وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ [171
“Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang meneriaki binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.”
Ayat ini mengandung beberapa wajh balaghah sebagai berikut:
Pertama, at-Tauhim, yaitu pernyataan yang nampaknya rusak/jelek padahal tidak. Hal ini karena, jika pernyataan ini datang sesuai aturan kebiasaannya, pastilah berbunyi:
ومثل الذي يدعو الذين كفروا كمثل الراعي الذي ينعق
“Perumpamaan orang yang menyeru orang kafir seperti penggembala yang meneriaki”
atau berbunyi:
ومثل الذين كفروا كمثل الضأن الذي يُنعَق، ومثل الذي يدعوهم كمثل الذي ينعق
“Perumpamaan orang kafir seperti kambing yang diteriaki, dan perumpamaan orang yang menyerunya seperti orang yang meneriaki (ternak).”
Tapi, pernyataaan ayat ini keluar dari aturan tersebut, karena telah menjadi kebiasaan ahli bahasa Arab, yang sering membalikkan pernyataan, jika pembalikan ini menimbulkan manfaat khusus yang tidak ditimbulkan oleh pernyataan standarnya.
Ibnu Abil Isba’ mengatakan bahwa manfaat pembalikan ini adalah menjaga tata-krama kesopanan terhadap kanjeng Nabi dan tidak menempatkan beliau sebagai sosok yang menakutkan, karena menyerupakan Nabi sebagai sang penyeru dengan penggembala yang meneriaki domba, nampak tidak sopan.
Kedua, Ihtibak yaitu membuang dari kalimat pertama kata yang ditunjukkan oleh kalimat kedua, dan membuang dari kalimat kedua, kata yang ditunjukkan oleh kalimat pertama.
Hal ini karena pernyataan yang diperkirakan adalah:
ومثل الذي يدعو الذين كفروا والذين كفروا، كمثل الراعي الذي ينعِق والضأن الذي يُنعَق به
“Perumpamaan orang yang berdakwah kepada orang kafir dan si kafir itu, seperti seorang pengembala yang meneriaki (kambing) dan kambing yang diteriaki)”
Lalu dihapuslah dari kalimat pertama kata berikut:
الذي يدعو الذين كفروا
Hal ini karena sudah ditunjukkan oleh kata “alladzi yan’iqu” pada kalimat kedua, lalu dari kalimat kedua dihapuslah kata berikut:
الضأن الذي يُنعَق به
Hal ini karena telah ditunjukkan oleh kata “alladzina kafaruu”.
Ketiga, tasybih tamtsili, hal ini karena pernyataan ini menyerupakan orang yang mengajak orang kafir ke dalam keimanan seperti orang yang meneriaki ternak yang tidak mengerti teriakannya, kecuali sekedar suara dan penggiringan.
Hal ini adalah tasybih mutaaddid dengan mutaaddid, karena setidaknya ada tiga hal yang diserupakan:
a- Penyerupaan pendakwah dan orang kafir dengan penggembala yang meneriaki dan yang diteriaki.
b- Penyerupaan orang kafir ketika didakwahi Nabi dengan kambing yang diteriaki (yang tidak paham maksudnya).
c- Penyerupaan orang kafir dalam penyembahannya kepada berhala dengan orang yang meneriaki kambing.
Keempat, Tasybih Mursal Mujmal. Mursal karena menyebut adat tasybih (kaaf) dan mujmal karena tidak menyebut wajh syibh. Dalam hal ini, Orang kafir diserupakan dengan hewan ternak dalam hal mereka mendengar teriakan penggembala tanpa paham maksudnya.
Dalam firman Allah, “Du’aan wa nida’an”, ada Mumatsalah, karena menyandingkan kata yang berbeda tapi bermakna hampir sama, yaitu دعاء dan نداء.
Sedangkan dalam firman Allah:
{صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَعْقِلُوْنَ}
Ada Tasybih Baligh, karena membuang adat tasybih dan wajh syibh, yang maknanya adalah mereka seperti orang tuli dalam hal tidak mendengar kebenaran, dan seperti orang buta dalam hal tidak melihat kebenaran, dan seperti orang bisu dalam hal tidak berbicara dengan kebenaran.
Dan dalam firman Allah:
{فَهُمْ لاَ يَعْقِلُوْنَ}
Ada penempatan fiil mutaaddi (transitif yang butuh maf’ul) di posisi fiil lazim (intransitif yang tidak butuh maf’ul), Hal ini ditujukan agar perhatian pembaca terfokus pada aspek ketidakpahaman mereka bukan pada apa yang tidak dipahami.
Wallahu A’lam.
Jombang, 21 Nopember 2018