Pada mulanya mereka ditindas, diperbudak, dan dizalimi oleh rezim. Dalam rupa yang agak modern, Bani Israel barangkali nyaris serupa dengan korban perang dunia II yang menghuni kamp-kamp konsentrasi Jerman. Sekurang-kurangnya, sentimen yang dimainkan oleh penguasa adalah sama: karena mereka Yahudi, atau minimal Tapol (tahanan politik).
Sejarah memahat, medio 1700 SM keturunan Ibrahim dari jalur Ya’qub bermigrasi ke Mesir. Saat itu, belum ada hukum international yang menjamin hak hidup mereka. Sekitar 1250 SM, situasinya semakin payah. Para imigran yang bermaksud mencari suaka justru diperbudak oleh Firaun. Tapi, ini masih masa kenabian. Musa terpilih sebagai utusan Tuhan yang kelak membebaskan Bani Israel dari cengkraman rezim otoriter.
Jauh sebelumnya, Mesir dilanda wabah mematikan. Uniknya, anak-anak Yahudi selamat. Fenomena ini lalu diabadikan oleh orang Yahudi dalam pesta Passover (Hari Paskah), menandai status mereka sebagai umat pilihan.
Di bawah panji Musa, Bani Israel melawan penguasa. Setelah melewati sekian sekuel yang cukup dramatis, Firaun dan koloninya menemui ajal, tenggelam karena berusaha melawan gelombang kebenaran.
Kini, Bani Israel telah merdeka. Tapi mereka tidak punya warga-negara, alias stateless. Maka, nomaden adalah jalan ninja yang paling masuk akal. Sepanjang perjalanan yang diduga berdurasi 40 tahun itu, Nabi Musa menghadapi pergolakan baru: pembangkangan Bani Israel. Al-Quran memberitahu kita betapa sembrononya permintaan mereka.
Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: “Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)”. Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan oleh kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang seIalu mereka kerjakan. Musa melajutkan: “Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu yang selain dari pada Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat?” (Q.S. al-A’raf: 138-140)
Permintaan itu ternyata cukup serius. Tidak ada tanda-tanda dark joke di dalamnya. Yang ada hanyalah ilusi. Dipikir, Tuhan harus kasat mata. Padahal, mata manusia sungguhlah terbatas. Berarti, ‘melihat’ Tuhan tidak bisa dengan mata telanjang. Diperlukan mata hati untuk memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya. Sayang, mata hati mereka terlampau buta oleh selubung hasrat materialisme.
Sejurus setelah itu, Nabi Musa memenuhi panggilan Tuhan untuk menerima wahyu. Bani Israel dipasrahkan kepada Harun, asisten Musa yang dipercaya memiliki seni berdebat. Ternyata, Bani Israel tidak cukup puas dengan kekuatan argumen. Mereka telah silau dengan apa-apa yang serba ajaib, efek samping dari mukjizat Musa.
Lalu, datanglah Samiri. Bani Israel dibujuk agar mendonasikan perhiasan mereka, sebuah bahan dasar untuk membuat patung berhala. Propaganda Samiri ternyata sukses.
Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka? Mereka menjadikannya (sebagai sembahan) dan mereka adalah orang-orang yang zalim (al-A’raf: 148).
Beres menerima wahyu, Musa mendapati kenyataan pahit. Kaumnya telah melacurkan iman mereka dengan berhala anak lembu. Lebih dari itu, anugerah kebebasan ternyata tidak membuat mereka menjadi tambah syukur.
Malahan, Bani Israel kelewat lancang menikam ajaran dasar Musa. Keinginan mereka berdiri di atas tiang kesenangan dan keuntungan diri. Moralitas mereka kelewat kokoh pada unsur utilitas dan benefit belaka. Tidak ada kata ikhlas, apalagi tulus. Takaran untuk memenuhi kebutuhan adalah melalui kalkulasi rasa senang dan sedih. Bani Israel terjerumus pada sifat yang, di era kiwari, hadir dalam wujud hedonis dan egois.
Memang, Musa telah diberi fasilitas tongkat ajaib. Tapi itu hanya dia gunakan untuk kepentingan taktis melawan Firaun dan tidak lebih. Maka, orang pertama yang ia mintai keterangan adalah Harun. Harun bilang bahwa ia telah mengingatkan Bani Israel (Q.S. Thaha: 90). Meski begitu, Samiri bukanlah lawan yang seimbang. Maka, Harun sekadar bertahan sejauh yang ia bisa, sambil tetap mengajak orang-orang yang masih mau diajak maju.
Rupanya, Bani Israel hanya bebas dari satu perbudakan menuju perbudakan yang lain. Kini, mereka tampil sebagai umat yang semakin cerewet dan banyak maunya. Al-Quran mengabadikan sikap bebal mereka.
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa berkata: “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta”. Lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas. (Q.S. al-Baqarah [2]: 61)
Tidak ada sopan-santun, Bani Israel seolah menantang Musa laksana Firaun. Moda sapaan “Tuhanmu” (Robbuka) yang ditujukan kepada Musa dalam ayat di atas secara jelas menegaskan jarak atau batas antara keduanya.
Musa pun jengkel, lalu menukas, “pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta”. Ini kalimat sarkas. Musa hendak menampar kesadaran Bani Israel dengan mafhum muwafaqoh: “kalau ingin mendapati apa yang kalian minta, pergi saja ke kota di mana Firaun dulu menganiaya kalian.”
Begitulah. Nyatanya, kebebasan Bani Israel telah melahirkan dominasi watak Firaun yang dulu sangat mereka benci. Ini barangkali mirip dengan tesis Marx yang bilang kalau perjuangan menuju kebebasan pada derajat tertentu bisa melahirkan perbudakan baru. Masalahnya, ini baru dimungkinkan jika perubahan sosial tidak diikuti oleh pemutusan mata-rantai yang eksploitatif. Lebih dari itu, pertanyaan yang lebih krusial adalah kenapa Bani Israel bisa melawan orang yang dulu membebaskannya? Dan, kenapa mereka malah mengarak dirinya kembali pada mentalitas toxic seperti seorang budak?
Memang, al-Quran bukan Das Kapital. Tapi, Firman Allah itu memberitahu kita bahwa Bani Israel sempat berada dalam fase pebudakan, sampai Musa membebaskannya. Dan, perbudakan itu rupanya berlangsung dalam durasi yang kelewat cukup untuk menanamkan mitos bawah sadar bahwa Tuhan harusnya memiliki rupa. Istilah bekennya adalah berhala. Kesadaran ini terus ditanam, direproduksi, dan dipelihara oleh rezim pengetahuan saat itu. Alhasil, kendati Firaun telah tewas, hegemoni pengetahuan tentang berhala nyatanya mewaris secara sukarela dalam mentalitas Bani Israel. Demikian jika memakai kacamata Gramsci.
Terpisah, Bani Israel secara brutal meminta agar Allah menampakkan diri. Entah apa motivasinya, yang jelas mereka segera mendapat ganjaran berupa sambaran petir (Q.S. an-Nisa [4]: 153-154). Meski begitu, ini sekaligus memendarkan warta bahwa Bani Israel ternyata tidak saja tikipal pembangkang ulung, tetapi mereka juga berusaha untuk mengendalikan apa saja, termasuk Tuhan dan utusan-Nya (Q.S. al-Baqarah [2]: 67-71). Kelak, Nabi Isa dan Nabi Muhammad juga menghadapi umat dengan tipikal serupa, meski intensitasnya tidak setegang sebelumnya.