Tahun 2017 dengan segala gegap dan gempitanya telah berganti tahun 2018. Tentunya banyak masalah dan problematika yang menghiasinya. Di antaranya, kasus-kasus kemanusiaan dan tragedi pengeboman di Mesir. Sangat disayangkan, ingin melakukan dakwah tapi dengan mengorbankan objek yang didakwahi.
Zaman sekarang banyak yang salah kaprah soal dakwah. Atas nama dakwah dan jihad, tega mengebom, membunuh dan melakukan kekerasan terhadap orang lain. Mereka tidak segan memakai nama Allah dan agama untuk berbuat kekerasan dan provokatif. Ini tentu hal yang salah.
Bahkan tidak sedikit pula ustadz-ustadz yang salah dalam memahami dakwah. Mungkin karena konstruk media ustadz-ustadz ini terkenal dan populer. Kepopulerannya ini tidak diiringi dengan pemahaman agama secara mendalam dan humanis. Sedikit-sedikit bilang bid’ah, haram hingga kafir. Merasa paling benar sendiri.
Dengan dalih untuk berdakwah dan amar makruf nahi munkar, malah melecehkan yang tidak sepaham serta bersifat keras terhadap yang tidak segolongan. Padahal seharusnya ustadz menjadi rujukan pemecahan persoalan umat. Bukan justru memperkeruh keadaan dan membingungkan umat.
Menurut KH Musthofa Bisri atau Gus Mus seperti yang dilansir NU Online, dakwah berarti mengajak. Bukan memerintah, menakut-nakuti apalagi marah-marah. Ayat yang dipakai untuk berdakwah yakni Ud’u ila sabili robbika bil hikmah wal mau’idhotil hasanah wa jadilhum billati hiya ahsan inna robbaka huwa a’lamu bi man dholla ‘an sabilih wa huwa a’lamu bil muhtadin.
Artinya, “Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan tutur yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa saja yang tersesat dari jalan-Nya. Dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS An-Nahl ayat 125).
Berbeda dengan ayat amar makruf nahi munkar. Dari segi bahasa saja kedua terma itu (dakwah dan amar makruf nahi munkar) sudah berbeda. Dakwah itu mengajak, sementara amar itu perintah, nahi itu melarang.
Jadi, berdakwah dulu baru amar makruf nahi munkar. Amar makruf nahi munkar pun ada tingkatannya. Yang pertama dengan perbuatan. Kedua, dengan lisan dan terakhir dengan menggunakan hati. Perlu digaris bawahi bila amar makruf nahi munkar harusnya juga bil makruf (dengan kebaikan). Karena amar makruf nahi mungkar merupakan manifestasi kasih sayang terhadap sesama.
Selain itu, Gus Mus mengibaratkan bahwa berdakwah hendaknya selayaknya seperti calo bus di terminal. Untuk siapa ajakan calo? tentu untuk orang-orang yang belum naik bus. Dengan apa calo mengajak? Dengan rayuan dan kata-kata yang indah.
Maka, berdakwah berarti mengajak mereka yang belum masuk bus. Artinya untuk mereka yang perlu didakwahi. Dengan ajakan dan kata-kata yang sopan dan lemah lembut. Tidak dengan menakut-nakuti apalagi marah-marah. Berdakwah itu tidak dengan mengambil hak preogratif Allah. Urusan hidayah itu adalah urusan Allah.
Dalam berdakwah seyogyanya meniru Nabi Muhammad SAW, yang lemah dan lembut. Karena Nabi adalah manusia yang memanusiakan manusia. Dalam sejarah melalui sirahnya, Nabi dalam berdakwah merupakan orang yang menyejukkan dan menyenangkan.
Ini tercermin dalam surat Ali-Imron ayat 159: Fabima rahmatin minallaahi linta lahum walau kunta fazhzhan ghaliizhalqalbi lainfadhdhu min haulika fau’fu ‘anhum wastaghfir lahum wasyawirhum fil-amri fa-idzaa ‘azamta fatawakkal ‘alallahi innallaaha yuhibbulmutawakkilina.
Artinya, “maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Sudah sepantasnya kita dalam berdakwah memahami esensi berdakwah itu sendiri. Berdakwah dengan mengajak ke jalan Allah tanpa menakut-nakuti apalagi pakai marah-marah hingga pakai senjata. Kita sebagai hamba hanya diperintahkan untuk berdakwah baru kemudian amar makruf nahi munkar tanpa mengambil hak preogratif Allah (hidayah).
Sebagai umatnya Nabi Muhammad sudah seharusnya dengan meneladaninya berdakwah dengan lemah lembut, mengedepankan sisi humanis dan budaya. Karena Nabi Muhammad SAW sendiri diutus untuk menyempurnakan akhlak bukan malah sebaliknya.