Saya kira saat ini masih ada orang yang kecewa dengan kondisi pandemi, kondisi yang membuat kita semua harus ‘mengurung’ diri untuk memutus rantai penyebaran virus. Apalagi saat ini kita semua sudah memasuki bulan suci Ramadhan, bulan yang selama ini selalu meriah bukan hanya oleh ibadah tetapi juga oleh silaturahmi dengan handai taulan.
Selain itu kultur kita sebagai orang Indonesia yang memang memiliki rasa sosial yang tinggi, yang sedikit-sedikit ingin berkumpul bersama teman membuat kegiatan memberi jarak dan tidak bertemu sanak saudara selama masa isolasi mandiri menjadi semakin berat dilalui.
Pada hari-hari biasanya kita dengan bebas bersalaman, bertegur sapa dan ngobrol sangat hangat dengan sanak saudara. Pada saat bulan Ramadhan juga umum kita lalui dengan kegiatan kumpul, dari sahur bersama, buka bersama sampai salat isya dan tarawih juga bersama. Semua kegiatan itu harus dipangkas paksa pada Ramadhan tahun ini.
Selain karena darah kita yang sangat suka berkumpu. Dalam ajaran islam, persahabatan dan persaudaraan adalah suatu hal yang terpuji. Hal ini langsung bisa kita tengok pada surat pembuka kitab suci Al-qur’an. Menurut tafsir Al-Ibriz yang diejawantah oleh Kiai Ahmad Mustofa Bisri, dalam surat Al-Fatihah ada beberapa ayat yang memilih menggunakan kata ganti “kita” alih-alih menggunakan kata ganti “saya” seperti pada ayat ke 5 dan 6.
Hal ini, menurut Kiai Ahmad Mustofa Bisri, dikarenakan memang ukhuwah atau persahabatan adalah hal yang utama dalam Islam. Sehingga, untuk orang Islam di Indonesia, berkumpul adalah nafas kehidupan. Selain kegemaran, ya karena memang sangat dianjurkan oleh Islam. Betapa sering kita, sebagai muslim Indonesia, melakukan kegiatan bersama-sama. Ada anak lahir, kita kumpul, ada yang meninggal kita kumpul, peringatan kenabian, kita juga kumpul, dan tentu untuk buka puasa, kita selalu menyempatkan untuk kumpul.
Nah, kondisi pandemi ini tentu membuat semangat kita berkumpul antar saudara terhenti, yang mana setiap tahun kita selalu ribut dengan pertanyaan “kapan bukber?”. Saat ini kondisinya berputar 180 derajat. Jangankan melaksanakan bukber, kita niat saja tidak kepikiran, bisa-bisa kalau memaksakan bukber kita dibubarkan petugas keamanan.
Namun, tentu masih ada jalan lain yang bisa membuat kita tetap melaksanakan bukber, apalagi memang Islam adalah agama yang enak untuk dijalani, wong Tuhan sendiri melarang kita melarat tur susah dalam berislam.
Buka bersama tentu bisa kita ambil sari-sari nilai yang terkandung di dalamnya alih-alih dilakukan secara letterlek seperti tahun-tahun sebelumnya, karena tahun ini memang spesial kondisinya. Dalam pelaksanaan bukber, dua hal yang menjadi inti acara ini adalah pertama berbagi dan yang kedua silaturahmi. Nah, apakah berbagi dan silaturahmi tidak bisa kita lakukan di tengah pandemi?
Jalan untuk berbagi saya kira dalam kondisi seperti ini malah terbuka amat lebar. Bagaimana tidak? Pandemi ini memberikan dampak yang sangat signifikan untuk banyak sendi kehidupan kita sebagai bangsa. Banyak pekerja yang bergaji harian akhirnya gigit jari karena tidak ada penghasilan yang membuat dapur mengepul. Selain itu arus PKH yang terjadi membuat banyak keluarga kehilangan penghasilan, dan juga membuat keluarga rentan secara ekonomi menjadi sangat terpukul karena wabah yang terjadi saat ini. Belum lagi keluarga-keluarga yang memang selama ini hidup di bawah garis kemiskinan, tentu kondisi saat ini membuat hidup semakin melarat. Sehingga dari sana, peluang kita untuk berbagi sangatlah terbuka lebar dan pastinya sangat dinanti-nanti oleh mereka yang membutuhkan.
Keluarga-keluarga yang menjadi kelompok rentan akibat pandemi corona tentu masih memiliki kewajiban untuk menjalankan puasa. Dalam menjalankan puasa mereka juga membutuhkan nasi untuk menemani sahur dan berbuka. Mereka juga masih perlu asupan gizi agar tetap bisa sehat selama masa sulit pandemi corona. Sehingga bantuan untuk mereka menjadi amat penting untuk disalurkan.
Dalam perkembangan pembagian batuan, saya memberikan apresiasi setinggi-tingginya pada salah satu lembaga yang dari awal getol mengajak masyarakat saling bantu, yakni GUSDURian peduli. Saya mak dheg ketika tahu salah satu target penerima bantuan adalah para masyarakat Indonesia yang terpaksa kehilangan penghasilan karena tidak bisa bekerja di Malaysia. Hal ini menyusul kebijakan pemerintah Malaysia yang menerapkan lockdown. Mak dheg saya semakin terasa mak dheg karena banyak keluarga di desa tempat saya lahir dan tumbuh serta beberapa famili saya yang memang penghasilannya didapat dari bekerja di negeri jiran.
Saya punya banyak teman yang selama kecil ia jarang bahkan tidak pernah bertemu orang tuanya, mereka hanya bertemu orang tua saat hari raya tiba, itu pun tidak setiap tahun para perantau memutuskan pulang. Sehingga kedekatan emosional itu lah yang membuat saya mengharu biru mendengar kabar kalau GUSDURian peduli dan para donatur memperhatikan kaum pekerja asal Indonesia yang ada di Malaysia.
Ladang berbagi untuk mbadali kegiatan buka bersama selama Ramadhan tahun ini masih sangat terbuka lebar untuk kita semua. Kalau saya punya kedekatan emosional dengan para pekerja yang ada di Malaysia karena warga desa dan beberapa keluarga saya juga menjadi pekerja di sana. Tentu teman-teman juga memiliki kedekatan emosional dengan salah satu dari sekian banyak orang yang bisa kita bantu karena menjadi kelompok paling terdampak pandemi corona ini.
Lalu pertanyaan selanjutnya “Tapi saat ini kita tidak bisa melakukan buka secara bersama-sama? Padahal makan bersama itulah yang membuat buka puasa bersama terasa nikmat. Membantu keluarga terdampak hanya dengan cara menyalurkan bantuan kok rasanya kurang gayeng”
Untuk menjawab keresahan tersebut, saya mengutip dari apa yang disampaikan Kiai Quraish Shihab. Beliau menjelaskan bahwa amalan berbagi buka puasa tidak mewajibkan si pemberi dan si penerima duduk bersama dalam makan santap buka puasa. Apalagi kondisi saat ini, tidak berjumpa itu lebih baik dan utama dari pada berjumpa. Sehingga ketika kita hanya menyalurkan bantuan saja tanpa ada seremonial duduk bersama dan menikmati santap buka seperti tahun-tahun sebelumnya tidak akan mengurangi marwah dan amal kita memberikan buka pada orang yang berpuasa.
Kiai Quraish Shihab melanjutkan, bahwa silaturahmi yang umumnya kita lakukan di bulan puasa tahun-tahun sebelumnya bisa kita ganti dengan saling mengirim doa. Meskipun tubuh kita tidak bertemu di dunia, insyaallah doa kita akan bertemu di akhirat sana. Sungguh indah.
Akhirnya, mari saling bantu, mari tetap buka bersama dengan cara yang sedikit dimodifikasi tetapi dengan ghirah yang sama sekali tidak berkurang. Kita akan kuat melewati pandemi ini bersama-sama. Mari rapatkan barisan dan selamat menjalankan ibadah puasa. [rf]