Belajar Tasawuf: Usia Senja yang Menunggu Waktu Menjumpai Kita

Belajar Tasawuf: Usia Senja yang Menunggu Waktu Menjumpai Kita

Bagaimana hidup di waktu senja yang akan segera menemui kita

Belajar Tasawuf: Usia Senja yang Menunggu Waktu Menjumpai Kita

Orang arif mengatakan bahwa apa yang ada di semesta juga ada dalam diri — makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam satu pengertian, segala yang digelar di alam raya ini melambangkan pagelaran dalam keruhanian.

Semisal senja. Situasi senja yang cerah umumnya sejuk, langitnya indah, dan banyak yang terpesona sehingga dulu di medsos, sebelum negara api menyerang, bertaburan puisi senja dari para penyair senja.

Orang pada usia senja idealnya seperti itu. Sebelum ditelan malam gelap yang menyembunyikan rahasia (alam kubur) orang yang senja usianya semestinya telah sejuk perbawanya, indah batinnya dan tenang perilaku dan ucapannya.

Seorang filsuf jawa menyebutkan bahwa dalam rentang 19 tahun pertama hidup manusia, ia menempuh proses menuju pendewasaan bio-psikologis. Ia harus belajar mengikuti garis-garis sebab-akibat dengan lurus; mulai usia 20 ia harus mengawali upaya menganyam garis-garis itu menjadi lembaran sajadah panjang. Kita ingat lagu anak jawa masa lalu:

Eee dayohe teka, eee gelarna klasa
Eee klasane bedhah, eee tambalen jadah

Tugas hidup telah bertamu ke rumah lahir batin, maka kita harus menggelar tikar amal perbuatan. Tentu amal kita tak sempurna, sering bedhah di sana-sini, sehingga perlu ditambal dengan mujahadah vertikal dan horisontal (hablum minallah dan hablum minannas). Yakni memperbaiki silaturahmi kita dengan Tuhan dan sesama manusia. Inilah pagelaran amal jariah.

Maka sesudah usia 39, yakni usia 40, telah berdiri sistem kebenaran (dalam kasus Nabi, sistem itu berupa wahyu) berdasarkan pagelaran amal di bentangan yang lurus (sirath al mustaqim). Sistem ini mesti dijalankan sebagai bagian dari pelaksanaan amanah dari Tuhan, agar sampai ke “masa panen” dari laku kita — yaumiddin.

Karena itu mendekati usia 50 orang yang selalu bermujahadah memperbaiki silaturahminya dengan Tuhan dan sesama, secara lahir maupun batin, akan dikaruniai kesadaran yang lebih dalam dan wawasan yang lebih luas tentang sangkan paraning dumadi: hidup ngapain aja, buat apa, dan akan ke mana sesudah malam tiba (ajal dan alam kubur).

Semakin senja usia, harusnya semakin berkurang hasratnya pada urusan duniawi karena dunia akan ditinggalkan dan makin kuat ibadah. Lima puluh dalam bahasa Jawa tak disebut limangpuluh, namun “seket” yakni “seneng kethunan” -— kethu adalah kopyah, peci, lambang ketundukan sekaligus lambang pengendalian pikiran agar fokus pada tujuan hidup yang sebenar-benarnya.

Karena orientasi bergeser perlahan ke Allah, maka pelan-pelan orang akan semakin adem dan tenang seiring dengan bertambahnya anugerah kepada kita berupa pengetahuan dari Allah tentang DiriNya. Secara teori dan dalil semakin kuat imannya, semakin ia kenal dengan dirinya sendiri; semakin kenal diri sendiri semakin kenal ia pada Tuhannya.

Pada level haqq yaqin, orang tiada lagi rasa khawatir dan sedih karena hati dan pikirannya selalu bersama Tuhan. Hidupnya tenang, adem, sederhana dalam laku dan kata; nafsu amarahnya telah ditaklukkan, yang tersisa adalah nafs muthmainnah. Jiwa yang tenang, menep, wening, anteng.

Minimal pada usia senja, kita idealnya telah mewarnai batin kita dengan keindahan akhlak yang memantulkan sifat-sifat Tuhan. Sebagaimana suasana senja yang cerah dan sejuk berlangit indah, orang yang selalu memperbaiki dan memperindah akhlak dan batinnya akan memancarkan kesejukan, ketenangan, kedamaian. Itulah awal dari transendensi diri, yaitu menjadi diri yang diakui oleh Tuhan — nafs muthmainnah — sehingga dipanggil olehNya dengan ridha agar masuk ke “Jannati” (sorgaKu), Taman Kebahagiaan.