Setiap akan bepergian, ibu saya selalu mengingatkan: “dicek lagi apa-apa yang perlu dibawa. Jangan sampai ada yang ketinggalan”. Bentuk sikap teliti dan persiapan sebelum bepergian, adalah bekal perjalanan.
Persiapan matang dan ketercukupan perbekalan atau perangkat bantu yang memadai, tidak pernah menghianati hasil. Bagi pemancing ikan, kail tipis dan umpan kecil, mustahil mengandaikan tangkapan kakap dari hasil pancingannya. Sedemikian perihal bulan Ramadhan, untuk benar-benar bisa mendapatkan ‘hikmah puncak’ di bulan ini, tidak cukup dengan persiapan ala-ala kadar. Sebagaimana seorang pelari cepat yang hebat, bisa dipastikan—selain kemampuan yang telah terasah—dia memiliki teknik ancang-ancang yang kuat. Barulah kemudian dia menghempas, menerabas jarak bagai lontaran busur panah bertenaga penuh.
Perihal Ramadhan, rasulullah Shollallahu alaihi wasallam mengajarkan umat Islam supaya minimal dua bulan sebelum Ramadhan sudah menyiapkan bekal. Sejak masuk bulan Rajab, Rasul Shollallahu alaihi wasallam mengajarkan doa: allahumma barik lana fi Rajaba wa Sya’bana wa ballighna Ramadhan. “Ya Allah berilah berkah kepada kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan berilah kami kesempatan melakoni Ramadhan”.
Bekal Ramadhan: Memahami Kualitas dan Kuantitas Puasa
Setelah bekal niat dan doa, akan lebih komplit bila disertai dengan bekal pengetahuan. Dalam Kitab al- Arba’in fi Ushuliddin, di bab kedua—tentang prinsip-prinsip pokok ibadah lahiriah, Imam Al-Ghazali membuka penjelasan tentang puasa dengan dua hadis:
Pertama, hadis qudsi dengan kualitas riwayat muttafaq ‘alaih: “Setiap kebaikan itu dilipat-gandakan pahalanya sepuluh kali lipat sampai tuju ratus kali lipat, kecuali puasa. Maka, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan memberinya pahala”.
Kedua, sabda Nabi sollallahu alaihi wasallam: “Setiap sesuatu itu mempunyai pintu, dan pintunya (macam rupa) ibadah adalah puasa”. Tidak dijelaskan kualitas riwayat dari hadis ini.
Hadis pertama oleh Al-Ghazali dimaknai sebagai penanda bahwa puasa adalah satu jenis ibadah yang berjarak paling dekat dengan Allah. Yaitu hanya Allah sendiri yang berhak memberi hadiah atas laku puasa. Dari sisi ini saja, puasa merupakan laku ibadah yang teramat istimewa. Karena ada kemungkinan bobot ganjaran-pahala dari puasa melebihi segala ekspektasi yang mampu diandaikan. Sangat teramat istimewa.
Sedangkan hadis kedua, puasa merupakan ‘benteng’ terhadap setan. Al-Ghazali melihat bahwa pintu utama peluang keterpengaruhan manusia terhadap setan, adalah melalui pintu syahwat atau nafsu. “Rasa lapar sangat efektif untuk mematahkan seluruh syahwat dan nafsu yang menjadi perangkat setan”, demikian tutur Al-Ghazali.
Bulan Ramadhan dan laku puasa, adalah dua hal yang berbeda. Ramadhan adalah wadah, sedang puasa adalah isinya. Tanpa orang-orang melakukan puasa, Ramadhan masih ada. Begitu pun dengan puasa, tanpa adanya bulan Ramadhan puasa tetap ada. Ketika keduanya bertemu, terjadi kondisi keterisian wadah yang menjadikan keduanya menemukan makna praktisnya yang utuh.
Doa Rasul sollallahu alaihi wasallam di bulan Rajab tentu merujuk pada kondisi utuh tersebut: puasa di bulan Ramadhan. Sedangkan hadis yang disitir Al-Ghazali merupakan diskursus khas puasa saja. Tetapi justru ini yang terpenting, karena puasa merupakan ruh bulan Ramadhan. Tanpa pemahaman yang tepat dan pengamalan yang pas terkait puasa, Ramadhan akan hanya menjadi wadah kosong tanpa isi.
Selain itu, Al-Ghazali punya pandangan menarik. Bagi Al-Ghazali, puasa di bulan Ramadhan merupakan jenis puasa yang berada di level minimal. Karena sifat hukumnya yang wajib dan batas waktunya yang hanya satu bulan.
Berada di level pertengahan, menurut Al-Ghazali adalah puasa Sunnah Senin-Kamis yang dilangsungkan sepanjang tahun. Karena bila diakumulasi, dan ditambah dengan sebulan penuh di bulan Ramadhan, jumlahnya akan mendekati total sepertiga tahun. Menurut Al-Ghazali, level puncak pelaku puasa adalah mereka yang berpuasa sehari, berbuka sehari, atau puasa Dawud. Karena bila ditambah dengan bulan Ramadhan, akan lebih dari setengah tahun berpuasa.
Setelah mengisi kuantitas puasa, Al-Ghazali menjelaskan tentang kualitas puasa. Secara personal, kualitas puasa seseorang terbagi ke dalam tiga tingkatan: tingkat terendah, adalah puasanya khalayak awam. Yaitu bentuk puasa yang sebatas menahan dari batasan ‘batalnya puasa’: makan-minum dan senggama. Bersamaan dengan itu masih belum mampu menjauhkan diri dari perkara makruh. Puasa di level ini adalah puasa ‘sebatas lulus’ dengan nilai minimal.
Selanjutnya tingkat pertengahan, adalah puasanya khalayak khusus. Yaitu puasa di batas inderawi. Berupa mencegah pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan seluruh anggota badan dari dosa. Di sini tuntutan naik. Karena upaya memenuhi puasa tidak sebatas ‘lulus’. Terlebih butuh mendapatkan hasil lebih.
Terakhir yang tertinggi, adalah puasanya khalayak terkhusus (Khususul Khusus), yaitu puasa di wilayah hati. Puasa ini dilakoni dengan menjaga hati agar tidak tercampuri reribed pikiran dan gelombang was- was. Selalu menjaga hati agar selalu berdzikir kepada Allah ta’ala. Wilayah ini adalah puncak atau kesempurnaan lakon puasa.
Sebagai penutup, Imam Ghazali memberikan trik praktis menyempurnakan ibadah puasa. Trik atau tips ini yaitu: berbuka dengan makanan halal dan tidak berlebihan dalam porsinya. “Terlalu banyak dan berlebihan ketika berbuka—sampai lambung terasa sesak—adalah perbuatan yang bisa membatalkan rahasia puasa. Lantaran akan menjadikan malas bertahajjud dan asyik terlelap sampai Shubuh”. Sedemikian merupakan bentuk hilangnya keutamaan puasa.
Ramadhan yang sudah di depan mata ini, benar-benar peluang emas bagi seluruh umat Islam. Peluang untuk melakukan kembara batin, me-lockdown diri dari ghibah artifisial duniawi. Semoga kita termasuk bagian dari mereka yang berpuasa nyata demi kutiba ‘alaikumush shiyam. Bukan demi yang lain lagi. Wallahu a’lam.