Jika membincang soal intelektualitas di masa Dinasti Abbasiyah, kita bisa menyebut banyak tokoh muslim. Tapi agaknya Anda perlu tahu, bahwa di bidang kedokteran, kontribusi besar mulanya justru datang dari keluarga besar dokter penganut agama Kristen. Keluarga ini adalah keturunan Bakhtisyu’ (beberapa menulisnya Bukhtishu’ atau Bakhtishu’, sesuai model transliterasi yang dipakai) pada perkembangan jasa dan pendidikan medis kerajaan Islam tidak bisa diabaikan. Sebagaimana orang-orang suku Arab yang berdasarkan keturunan, barangkali keluarga ini bisa disebut Bani Bakhtisyu’.
Alkisah, tersebutlah keluarga Bakhtisyu’ yang tiap generasinya melahirkan dokter. Ibnu Abi Usaibiah mencatat tiap generasi serta kisah-kisah seputar mereka dalam bukunya ‘Uyunul Anba’ fi Thabaqatil Athibba’. Konon pendahulu bani Bakhtisyu’, Jurjis bin Jibril, berasal dari Jundishapur dan menjadi dokter kerajaan era Abu Jafar Al Mansur – khalifah pertama Dinasti Abbasiyah.
Mari kita bincang sedikit soal Jundishapur. Daerah di Persia ini pada kurun abad kedelapan dan kesembilan merupakan pusat pendidikan dan pengembangan keilmuan para dokter, filsuf, dan cendekiawan lainnya. Konsep bimaristan yang di kemudian hari menjadi role model pelayanan kesehatan kerajaan Islam merujuk pada sistem di Jundishapur ini. Para dokter di Jundishapur, diajar dengan metode kedokteran Helenistik-Yunani serta pengetahuan kedokteran negeri lainnya.
Sejarawan al-Qifti dalam Tarikhul Hukama’ mencatat bahwa keunggulan Jundishapur sebagai sentra ilmu kedokteran mereka karena para ilmuwanya merujuk pengetahuan dan prakteknya pada dokter-dokter Romawi terbaik. Para ilmuwan di sana melakukan sintesa ilmu dan metode pengobatan dari Yunani, India, dan bangsa lain. Para dokter dan ahli obat melakukan penyesuaian regimen pengobatan dengan corak masyarakat Persia umumnya. Di daerah ini juga pemuda setempat atau dari berbagai negeri yang berminat menjadi dokter menyempurnakan pengetahuan dan praktek medis mereka.
Dilanjutkan pula oleh al-Qifti, daerah Jundishapur sebagai asal keluarga Bakhtisyu’ penting dicermati. Klan ini bukan hanya jadi keluarga dokter paling top di Baghdad, tapi juga yang paling terkenal, memiliki pengetahuan kedokteran terkini dibanding dokter lain, dan diakui merentang selama sekian generasi – yang konon mencapai hampir selama tiga abad, nyaris sepanjang kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
Setelah mereka berkegiatan di pusat pemerintahan Baghdad atas permintaan penguasa, Bani Bakhtisyu’ melayani banyak orang dari rakyat jelata sampai pejabat. Mereka cenderung tidak terlibat pergolakan politik dinasti yang marak kala itu. Keluarga Bakhtisyu’ ini mulai menjadi dokter di Baghdad secara bertahap untuk melayani penguasa Abbasiyah.
Di antara yang cukup berpengaruh adalah sebagai berikut. Pertama, Jurjis bin Jibril bin Bakhtisyu’. Sebelumnya ia tinggal di Jundishapur dan dipanggil ke Baghdad sekitar tahun 765 atas permohonan khalifah Abu Ja’far Mansur. Atas integritas dan keterampilannya, ia bernasib baik dan terus melayani khalifah sampai ia mulai sakit-sakitan dan diberi izin untuk kembali ke Jundishapur sekitar tahun 769 M.
Kemudian selanjutnya, Bakhtisyu’ II (wafat 801), yang semula masih tinggal di Jundishapur – melanjutkan tugas bapaknya, Jurjis, yang menjadi dokter khalifah. Bakhtisyu’ II ini dipanggil ke Baghdad oleh khalifah Harun Al Rasyid yang memerintah kurun tahun 786–809.
Atas permohonan Harun Al Rasyid juga, pada tahun 787 M putra Bakhtisyu’ II, yang bernama Jibril (kita bisa sebut dia Jibril II, guna membedakan dengan ayah kakeknya, Jurjis). menjadi dokter khalifah Harun al-Rasyid sebagai asisten dari ayahnya. Di kemudian hari ia menangani dua putra Khalifah al-Rasyid, yaitu al-Amin dan al-Maʾmun.
Pasca Khalifah Al Rasyid mangkat, kedua bersaudara ini terlibat perang saudara, yang menghasilkan kekalahan dan kematian Al Amin. Khalifah Al Ma’mun yang selanjutnya berkuasa, memenjarakan Jibril II yang dinilainya cenderung lebih dekat ke kakaknya. Jibril II dipenjara dari tahun 813 hingga 825 M.
Suatu ketika Al-Ma’mun tertimpa musibah yang menjadikannya mesti membebaskan Jibril II ini. Ibn Abi Usaibiah mencatat bahwa al-Maʾmun pernah menderita penyakit yang cukup parah di tahun 825 M. Dia dirawat oleh dokter terbaik (wujūh al-athibba’), namun ia merasa kondisinya tak kunjung membaik. Dokter khalifah saat itu, Mikhail bin Masawaih, dikomplain oleh Al-Ma’mun karena terapinya yang dirasa tak manjur.
Seorang keluarga istana menyarankan agar Al-Ma’mun coba memanggil Jibril II yang sedang dipenjara. Mulanya Al-Ma’mun mengabaikan, namun ketika kondisinya kian parah, Jibril II pun dipanggil. Setibanya di hadapan khalifah, Jibril II segala melakukan pemeriksaan dan menyesuaikan kembali obat yang sudah diberikan dokter-dokter sebelumnya. Konon, Al Ma’mun membaik sembuh dalam tiga hari di tangan Jibril II.
Kisah seputar keluarga Bakhtisyu’ dari Jundishapur ini menunjukkan bahwa sepertinya gagasan bimaristan (xenodocheion) di daerah mereka sebelumnya mereka promosikan pada elit Abbasiyah, dan akhirnya banyak bimaristan baru di Baghdad didirikan atas titah khalifah. Ahmed Ragab memberikan catatan dalam bukunya The Medieval Islamic Hospital: Medicine, Religion, and Charity bahwa penguasa Abbasiyah membikin bimaristan dengan konsep tersendiri yang lebih Islami, beda dengan di Jundishapur. Beda konsep atau tidak, tujuannya tak jauh beda: memberikan pelayanan kesehatan kepada orang banyak.
Selain tiga sosok di atas, banyak lagi keluarga mereka yang juga berprofesi sebagai dokter, dan meski tidak selalu berada di lingkar istana, kontribusi mereka di bimaristan atau daerah-daerah kekuasaan Dinasti Abbasiyah cukup diakui. Hal ini mungkin berkesan ada privilese tertentu di lingkar keluarga Nasrani ini sebab kedekatan mereka dengan penguasa. Namun signifikansi Bani Bakhtisyu’ bagi perkembangan kedokteran era Dinasti Abbasiyah tidak dapat diragukan. Keilmuan dan profesionalitas yang menjadikan mereka diakui oleh masyarakat, penguasa, juga dokter dan ahli medis lainnya. (AN)