Hingga detik ini, saya masih sangat hafal salah satu kutipan syair pendidikan dari Burhanul Islam Syaikh az-Zarnuji, mushannif kitab Ta’limul Muta’allim yang amat populer itu. Kala masih duduk di bangku Madrasah Diniyah di kampung, petikan nadham tersebut selalu saya baca berulang secara serempak dan bersamaan dengan teman-teman ngaji.
Kami melantunkannya dengan penuh semangat, setelah itu kami duduk khusyuk sembari memaknai kitab yang kami pegang. Kami dengarkan makna demi makna syair yang dijelaskan oleh sang ustadz; ala la tanalul ‘ilma illa bi sittatin # sa unbika ‘an majmu’iha bi bayanin. Dzakain waa hirshin wa ishtibarin wa bulghatin # wa irsyadi ustadzin wa thuli zamanin. Begitulah bunyi petikan nadham tersebut.
Melalui petuah dan penjelasan dari seorang guru, kami akhirnya tau bahwa petikan syair dari kitab “alala” memiliki kandungan makna yang teramat dalam. Syaikh az-Zarnuji menyatakan bahwa ada 6 syarat yang harus dipenuhi oleh seorang murid bila mendamba keberhasilan.
Pertama, Dzaka’in; yakni cerdas. Ini syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang pencari ilmu. Cerdas itu adakalanya diperoleh dengan muktasab, artinya melalui proses belajar dan ada pula muntasab, cerdas ‘gawan’ yang langsung dari Tuhan.
Kedua, Hirshin, yang berarti rakus atau tamak. Rakus tak selamanya berkonotasi negatif. Dalam hal-hal tertentu, sifat rakus amat dianjurkan. Untuk urusan ilmu, murid harus serakah. Kumpulkan ilmu sebanyak-banyaknya, baca buku sepuas-puasnya dan cari pengalaman sesering mungkin.
Ketiga, ishtibar, sabar dan tahan banting. Seorang murid harus kuat terhadap segala macam rintangan yang menghalangi selama proses belajar mengajar. Murid harus tetap tegar, setegar dhamir “na” yang selalu konsisten pada bentuknya. Dalam keadaan rafa’, nashab maupun jarr ia tak bergeming dan selalu dalam bentuk “na” sebagaimana syair imam Ibnu Malik al-Andalusi; “lirraf’I wa an-nashbi wa jarri na shalah # Ka’rif bina fa innana nilna al-minah”.
Keempat, bulghah artinya bekal atau biaya. Syarat ini juga tak kalah penting sebab syarat “biaya” ini menjadi faktor penentu keberhasilan proses belajar mengajar. “Ma la yatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun”, bahwa sesuatu yang menjadi perantara sempurnanya sebuah kewajiban maka dihukumi wajib pula. Karena itu, biaya dalam dunia pendidikan adalah sesuatu yang niscaya. Terlepas apakah didapatkan dari kerja keras orang tua atau hasil beasiswa.
Kelima, thuluz az-zaman, yakni butuh waktu yang tak sebentar. Kyai yang alim, profesor yang mahir atau cendikiawan yang cerdik, mereka sukses melalui tahapan yang tidak instan. Ada proses dan waktu di sana. Pelajar yang terdidik mestinya tidak terburu-buru menyudahi perjalanan akademisnya. Silahkan berpikir segila apapun, asal jangan pernah berhenti untuk belajar, begitu dawuh simbah KH. Musthafa Bisri.
Keenam, Irsyadu ustadzin. Dari sekian banyak syarat di atas, poin inilah yang dewasa ini perlu ditekankan pada murid jaman ‘now’. Petunjuk guru menjadi harga mati yang tak bisa ditawar dalam dunia pendidikan. Ada salah satu maqalah: “man ta’allama bi ghairi syaikhin fa syaikhuhu syaithanun”, artinya, sesiapa yang belajar tanpa mengindahkan bimbingan guru, maka sungguh ia sedang dibimbing oleh syaitan. Wal ‘iyadz billah.
Maka, bagaimana mungkin seorang murid mendapatkan ilmu yang bermanfaat jika setiap tutur kata yang keluar dari bibir tulus seorang guru ia abaikan. Bagaimana mungkin pula ia menjadi pelajar sukses bila tak ada lagi rasa hormat pada seorang guru. Mustahil ia gapai keberhasilan manakala sang murid tak lagi menghiraukan etika dan adab pada sang guru.
“Ana abdu man ‘allamaniy harfan wahidan in sya’a ba’a wa in sya’a istaraqqa”, Aku adalah budak orang yang mengajarkanku satu huruf, ia bebas menjual dan memerdekakanku. Demikian pernyataan sayyidina Ali Karramallahu wajhah. Ini menunjukkan betapa luar biasanya jasa seorang guru dan betapa kita sebagai murid harus selalu mengindahkan petunjuk guru, bukan malah tonjok guru. Na’udzu Billah.
*Penulis adalah guru di kampus IAIN Kediri.