Pasca kepergian KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, sekolompok anak muda mendirikan komunitas bernama Jaringan GUSDURian. Komunitas yang dikomandoi oleh putri sulung Gus Dur, Alissa Wahid ini, bertujuan untuk melanjutkan cita-cita perjuangan Gus Dur yang dianggap belum selesai. Salah satunya adalah bagaimana merawat perbedaan, mengkampanyekan toleransi dan memperjuangkan kesetaraan umat manusia.
Kiprah dan visi perjuangan Gus Dur itu kerap disuarakan, khususnya saat perayaan haul yang rutin digelar jelang akhir tahun, baik oleh Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian, maupun komunitas GUSDURian yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Berbagai model acara dilakukan, mulai dari yasinan, tahlilan sampai doa bersama yang tidak jarang melibatkan kelompok lintas agama (iman).
Haul Gus Dur itu, tak hanya sekadar ruang untuk mengenang kepergiannya, tapi juga menjadi arena perjumpaan beragam komunitas dan tokoh lintas agama. Menurut Alissa Wahid, saat perayaan haul, kelompok lintas iman ini tak pernah absen, mereka selalu hadir, bahkan turut serta berdoa dalam acara tersebut. Tak hanya itu, orang yang pernah bersebrangan dengan Gus Dur, baik secara politik maupun pemikiran, juga turut hadir di acara itu.
Fenomen ini membuktikan bahwa Gus Dur adalah sosok manusia yang bisa diterima berbagai kalangan di bangsa ini. Mereka sadar bahwa tidak selamanya perbedaan harus disikapi dengan kebencian, apalagi dendam, melainkan harus disikapi dengan penuh kedewasaan. Cara pandang tersebutlah yang semasa hidupnya diteladankan oleh Gus Dur dan sekaligus menjadi prinsip perjuangannya, sebab dendam dan kebencian tidak akan mungkin bisa membuat manusia hidup bermartabat. Makanya itu, tidak mengherankan jika komunitas GUSDURian yang tersebar di berbagai kabupaten/kota di bangsa ini menjadikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai salah satu prinsip gerakan sosial mereka.
Jaringan GUSDURian
Jaringan GUSDURian adalah komunitas yang terus bersuara dan bekerja untuk kepentingan bangsa dan kemanusiaan. Bagi mereka, Gus Dur bukanlah hanya sekadar nostalgia masa lalu, tapi juga sang inspirator perjuangan masa depan bangsa dan Negara. Olehnya itu, kehadiran GUSDURian bukan sekadar atribut yang melekat pada diri pengagum dan murid-muridnya, apalagi Gus Dur tak pernah menginginkan dirinya untuk dikultuskan, atau menjadi sebuah paham. Meminjam istilah Al-Fayyadl, Gus Dur tidak pernah menjadi GUSDURian, karena GUSDURian sendiri adalah kata sifat yang bisa jadi tidak jauh bedah dengan Marxis yang dijadikan atribut bagi sebagian pengagumnya.
Menurut Alfayyadl, GUSDURian adalah orang yang mengusdur, orang yang senantiasa mendedikasikan hidupnya untuk kemanusiaan, kebangsaan dan perjuangan keadilan. GUSDURian adalah kumpulan orang-orang yang menjadikan Gus Dur dari kata sifat menjadi kata kerja, karena dengannya seseorang akan mudah menemukan gagasan kemanusiaann Gus Dur, khusnya dalam hal toleransi.
Toleransi Bagi Gus Dur adalah bagian inheran dari kahidupan umat manusia, karena toleransi pulahlah manusia mampu melakukan transformasi sosial dalam skala massif sepanjang sejarah, dan hanya mereka yang mampu memahami esensi perbedaan, bisa bersikap bijak, serta hidup berdamai dengan orang yang berbeda. Tanpa itu, toleransi hanya akan menjadi semu. Intinya, toleransi bagi Gus Dur tak sekadar kata, tapi juga wujud kehidupan sosial kita.
Semasa hidupnya, sikap tersebut terus digerakkan, bahkan mampu diterjemahkan dalam dunia politik yang jauh dari tindak kekerasan. Menurut Gus Dur, seseorang boleh saja memperjuangkan apa yang menurutnya benar, tapi tidak dengan cara-cara kekerasan, sebab kekerasan, selain melukai tatanan kemanusiaan, juga berpotensi melanggengkan dendam antarumat manusia.
Makanya itu, tidak mengherankan jika Gus Dur gemar melakukan silaturahmi semasa hidupnya. Silaturahmi, selain merupakan anjuran Islam untuk merekatkan hubungan persaudaraan, juga sekaligus berfungsi untuk meminimalisir kesalahpahaman yang bisa menjadi penyebab terjadinya tindak kekerasan. Atas dasar itulah, sehingga Gus Dur oleh beberapa kalangan disebut sebagai pejuang anti kekerasan, dan sekaligus menjadi salah satu agenda kerja komunitas GUSDURian di tingkat lokal.