I said: what about my eyes?
He said: Keep them on the road.
I said: What about my passion?
He said: Keep it burning.
I said: What about my heart?
He said: Tell me what you hold inside it?
I said: Pain and sorrow.
He said: Stay with it. The wound is the place where the Light enters you.
Akal dan pikiran memengaruhi rasa dan sebaliknya. Kadang-kadang kita melihat atau merasakan sesuatu yang membuat sedih. Lalu hati menjadi susah atau resah. Setiap orang pasti pernah mengalami hal seperti ini.
Hanya saja kadang pikiran merasa mampu mengatasi segala persoalan. Dalam batas tertentu memang bisa, namun “merasa bisa” menggunakan hanya pikiran untuk menyelesaikan kesedihan menyebabkan hijab tersendiri yang membuat kita gagal menyaksikan peran sesungguhnya dari Allah. Merasa bisa menyebabkan fokus kita terarah pada diri — dan Tuhan hanya menjadi pelengkap penyerta untuk memuji diri sendiri. Boleh jadi kita mengucap alhamdulillah namun jauh di dalam rasa batin, kita memuji diri sendiri. Nama Allah kita puji hanya untuk memuji diri sendiri pada ranah lain: yakni diam-diam untuk membanggakan diri di hadapan liyan bahwa aku orang yang bersyukur.
Dalam hal ini batas antara tahaduts bi ni’mat dengan ujub menjadi lebih tipis dari sehelai rambut di belah tujuh. Hanya Tuhan yang tahu apakah syukur kita tulus atau tidak, dan itu tetap menjadi rahasia antara diri kita dengan Tuhan. Karenanya dikatakan “ikhlas adalah rahasia Tuhan.” Oleh sebab itu, alih-alih menghakimi rasa syukur orang lain, para arifbillah memilih husnudzon pada liyan, dan lebih fokus untuk mewaspadai kemungkinan hawa nafsu membajak rasa syukur yang ada dalam dirinya sendiri.
Umumnya orang lebih mudah bersyukur jika mendapat kebaikan atau nikmat atau kegembiraan. Tetapi bagaimana dengan anugerah yang dari sudut pandang manusia amat menyusahkan? Idealnya bersyukur setulus hati juga, namun pada praktiknya amat susah. Mengapa begitu? Tuhan seakan sengaja membuat orang agak sulit mensyukuri kesempitan dan kesusahan agar orang lekas berpaling kepadaNya untuk meminta pertolongan, sebab sering kelapangan dan kegembiraan dunia itu melalaikan orang pada Tuhan. Saat situasi duka atau kesusahan tak tertahankan lagi, secerdas apapun pikiran, seseorang tak jarang gagal mengatasinya dan kadang sampai mengalami depresi.
Saat orang itu lalu ingat pada Tuhan, karena kesusahan atau sedih, maka ia pun dihitung berzikir. Zikir adalah cahaya. Maka sesungguhnya duka cita adalah seperti palu yang membongkar tembok hawa nafsu yang menggelapkan ruang batin kita agar ada cahaya masuk. Mungkin pada awalnya hanya retak, dan berlobang kecil, namun itu cukup untuk memasukkan sedikit cahaya. Jika diketuk terus lama-lama makin lebarlah lubang itu dan makin terang ruang batin.
Tetapi kadang orang masih keras kepala, sehingga dibutuhkan lebih banyak duka cita, sehingga pikiran yang keras kepala pun menyerah, agar ia sadar. Kalau kemudian pada suatu waktu orang sadar, dan ingat Tuhan, ingat bahwa pada akhirnya diri tahu banyak hal yang harus diterima dengan sabar atau, jika mampu, dengan lapang dada, maka ia pelan-pelan bisa mensyukuri kesedihan dan kesusahan, sehingga jika dianggap cukup oleh Tuhan, duka cita itu akan melebur menjadi kebahagiaan, lantaran orang sudah bisa menerima (ridha) apapun dari Tuhan dengan syukur yang sejati. Pada saat itulah pintu surga terbuka untuknya. Karena itulah sebagian ulama mengistilahkan bahwa kesedihan adalah zakatnya pikiran (akal).
Namun jika tetap keras kepala, tak jua kunjung sadar dan terus mengeluhkan keadaan, menyalahkan sana-sini, maka ia mungkin mesti menyelesaikan persoalan ini lebih lama — dan jika tak selesai juga, tak juga ridha, sampai maut menjemput, ia harus menyelesaikan urusan ini di akhirat, yang dilambangkan dengan “naar”.
Semua orang yang yakin benar bahwa akhirat dan yaumil hisab itu ada, ia akan selalu ingat mati dan bergegas berusaha semampu-mampunya dengan himmah (tekad kuat) untuk membersihkan pikiran dan hatinya sebelum ajal tiba, daripada nanti harus merasakan “kesedihan” yang jauh lebih lama daripada di dunia.