Di awal tahun 1990-an, ilmu kritik hadis (naqd al-hadits) masih banyak disalahpahami. Setidaknya oleh sebagian masyarakat muslim Indonesia. Dianggap sebagai “su’ul adab” (adab jelek) kepada Baginda Nabi. Alasannya, berani mengkritisi sabda-sabda kenabian.
Bahkan, kajian kritik hadis dinilai sebagai kajian yang bersumber dari Barat. Tujuannya, untuk melemahkan komitmen seorang muslim kepada hadis. Karenanya, selain jarang dibicarakan, kajian kritik hadis cenderung didiamkan dan dijauhi. Padahal, kajian kritik hadis adalah tradisi keilmuan yang sudah dibangun oleh ulama-ulama terdahulu (salaf).
Melihat fenomena kemandegan keilmuan ini, KH. Ali Mustafa Yaqub tidak tinggal diam. Sejak tahun 1993, murid Kiai Idris Kamali (1887-1987) Tebuireng, lulusan Universitas King Saud Arab Saudi ini intens menulis artikel di majalah Amanah Jakarta. Awalnya, artikel yang membahas kritik hadis tersebut dikira tidak banyak diminati oleh pembaca. Mengingat majalah Amanah adalah majalah populer keluarga. Namun kenyataannya, sebaliknya. Kolom yang memuat artikel kritik hadis banyak diminanti dan ditunggu pembaca.
Sambutan dan penerimaan kajian kritik hadis semakin deras mengalir. Tepatnya pada 21 Februari 1994, Kiai Ali Mustafa Yaqub diundang untuk memberikan Studium General di Auditorium IAIN Jakarta. Orasi ilmiah yang diangkat berjudul “Studi Sanad dalam Literatur Hadis”. Dari kuliah umum ini, banyak kalangan cendekia kampus yang meminta materi yang diulas agar dibukukan. Mengingat kajian kritik hadis dinilai sebagai “barang langka” di tanah air.
Karena permintaan inilah, buku berjudul “Kritik Hadis” ini terbit pertama kali pada tahun 1995. Diterbitkan oleh Pustaka Firdaus setebal 144 halaman. Terdiri dari 20 sub judul. Sebagai buku kumpulan artikel, setidaknya buku ini dapat dipetakan menjadi tiga bagian.
Pertama, di bagian awal dipaparkan sejarah panjang kajian kritik hadis. Mulai dari era Nabi, sahabat, tabi’in, hingga era kontemporer. Dipaparkan secara runtut keberadaan tokoh dan karya kunci dalam kajian kritik hadis. Diantaranya adalah Muhammad bin Sa’d (230 H) yang menulis kitab “al-Tabaqat al-Kubra”, Yahya bin Ma’in (230 H) yang mengarang kitab “Tarikh al-Rijal”, Ahmad bin Hanbal (241 H) yang memiliki kitab “al-‘Ilal wa Ma’rifah al-Rijal”, Ibnu Abi Hatim al-Razi (327 H) yang menganggit kitab “al-Jarh wa al-Ta’dil”, dan masih banyak lagi.
Bagian kedua mengulas seluk beluk penyeleksian dan pembukuan hadis. Di bagian ini, dikenalkan standar-standar umum dalam menetapkan kesahihan hadis. Semisal harus diriwayatkan secara muttashil, perawinya harus tsiqah, serta tidak adanya ‘illat dan syadz. Selain itu, juga dipaparkan secara singkat ragam metodologi dan tipe pembukuan hadis. Mulai dari metode juz, atraf, muwatha’, mushannaf, musnad, jami’, mustakhraj,mustadrak, sunan, mu’jam, majma’, hingga zawaid. Masing-masing diberikan contoh dan ulama yang menuliskannya.
Ketiga, fokus mengulas perdebatan klasik dan kontemporer terkait penolakan hadis sebagai sumber hukum (ingkar al-sunnah). Penolakan hadis sebagai sumber hukum dan sejarah bukanlah hal baru. Sebagai misal dalam pandangan cendekiawan Barat madzhab revisionis. Kelompok ini, sebagaimana diulas oleh Mu’im Sirri dalam bukunya yang berjudul “Islam Revisionis” (2018) dan “Kontroversi Islam Awal” (2018), tidak menerima keberadaan hadis sebagai sumber dan bukti sejarah yang kredibel. Jauh-jauh hari, sejak era tabi’in (abad I-II H), telah ada pihak yang salah paham memahami posisi hadis. Ujungnya, menolak hadis sebagai sumber hukum.
Perdebatan panjang ini, tidak lain adalah bukti dinamika kajian kritik hadis. Baik kritik hadis yang diwujudkan untuk memilah dan memilih hadis yang shahih, ataupun kritik hadis yang dilakukan untuk meragukan ataupun menolaknya. Jika dipahami secara baik, kita akan mafhum bahwa kritik hadis adalah tradisi keilmuan yang kaya dan menjulang dalam tradisi keilmuan Islam.