Oki Setiana Dewi (Ustadzah Oki) meminta maaf atas ceramahnya yang dianggap menormalisasi kekerasan dalam rumah tangga. Kritik dan protes keras terhadap isi ceramah sang ustazah yang bertebaran di media sosial telah berhasil membawa isu normalisasi kekerasan dalam rumah tangga menjadi perbincangan publik.
Pertama kali menonton video sepenggal ceramah Ustazah Oki, saya hanya tersenyum. Sebab, sosok Oki Setiana Dewi bisa terbilang rumit. Perannya sebagai otoritas agama bisa terbilang baru. Namun, di sisi lain, Ustazah Oki bisa dibilang pembelajar yang giat terhadap ilmu agama. Selain kuliah hingga Strata Tiga, dia juga cukup aktif dalam beberapa aktivitas belajar agama.
Di beberapa konten media sosialnya, sang Ustazah memperlihatkan aktivitas belajarnya hingga dia memperoleh beberapa ijazah hingga sanad keilmuan, terutama terkait agama. Wahyudi Akmaliah, peneliti LIPI yang cukup konsen dengan agama dan media baru, menegaskan bahwa sosok ustazah adalah yang cukup terbuka dalam keilmuan.
“Apalagi, ia sebenarnya sosok yang terbuka juga terhadap pengetahuan. Sekali senggol aja Oki minta maaf kok”, tulis Wahyudi di akun media sosialnya. Namun, posisi Ustazah Oki sebagai Influencer sekaligus pendakwah menjadikan narasi yang telah disebarnya tentu saja tidak mudah untuk dilupakan. Terlebih, beberapa pihak yang setuju kemudian mengkonfrontasikan narasi kekerasan seksual dengan ajaran agama.
Namun, permintaan maaf dari Ustazah Oki sedikit banyak bisa diharapkan mengurangi dampak normalisasi kekerasan seksual, terutama dalam imaji netizen kita. Memang, literasi kita dalam isu KDRT masih cukup rumit, terlebih dalam perkembangan kekerasan domestik hari ini. Berangkat dalam kerumitan ini, satu film yang bisa ditonton oleh Ustazah Oki dan kita semua untuk menambal persoalan tersebut, yakni film “Maid”.
Film yang ditayangkan di salah satu aplikasi streaming video tersebut sepertinya harus masuk dalam daftar tontonan sang Ustazah. Ada dua alasan mengapa saya mengusulkan film tersebut. Pertama, film tersebut cukup bagus merekam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan berbagai kerumitannya. Kedua, “Maid” juga memberikan persfektif baru dalam melihat permasalahan KDRT dari sisi perempuan.
Ya walaupun sang ustazah harus membayar untuk berlangganan bulanan untuk mengakses film tersebut. Tentu hal tersebut tidak sulit bagi Ustazah Oki yang memiliki berbagai pemarukan dari beberapa sumber.
Film serial “Maid” tayang di Netflix mulai 1 Oktober 2021 ini bercerita tentang kisah perjuangan seorang ibu bernama “Alex”. Serial tersebut diadaptasi dari memoar berjudul Maid: Hark Work, Low Pay, and Mother’s Will To Survive karya Stephani Land. Film ini langsung mendapatkan sambutan bagus dari berbagai pencinta film sejak awal penayangannya di Netflix.
Bercerita tentang kisah perjalanan Alex (Margaret Qualley) dan putrinya, Maddy (Rylea Nevaeh Whittet) yang memutuskan keluar dari rumah, setelah tidak tahan menerima kekerasan dari sang suami. Keputusan yang diambil Alex rupanya tidak disusun dengan matang. Dia banyak mengalami kesulitan, bahkan hanya untuk menjamin kehidupan sehari-hari yang layak untuk dia dan anaknya.
Saya melihat Ustazah Oki dapat melihat mengapa normalisasi KDRT itu berbahaya dalam film serial tersebut. Perjuangan Alex menggambarkan bagaimana KDRT hari ini cukup beragam dan mengapa banyak perempuan masih sulit keluar dari lingkarang kekerasan tersebut.
Salah satu bagian menarik dalam film tersebut adalah ketika Alex diwawancara oleh petugas sosial. Dia (Alex) kesulitan mendefenisikan dirinya sebagai korban Domestic Violence (KDRT). Sebab dia merasa tidak pernah disiksa atau dipukul. Alex melihat dirinya dalam ancaman sang suami. Saat itu ingatan-ingatan Alex akan aksi kekerasan sang suami seperti ditayangkan ulang, seperti ketika sang suami memarahi sembari memukul dinding sampai jebol di samping kepalanya.
Selain itu, kekerasan yang dialami ibu dan beberapa teman Alex di penampungan seakan ingin menyadarkan kita, bahwa KDRT tidak bisa selesai jika kita hanya lari dari permasalahan tersebut tanpa memberikan perlawanan. Sosok ayah dan suami Alex digambarkan bahwa pelaku kekerasan dalam rumah tangga bisa dilakukan oleh siapa saja, walaupun dari tampilan luarnya terlihat baik-baik.
Di sisi lain, perempuan yang menjadi korban KDRT juga memiliki keragaman latar, mulai dari masyarakat miskin dan kalangan orang kaya. Oleh sebab itu, film ini sangat direkomendasikan untuk menjadi tontonan sang Ustazah untuk memperkaya dan memperluas pandangan beliau dalam melihat KDRT. Kisah nyata di Jeddah hanya merekam sedikit bagaimana kekerasan yang dimaklumi, padahal kasus-kasus kekerasan dapat menjadi trauma tidak saja bagi sang istri namun juga oleh anak-anak mereka.
Mungkin perempuan dalam cerita Ustazah Oki masih beruntung mendapati sang suami bisa bertaubat setelah melihat perbuatannya, yang tidak menceritakan kekerasan yang diterimanya pada orang tuanya. Namun, sepertinya masih banyak perempuan yang memaklumi aksi kekerasan tersebut masih menjadi korban hingga hari ini. Alangkah bijaknya jika Ustazah Oki bisa melihat permasalahan KDRT lebih luas.
Walaupun banyak sisi positif dalam film tersebut, namun tetap saja tidak mengubah fakta bahwa ia adalah produk dari Barat. Hal ini mungkin sekali menghadirkan bias bagi kalangan konservatif yang terlanjur memandang Barat dengan segala produknya, adalah instrumen dalam upaya menghancurkan Islam. Semoga saja Ustazah Oki keluar dari pandangan bias tersebut ketika menonton film Maid.
Memang, kasus KDRT dalam film tersebut berlatar masyarakat Barat, dalam hal ini Amerika Serikat. Namun, hal tersebut tidak menghalangi kita semua mengambil banyak pelajaran dan hal-hal baik lainnya dalam film serial di Netflix tersebut.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin