Agak naif kalau kita menganggap filsafat itu haram, dan yang berfilsafat bisa dianggap sebagai kafir. Kalau kita mau menengok masa emas peradaban Islam, kita akan melihat peradaban itu diwarnai lonjakan ilmu pengetahuan dan serangkaian penemuan. Akan sulit kita mensaksi-matai tumpah-ruah itu tanpa keterlibatan filsafat dan filsuf.
Jadi, agak mengherankan bagi saya ketika di satu sisi kita membanggakan masa-masa itu tetapi sekaligus mengutuk unsur penting pembangunnya. Yang kita mau itu, apa sih sebenarnya? Nostalgia?
Bahkan bagi saya, Nabi juga berfilsafat.
Mari kita tengok kembali ayat pertama yang Allah turunkan. Bacalah! Ujar Jibril. Nabi bertanya: apa yang harus saya baca? Jibril tak menjelaskan apa-apa saja yang harus dibaca, Jibril hanya meneruskan: Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.
Artinya: Nabi disuruh membaca apapun, selama diawali dan dengan tujuan karena Allah. Oleh sebab Nabi itu ummi dan bangsa Arab lebih merupakan bangsa yang kultur sastranya bersifat oral, maka perintah “baca” ini lebih cenderung merupakan perintah untuk membacai realitas, membacai diri, membacai alamNya, membacai konstruk sosial, dan lain-lain.
Agar proses membaca ini tidak berhenti hanya di tataran fisik dan realitas yang terlihat, dan tiba pada substansi yang lebih mendasar dan lebih abstrak, maka proses ini membutuhkan filsafat.
Agak sulit untuk menganggap Nabi bodoh sama sekali dalam memahami society yang beliau tinggali. Juga mustahil Nabi tidak mempertanyakan apapun yang berkaitan dengan ‘pangsa pasar awal’ dari dakwahnya.
Juga mustahil Nabi siap menerima wahyu Islam tanpa lebih dulu keberfilsafatannya membawanya pada pemahaman mendalam akan fenomena sosio-politik, religius, dan ekonomi di Mekah. Tanpa filsafat, tanpa upaya untuk (mengutip istilah Foucault) mem-problematizing normalitas society di Mekah, Nabi tidak akan sadar pada urgensi dan ‘nilai jual’ dari wahyu Islam yang beliau terima.
Sebagai pembawa perubahan besar dalam tempo singkat, mustahil Nabi menjadi pribadi tidak berdialektika, tidak ‘membaca’, dan hanya jadi ‘kurir’ semata, apalagi dengan mempertimbangkan banyaknya ayat yang menyuruh manusia berpikir–yatafakkaruun! Menyuruh kita menggunakan akal! Dan apalagi kalau kita mempertimbangkan konten hadist dari Nabi yang merupakan proses dialektika beliau dengan realitas dan lain-lain.
Ketika Alquran menyuruh berpikir dan filsafat mengangguki perintah itu dengan membangun kultur haus jawaban dan gemar bertanya, kok bisa filsafat dianggap bertentangan dengan Islam dan Alquran?
Ihwal ada sebagian filsuf dan kajian filsafat yang dianggap bertentangan dengan Islam, sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah, karena bukankah fenomena serupa juga ada di kalangan skriptualis puritan dan fundamentalis? Yang ketidakmauannya berfilsafat bikin salah kaprah menafsirkan jihad, hijrah, dan intisari Islam itu sendiri?
Mengutip sanjungan dari teman yang agnostik, saya juga yakin bahwa jika saja Muhammad tidak diangkat Allah menjadi Nabi, maka saya yakin Muhammad akan menjadi filsuf besar Mekah. Dan selamanya beliau akan jadi favorit saya!
Filsafat mendorong seseorang untuk menyelami samudera hikmah dan makna, mengupas misykat demi misykat, menyibak tabir substansi dan inti-cahaya, maka dengannya filsafat membantu seseorang dalam bertirakat menuju makrifat.
Filsafat adalah, seperti seseorang bilang, jembatan antara ilmu pengetahuan dan agama.
Maka dari itu mari membaca, mari bertanya, mari menyelami KedalamanNya, mari berfilsafat. Karena Muhammad juga demikian.