Hadis telah menjadi bagian penting masyarakat Indonesia dalam memandang kehidupan leluhur dan berperikemanusiaan. Banyak kisah-kisah tokoh ulama di Nusantara yang mengkontekstualisasikan hadis sebagai wujud hidup yang harmoni, dalam berkehidupan di Nusantara.
Masyarakat Indonesia mengenal Guru Mughni, sebagai ulama Betawi yang konsen di bidang hadis. Salah satu karya monumentalnya adalah kitab Taudih al Dalail. Merupakan terjemah dari kitab Syamail al Muhammadiyah waa Khashail al Musthafawiyyah karya Imam Tirmidzi.
Kitab ini berisi hadis-hadis tentang kepribadian serta perilaku Nabi Muhammad SAW, yang dituangkan dalam bahasa Betawi. Implikasinya, hadis-hadis Nabi bisa melekat dengan masyarakat Betawi dan mudah diterima dalam kehidupan sehari-hari.
Wujud dari hadis, juga tertuang dalam kitab-kitab kuning yang menjadi materi esensial di Pondok Pesantren. Salah satu di antaranya, kitab Fada’il Ramadhan, yang dikarang oleh H. Taufiqul Hakim pendiri Pondok Pesantren Darul Falah Amtsilati, Jepara.
Kitab ini berisi hadis-hadis tentang keutamaan puasa Ramadan, yang dimetamorfosakan dalam bait-bait sya’ir Arab, Jawa dan Indonesia. Orientasinya agar nilai-nilai dalam hadis, bisa terinternalisasi ke masyarakat tanpa terpatri pada sanad atau mustalahul hadis. Esensi praksisnya adalah hadis telah lama menjadi bagian dari masyarakat dalam harmonisasi kehidupan beragama maupun bertradisi.
Belajar dari Pengalaman Walisongo
Dalam literatur sejarah disebukan bahwa agama Islam masuk ke tanah Jawa melalui berbagai bentuk, seperti politik (kenegaraan), kesenian (tradisi), perdagangan, perkawinan dan pendidikan. Bentuk yang menjadi titik urgen dalam penyebaran Islam di tanah Jawa adalah politik dan tradisi.
Melalui politik yang diaktualisasikan oleh pemimpin negara (raja), secara praktis rakyat akan mengikuti apa yang dititahkan oleh pemimpinnya. Melalui tradisi lokal, yang diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam (hadis), menjadikan Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Jawa. Hal inilah yang diprakarsai oleh Walisongo, bagaimana nilai-nilai Islam dikontekstualisasikan dalam bentuk akulturasi budaya lokal.
Sebelum Islam datang masyarakat Jawa sejatinya, telah mempunyai tradisi animisme lokal, yang telah mengakar dalam berkehidupan. Mengetahui ini, Walisongo tidak lantas memaksakan tekstualitas teks, ataupun menghadapkan Islam secara diametral. Tetapi lebih mengedepankan kontekstualisasi dan toleransi terhadap realitas sosial yang sedang dihadapi.
Seperti anjuran-anjuran shalat dalam hadis, merupakan hal yang tabu pada masyarakat Jawa, kemudian dikontekskan menjadi sembahyang. Tradisi semabahyang merupakan dialektika transidental kepada Tuhan (Sang Hyang Widi), atau roh. Tradisi ini telah menjadi paradigma konsisten dalam struktur masyarakat Jawa, kemudian dikontekstualisasikan oleh Walisongo dengan shalat, sehingga bisa mudah diterima.
Dalam sirah nabawiyah, entitas Islam yang banyak digadangkan sejatinya adalah hasil ijtihad Nabi Muhammad terhadap ritus tradisi Arab kala itu. Seperti tradisi haji yang diwajibkan dalam Islam adalah tradisi lokal Arab dan bukan tradisi murni Islam. Sebelum Islam datang, masyarakat Arab sudah melaksanakan tradisi haji secara turun temurun pada tiap tahunnya.
Ka’bah beserta ratusan berhala, dijadikan sebagai titik buta peribadatan syirik, dalam selimut feodalisme dan hegemoni suku Arab. Nabi Muhammad tidak mengharamkan secara diametral peribadatan haji, yang bertentangan dengan monoisme Islam. Tetapi, beliau mengkontekstualisasi dan memberikan dimensi praksis akulturasi pada nilai-nilai Islam, yang kemudian dapat diterima.
Inilah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan Walisongo, bahwa Islam adalah agama kasih sayang, yang selalu eksis di setiap tempat dan waktu. Senada dengan Abdurrahman Wahid bahwa, nilai-nilai Islam (hadis) harus dikontekskan agar bisa diterima dan berkembang sesuai dengan corak dan budaya lokal setempat, sehingga bisa merekonsil setiap disintegrasi nilai-nilai lokal yang ditemuinya, tak terkecuali di Indoensia.