Sungguh malang orang yang mempelajari ilmu agama dengan tujuan ingin mengungguli para ulama dan menuai pujian dari zu’ama serta orang-orang awam. Kepiawiannya di dalam meracik dan menyajikan argumentasi tidaklah menyelamatkan dirinya dan juga umat yang memuja dan memujinya. Jangankan menyelamatkan orang lain, menyelamatkan dirinya sendiri saja belum tentu bisa.
Tipe-tipe orang yang belajar untuk terlihat lebih unggul itu, biasanya kelihatan pongah di dalam setiap forum. Kata-kata melecehkan orang lain, selalu mudah keluar dari lisannya. Faedah yang bisa diambil dari perkataan orang seperti ini hanyalah ungkapan-ungkapan seperti, “Mereka bodoh di dalam ilmu sunnah, mereka berpegang kepada cerita para guru mereka, dan mereka tetap setia kepada taqlid walaupun kebenaran telah datang di hadapan mereka.”
Jarang sekali, orang-orang seperti itu mengawali pendapatnya dengan istighfar untuk dirinya dan pendapat yang akan dikritisi. Sungguh, mereka jauh dari sikap seperti yang ditunjukkan Sayyidah Aisyah radhiyallahu anha, ketika mengkritik pendapat Sayyidina Abdullah ibnu Umar. Sayyidah Aisyah mengawali kritiknya dengan ungkapan;
رحم الله ابا عبد الرحمن وغفر الله له
“Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Abu Abdurrahman (Abdullah bin Umar) dan semoga selalu memberinya ampunan…”
Dengan ungkapan itu, Sayyidah Aisyah menyadari bahwa pendapat Sayyidina Abdullah bin Umar walaupun dipandang “keliru” tetap berhak mendapatkan anugerah rahmat dari Allah. Kekeliruan di dalam berpendapat, tidaklah menyebabkan terputusnya rahmat Allah kepada seseorang dan tidak pula menyebabkan jatuhnya harga diri seseorang.
Kini, di media sosial yang serba sarat dengan fitnah, umat disajikan dengan perdebatan yang saling menjatuhkan di antara masing-masing afiliasi. Semuanya mengaku berada pada sikap yang benar dan nyaris tidak ada ruang pengakuan atas kekhilafan yang telah dilakukan.
Gelar kesarjanaan dan latar belakang institusi telah mengaburkan kesadaran banyak orang, terhadap makna “inshaf”. Banyak yang berpikir bahwa mengaku “keliru” akan berdampak kepada runtuhnya gengsi organisasi atau gengsi yang lainnya. Padahal, mengakui kekhilafan adalah termasuk dari bagian kecerdasan emosi. Karena pada dasarnya “no body is perfect” (tidak ada manusia yang sempurna).
Kesempurnaan hanyalah milik Allah dan Rasulullah mendapatkannya sebagai titipan atas nama Allah. Imam Malik bin Anas rahimahullah telah dengan bijak menempatkan inshaf itu melalui nasihatnya:
كل يؤخذ ويترك الا صاحب هذا القبر
“Setiap orang, bisa diambil dan bisa ditinggalkan pendapatnya kecuali penghuni kubur ini (Nabi Muhammad shalla Allahu alayhi wasallam)”
Namun, ada saja orang yang melihat pendapat Imam Malik ini secara utuh. Mereka malah menggunakan pendapat Imam Malik ini untuk “menghujat” para ulama hanya karena tidak sejalan dengan selera mereka.
Sungguh malang orang yang belajar ilmu agama untuk mengungguli para ulama. Karena ilmu agama adalah amanah yang pasti akan Allah minta pertanggungjawabannya. Jika amanah itu diabaikan, sudah pasti siksa neraka yang akan menjadi hasil panen bagi mereka yang mengabaikannya. Rasulullah bersabda:
من طلب العلم ليجاري به العلماء أو ليماري به السفهاء أو يصرف به وجوه الناس إليه أدخله الله النار
“Siapa yang menuntut ilmu agama, tujuannya agar melampaui para ulama atau mendebat orang-orang yang bodoh atau agar orang-orang berpaling kepadanya, pasti Allah masukkan ia ke dalam neraka.” (Riwayat al-Tirmidzi dari Ka’ab bin Malik, hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam al-Musnad).
Maka dari itu, sudah seharusnya para pelajar ilmu agama, menyiapkan diri mereka untuk siap membawa amanah ilmu, dibandingkan mengurusi pendapat orang lain yang tidak sejalan dengan mereka. Sungguh, para salaf solih lebih sering menghisab diri mereka dibandingkan menghakimi pendapat orang lain.