yang lebih mengetahui agar kita bisa menjalankan ibadah dengan benar dan sempurna.
Kedua, pertanyaan yang berkaitan dengan kehidupan orang banyak, misalnya minta fatwa kepada seorang mufti terkait permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat.
Ketiga, bertanya tentang sesuatu yang tidak penting, yang kalau hal ini ditanyakan bisa jadi akan memberatkan.
Larangan bertanya dalam hadis di atas sebetulnya, menurut Imam An-Nawawi, merespon orang yang banyak bertanya tentang sesuatu yang didiamkan dalam syariat.
Konteks hadis ini adalah ketika Allah SWT menurunkan ayat yang berkaitan dengan kewajiban haji, ada seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah, “Apakah haji itu tiap tahun wahai Rasulullah?”
Rasulullah diam dan tidak menjawab sampai sahabat itu bertanya untuk yang ketiga kalinya.
Rasulullah mengatakan, “Kalau aku jawab iya, niscaya akan memberatkan kalian. Tinggalkanlah (jangan bertanya) terhadap sesuatu yang aku biarkan.”
Dalam riwayat lain Rasulullah mengatakan, “Diamnya (syariat) adalah rahmat bagi kalian, maka janganlah bertanya.”
Dengan demikian, tidak semua pertanyaan itu dilarang dan dicela dalam Islam. Pertanyaan yang memberikan manfaat terhadap diri sendiri dan orang lain tetap dianjurkan dalam Islam, bahkan hukumnya wajib bila itu berkaitan dengan ibadah wajib.
Tetapi kami menyarankan untuk menahan diri dari menanyakan hal-hal yang tidak penting karena jawaban dari pertanyaan itu bisa jadi akan menyusahkan diri sendiri dan orang lain.
Selengkapnya, klik di sini