Saat ini muncul sikap mempertanyakan dalil atas berbagai tindakan dan tradisi yg berlaku di masyarakat. Apapun tindakan yang dilakukan selalu dipertanykan apakah ada dalilnya atau tidak. Bahkan tindakan yang sudah biasa dilakukan sehari hari dipertanyakan dalilnya.
Tidakan ini benar tapi belum tentu baik. Karena untuk menunjuk teks yg bisa dijadikan sebagai dalil atas suatu tindakan perlu perangkat ilmu yang memadai dengan proses dan prosedur yang panjang.
Ini terjadi karena setiap teks (nash) yang ada itu memiiki konteks sehingga penerepannya harus sesuai dengan konteks tersebut. Penerapan suatu dalil yg tidak sesuai konteksnya akan berakibat pada terjadinya kekacauan tatanan sosial karena terjadi benturan antara realitas dan bunyi teks.
Selain itu pengabaian realitas (sebagai ayat kauniyah) dalam penerapan teks (ayat qauliyah) sebagai dalil akan membuat teks tersebut menglami disfungsi. Atau sebaliknya ummat Islam menjadi stagnan karena terbelenggu teks akibat kesalahan penerapan teks tersebut sebagai dalil.
Cotoh paling nyata adalah penggunaan teks “man tasyabba biqaumin fahuwa min hum” sebagai dalil. Teks ini memiliki konteks dan soirit tertentu yang hanya akan berfungsi secara maksimal jika digunakan sesuai dengan konteks dan spirit dari teks tersebut. Jika teks ini digunakan dalam segala situasi dan konteks kehidupan maka ummat Islam tidak akan pernah bisa berkembang karena setiap melakukan sesuatu yg menyamai orang lain akan dianggap sama dg kaum tersebut.
Jika Walisongo menerapkan teks ini sebagai dalil dalam strategi dakwahnya mungkin Islam belum berkembang di Nusantara hingga saat ini. Sebagaimana kita ketahui, dalam penyebaran Islam, Walisongo menggunakan berbagaj macam tradisi dan seni yang ada di kalangan masyarakat Nusantara.
Para wali tahu persis wahwa wayang, slametan, tembang dan sejenisnya adalah tradisi non muslim. Tapi ini bisa menjadi sarana efektif dalam penyebaran Islam. Kalau tidak pake cara tersebut Islam sulit diterima oleh bangsa Nusantara. Ini artinya jika dalil “man tsyabba…” dipake maka dakwah Islam bisa gagal. Atas dasar inilah maka para Wali tidak menggunakan teks tersebut sebagai dalil karena tidak sesuai konteks masyarakat Nusantara saat itu.
Menghadapi situasi demikian, walisongo mencari teks lain yg lebih sesuai untuk dijadikan dalil dalam berdakwah yaitu “khatibunnas ala qadri uquulihim..” (berilah penjelasan pada manusia sesuai kadar kemampuannya) atau ayat “ud’u fi sabilillah bil hikmah…”. Berdasar pada dalil ini para wali berdahwah dengan menggunakan seni dan tradisi lokal. Berkat kreatifitas para wali menggunakan seni dan tradisi yg diisi dengan ajaran Islam akhirnya Islam bisa diterima secara massif dan penuh suka cita oleh bangsa Nusantara. Strategi inilah yg kemudian diikuti oleh ulama2 Nusantara generasi berikutnya. Termasuk saat menerima NKRI sebagai bentuk negara dengan Pancasila sebagai dasarnya.
Apa yang dilakukan walisongo dan para ulama nusantara ini merupakan bukti bagaimana penerapan suatu dalil secara tepat dan akurat agar bisa membawa maslahat. Ini terjadi karena ketepatan dalam memilih dalil yg sesuai kontkes dan problem yang dihadapi.
Sebagai petunjuk dan pijakan hidup qur’an hadits merupakan teks yg lengkap dan canggih. Tapi selengkap dan secanggih apapun petunjuk jika yang menggunakan tidak tidak memiliki kemampuan mengoperasikan secara baik maka akan sia-sia bahkan bisa berbahaya.
Ibaratnya, nash (qur’an hadist) adalah gudang senjata yg paling komplit dan canggih. Apapun senjata, mulai jarum penthul sampe bom nuklir ada di salamnya. Untuk bisa menggunakan senjata tersebut harus tahu cara menggunakan dan peruntukannya. Ini artinya, perlu ilmu menggunakan dan membaca kenyataan agar penggunaannya tepat sasaran.
Misalnya kalau cuma untuk potong ayam ya cukup ambil parang atau pisau, tidak perlu pakai granat. Jika kita pake pisau unt potong ayam bukan berarti granat tidak berguna atau tidak terpakai. Granat akan berguna dalam konteks tertentu dan situasi tertentu.
Demikian juga dalam penerapan nash sebagai dalil harus sesuai dengan konteks dan problem yang dihadapi. Misalnya apakah tepat menggunakan ayat al-maidah 51 dalam pilkada? Apakah tepat menggunakan teks “man tsyabba biqaumin..” untuk menghukumi kafir orang-orang yang tahlilan, sholawatan karena dianggap sama dengan orang Hindu dan orang Kristen. Kenapa tidak cari ayat dan hadits lain yang lebih sesuai dengan konteksnya? Seperti yang dilakukan oleh walisongo dan para ulama Nusantara.
Jangan-jangan pemaksaan penggunaan ayat al maidah 51 sebagai dalil dalam pilkada seperti penggunaan granat untuk memotong ayam. Memang sih ayamnya mati, tapi yang motong bisa ikut mati dan lingkungan sosial bisa rusak. Inilah contoh penggunaan dalil yg tidak sesuai dengan konteknya.
Apa yang terjadi menunjukjan penerapan dalil yang ngawur, tanpa ilmu yang memadai dan tidak sesuai dengan konteksnya akan sangat berbahaya karena bisa merusak tatanan kehidupan, mempersempit dan mendangkalkan ajaran Islam yang universal.
Sebaliknya penerapan dalil yang tepat dengan konteksnya disertai dengan ilmu yg memadai akan membuat Islam benar benar menjadi alat solusi dan pentujuk yang akurat. Dengan demikian bisa dibuktikan secara nyata bahwa Islam itu shoheh likulli zamanin wa makanin.
Atas dasar ini para ulama sangat hati-hati dalam menerapkan dalil. Prosedur dan persyaratan yg ketat dalam penerapan dalil sebagaimana yang ada dalam kaidah fiqh, ushul fiqh, tafsir dan tasawwuf bukan ditujukan untuk membatasi. Tetapi untuk menjaga agar seseorang tidak sembarangan menggunakan dan menerapkan dalil tanpa ilmu. Dalam konteks kehidupan berbangsa di Indonesia yang beragam kehati hatian dalam mengambil dan menerapkan dalil menjadi sangat penting.
Jika belum mamiliki ilmu dan pemahaman yg cukup cara menerapkan dan menggunakan dalil ada baiknya mengkuti para ulama. Memaksa orang awam berdalil tanpa ilmu sama dengan memaksa anak kecil menggunakan senjata. Bukannya untuk saling melindungi dan menciptakan kemaslahatan tapi malah menjadi alat untuk saling melukai bahkan saling bunuh. Naudzubillah.****