Candi Borobudur sedang menjadi pembicaraan yang hangat dalam beberapa hari ini. Hal tersebut tidak terlepas dari adanya berita tentang rencana pemerintah menaikkan harga tiket naik ke Borobudur. Tiket yang semula seharga Rp50.000 per orang akan dinaikkan hingga Rp750.000 per orang. Harga tersebut berlaku khusus untuk turis lokal dewasa, sedangkan harga tiket untuk anak sekolah hanya dipatok Rp5.000 per anak dan untuk turis asing dipatok USD100 per orang.
Selain berencana menaikkan tarif, pemerintah juga berencana mengurangi kuota pengunjung yang naik ke candi, yakni akan dibatasi hanya 1.200 pengunjung per harinya. Dari jumlah tersebut, anak sekolah mendapat jatah 25 persen atau sekitar 300 anak.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan saat konferensi pers mengatakan bahwa rencana tersebut berdasarkan pada rekomendasi dari UNESCO yang mengkhawatirkan kondisi candi yang semakin “menua”.
“Kenapa kami lakukan itu? Karena rekomendasi dari UNESCO dan pakar. Telah terjadi penurunan (tanah di bawah candi) dan aus (batuan candi).” Jelasnya.
Sebagaimana diketahui bahwa Candi Borobudur dibangun antara tahun 780 hingga 840 M oleh DInasti Syailendra. Dengan demikian, Candi Borobudur telah berusia 1000 tahun lebih.
Namun, yang perlu diperhatikan adalah bahwa harga tersebut bukanlah harga tiket masuk kawasan, melainkan hanya tiket untuk naik ke candi.
“Jangan keliru dengan tiket masuk Borobudur, ya! (Harga) tiket masuk tetap, sedangkan tiket naik ke candi yang dirubah dalam rangka membatasi.” Ucap Doni Oskaria, Direktur Utama PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero), seperti dilansir dalam laman kompas.com.
Inilah yang banyak disalahpahami oleh banyak orang, mereka mengira bahwa harga tersebut adalah harga tiket masuk, padahal tidak. Kesalahpahaman ini membuat mereka menganggap kebijakan tersebut dapat mematikan potensi pariwisata di sekitar candi serta “mematikan rejeki” warga sekitar.
Borobudur Sebagai Tempat Ibadah
Pada tahun 2016 silam, Dirjen Bimas Buddha Kementerian Agama, Drs. Dasikin, M.Pd., dalam Konferensi Buddha Internasional yang diselenggarakan di komplek Candi Borobudur, menyampaikan keprihatinannya tentang perilaku sejumlah wisatawan yang masih belum menyadari bahwa Candi Borobudur adalah tempat ibadah suci umat Buddha.
“Wisatawan belum memahami Candi Borobudur sebagai tempat suci umat Buddha, banyak dari mereka yang naik dinding (candi) sampai memanjat mandala suci.” Ucapnya sebagaimana dilansir dalam laman nationalgeographic.grid.id.
Tak dapat dipungkiri bahwa Candi Borobudur telah menjadi ikon bangsa Indonesia, tidak hanya dalam lingkup lokal, melainkan internasional. Bahkan, Borobudur telah ditetapkan menjadi Warisan Budaya Dunia sejak tahun 1991 oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Wajar jika Candi Borobudur menjadi salah satu destinasi utama wisatawan lokal maupun mancanegara yang berkunjung ke Indonesia. Sayangnya, saking terkenalnya sebagai tempat wisata, satu fungsi lain dari candi Borobudur menjadi terlupakan: sebagai tempat ibadah suci umat Buddha.
Di Indonesia, umat Buddha sendiri termasuk minoritas. Jumlah umat Buddha tak sebanyak umat Kristiani, apalagi Islam. Namun, hal itu bukanlah masalah, semua umat beragama di Indonesia telah dijamin untuk dapat beribadah sesuai keyakinan masing-masing, dan sesama umat beragama tentu juga harus menghargai satu sama lain.
Dalam kasus kenaikan harga tiket Candi Borobudur, di satu sisi memang kebijakan tersebut dapat berpotensi mengurangi jumlah pengunjung, yang selanjutnya dapat berdampak pada perekonomian warga sekitar. Namun, ada yang bilang kekhawatiran ini dapat ditepis, karena Luhut sendiri menyatakan bahwa para wisatawan harus menggunakan jasa tour guide warga lokal.
Di sisi lain, ada yang berpendapat jika kebijakan tersebut merupakan sebuah langkah menarik, tidak hanya dalam rangka melestarikan cagar budaya, melainkan juga dapat membuat umat Buddha lebih leluasa dalam beribadah di sana. Agaknya, kita sebagai umat beragama mencoba memosisikan diri sebagai umat Buddha yang beribadah di Candi Borobudur.
Mari kita coba bayangkan seandainya tempat ibadah yang biasa kita gunakan terus-menerus dikunjungi oleh wisatawan. Apakah kita bisa tenang saat beribadah? Mungkin bisa, tapi cukup sulit. Suara teriakan wisatawan, hentakan langkah kaki yang silih berganti sangat berpotensi mengacaukan kekhusyukan dalam beribadah.
Sehingga, dalam menyikapi adanya kenaikan harga tiket ini, seyogyanya tidak hanya melihat dari segi ekonomi maupun budaya, melainkan juga dari segi keleluasaan dalam beribadah. Semoga pemerintah dapat memberikan solusi dan mengambil jalan tengah terkait kebijakan mengenai bangunan kebanggaan kita semua, Candi Borobudur. (AN)