Selanjutnya, Imam al Qurthubiy menyebutkan bahwa “dlalaan” adalah tidak mengetahui al Quran dan syariat. Disebutkan pula makna, “dlalaan” berarti Rasulullah berada dalam lingkungan kaum yang tersesat, maka diberilah hidayah.
Adapula yang menyebutkan bahwa Rasulullah mencari kiblat, maka kemudian ditunjukkan kiblat. Nah, mencari itulah yang dimaksud dengan tersesat, “dlalaal”. Karena orang yang sesat, pasti dalam pencarian. Imam Qurthubiy juga menceritakan tentang hilangnya nabi dari kakeknya, dari riwayat Ibnu Abbas. Adapula riwayat yang mirip dengan riwayat Sa’id bin Musayyab namun Imam Qurthubiy menceritakan itu melalui jalur Said bin Jubair.
Secara menarik, al Qurtubiy menceritakan detail hilangnya Rasulullah dari kakeknya dan ibu yang menyusui beliau Halimah. Kisah yang juga diceritakan panjang lebar dari Ibnu ‘Asyakir dari Abdullah bin Abbas.
Setelah selesai masa persusuan di desa Bani Sa’diyah, menurut Ka’ab yang dirujuk oleh Imam al Qurthubiy, Halimah datang bersama Rasulullah ke Mekah untuk diserahkan kepada kakeknya, Abdul Muthalib. Maka aku (Halimah al Sa’diyah) mendengar suara di pintu Mekah, “Bergembiralah wahai tanah Mekah, hari ini telah dikembalikan padamu cahaya, petunjuk, keagungan dan keelokan.”
Maka, aku meletakkan Rasulullah untuk membenarkan letak bajuku. Tiba-tiba aku mendengar sebuah suara barang jatuh yang keras dan aku menoleh. Maka, aku tak melihat Rasulullah lagi. Aku berteriak pada orang-orang, “Dimana anakku?.” Mereka menjawab, “Kami tak melihat apapun.” Tiba-tiba ada kakek tua, yang memegang tongkatnya. Yang kemudian thawaf mengelilingi sebuah berhala besar sambil berdoa agar mengembalikan anakku.
Kaum Quraisy pun menjumpai Abdul Muthalib dan mencari Rasulullah ke segala penjuru Mekah. Tapi tidak jua ketemu. Hingga Abdul Muthalib berthawaf di Ka’bah tujuh kali. Sembari berdoa kepada Allah dengan syairnya. Maka terdengarlah suara dari langit, “Wahai manusia, sesungguhnya Muhammad mempunyai Tuhan yang takkan pernah mengecewakan dan menyia-nyiakannya. Muhammad berada di lembah Tihamah, di bawah sebuah pohon. Abdul Muthalib lantas ditemani Waraqah bin Naufal ke Tihamah dan menemukan Rasulullah sedang berdiri di bawah sebuah pohon sambil bermain dedaunan.
Masih menurut al Qurthubiy, menyitir Basaam bin Abdullah, bahwa makna “dlalaan” adalah tidak mengetahui siapa dirinya, kemudian Allah memberi petunjuk. Sedang menurut Junaid, maknanya adalah ketika Rasulullah bingung dengan suatu makna dari ayat al Quran, maka Allah menjelaskan. Sedangkan riwayat yang memaknai kata, “dlaalan” sebagaimana zahirnya, diriwayatkan dari al Kalabiy dan al Sadiy yang dinukil Imam al Razi.
Dalam tafsir Bahr al Muhith karya Abu Hayyan al Andalusiy, ulama Spanyol ini berpendapat, bahwa tidak mungkin Rasulullah tersesat dan tidak memperoleh petunjuk. Beliau juga mengatakan, bahwa bagi sebagian mufasir ada beberapa perkataan yang tidak boleh dinisbatkan kepada para nabi, di antaranya adalah nabi sesat, dan lain sebagainya.
Dalam Tafsir al Wasith, karya al Wahidiy, dijelaskan bahwa kebanyakan ulama tafsir ketika menafsirkan kata “dlaalan” memilih untuk menyatakan bahwa Rasulullah tak mengetahui isi Al-Qur’an dan syariat Islam maka diberilah wahyu atau hidayah. Atau ketika Rasulullah lupa akan tugas nubuwah yang telah ditetapkan sebelumnya.
Hal ini seperti dinyatakan dalam surat Yusuf ayat 3. Sedangkan Imam al-Thabari dalam tafsirnya menyatakan bahwa kalimat, “dlaalan fa hada”, adalah keadaan antara sebelum dan sesudah turunnya wahyu.
Para ulama berselisih tentang sabab nuzul surat ini. Pertama, dari Jundub bin Sufyan al Bajaliy, bahwa lama tak turun wahyu hingga Rasulullah “sakit”. Pada saat itu ada seorang wanita yang mengolok Rasulullah dan menganggap Rasulullah telah ditinggalkan, sehingga turunlah surat ini.
Kedua, dari beberapa mufassir. Bahwa surat ini turun ketika Rasulullah ditanya oleh kaum Yahudi tentang ruh, Dzulqarnain dan Ashabul Kahfi. Saat Rasulullah menjawab bahwa ia akan menjelaskan besok, tanpa mengucap Insya Allah, namun wahyu tidak juga turun, sehingga Rasulullah gelisah. Maka turunlah ayat yang menegur Rasulullah agar mengucap Insya Allah ketika berkata dan turunlah surat ini.
Selain itu, para ulama juga berbeda pendapat terkait berapa lama wahyu tak turun, ada yang mengatakan 12 hari, namun Abdullah bin Abbas mengatakan 15 hari. Ketika Jibril turun, Rasulullah mengatakan kepada Jibril, “Wahai Jibril aku merindukanmu.” Jibril menjawab, “Sesungguhnya aku sangat merindukanmu. Tapi apalah, aku hanya seorang utusan.”
Wallahu A’lam.
Baca Tulisan Sebelumnya di sini.