Suatu ketika, Imam Malik pernah kedatangan seorang tamu. Tamu tersebut berencana ingin menanyakan tentang suatu permasalahan. Namun, Imam Malik hanya menjawab, “Laa uhsinuha (saya tidak paham secara detail atas pertanyaan Anda)”.
Karena pertanyaannya dijawab dengan kalimat seperti itu, si tamu pun mencoba merayu dan membujuk Imam Malik dengan berkata, “Saya telah datang ke sini, dari desa saya yang jauh di sana, untuk bertanya kepadamu, Wahai Imam Malik.”
Mendengar pernyataan itu, alih-alih “kasihan” dan berkenan menjawab, Imam Malik malah berkata secara tegas, “Kembalilah ke daerahmu dan katakan kepada penduduk di sana bahwa aku menjawab, “Laa uhsinuha (saya tidak paham secara detail jawaban atas pertanyaan Anda)”.
Kisah di atas penulis baca dalam kitab Sifah al-Shafwah, karangan Jamaluddin Abi al-Faraj ibn Jauzi, atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Jauzi.
Dari kisah tersebut, kita bisa belajar bagaimana kebesaran hati seorang Imam Malik yang tidak malu untuk secara apa adanya menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Mengapa? Tentu saja karena ia merasa tidak paham secara mendalam jawaban atas pertanyaan itu.
Ringkasnya, meski sebagai salah satu pendiri mazhab besar dalam dunia Islam, ia tetap mampu mengukur diri: kapan harus berbicara dan kapan harus diam.
Kengganan Imam Malik untuk menjawab pertanyanaan itu juga menjadi bukti betapa Imam Malik menjaga agar masyarakat tidak tersesatkan oleh jawaban atau fatwa yang ia berikan.
Allah Swt berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra [17]: 36).
Lewat ayat di atas, Allah melarang siapa saja untuk berbicara tanpa adanya ilmu pengetahuan. Tidak hanya itu, Allah melarang berkata berdasarkan prasangka. Mengapa?
Karena Dia berfirman, “Jauhilah banyak dari prasangka! Sesungguhnya, sebagian dari prasangka itu dosa…” (QS. Al-Hujurat [49]: 12). Begitu kurang lebih penjelasan dalam tafsir Ibnu Katsir.
Qatadah, sebagaimana tertulis dalam tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, berkata:
“Janganlah kamu berkata, (1) “Saya mendengar” padahal kamu tak mendengar; (2) “Saya melihat” padahal kamu tidak melihat; dan (3) “Saya mengetahui” padahal kamu tidak mengetahui.”
Dari sini, kita menjadi paham bahwa ayat ini sejatinya menjadi pengingat bagi kita untuk selalu berhati-hati dalam bertindak, bergerak, berbicara, berkomentar, dan lain sebagainya. Jangan sampai kita berbicara, berkomentar, atau bergerak di luar pemahaman kita (jika tidak tahu, ya bilang saja kalau tidak tahu).
Kita tentu akan merasa “gemas” ketika menyaksikan betapa banyak orang yang kelewat berani berkomentar pada hal-hal yang sebenarnya ia tak paham. Sayangnya, orang yang demikian, saat ini, terlalu banyak jumlahnya (setidaknya dalam pengamatan penulis pribadi) dan hampir ada dalam segala lini kehidupan kita.
Ada yang dengan terlampau percaya diri untuk berfatwa (padahal tak cukup ilmu). Ada yang dengan gagah perkasa menghina seorang ulama/habaib (padahal tak paham betul akar masalahnya). Ada yang dengan begitu ngeyel menghina kebijakan pemerintah (padahal tak punya solusi yang lebih baik).
Jika yang demikian terus berlanjut, tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada tatanan hidup bersama di lingkungan kita. Nabi Muhammad Saw telah mengingatkan, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR. Bukhari)
Walhasil, kita harus pandai mengukur diri dalam bicara dan berpendapat. Jangan sampai kita merasa telah terlalu fasih berbicara dalam hal-hal yang bukan bidang kita. Semua ada ukurannya, semua ada tempatnya. Anak-anak milenial bilang, “Jangan sotoy!”