Bangun pagi dan yang terhidup sudah tidak lagi kesejukan, tapi polusi. Apa yang sedang terjadi di Jakarta beberapa minggu ini benar-benar membuat geger seantero dunia. Bagaimana tidak, kabar tentang buruknya kualitas udara di Jakarta tidak hanya menjadi konsumsi dalam negeri, tetapi juga sudah diwartakan media mancanegara.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi pada negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini, padahal hadits tentang menjaga ibu-bumi sangat jelas, seperti berikut:
“Jagalah bumi, karena ia adalah ibu kalian. Dan sungguh tiada seorang pun yang beramal baik atau buruk diatasnya melainkan bumi mengabarkannya (kepada Allah).” (Nahjul Fasahah)
Beberapa alasan yang muncul terkait penyebab polusi udara di Jakarta beragam. Ada yang menyebutkan karena musim kemarau plus el nino, emisi transportasi, PLTU berbasis batubara di sekitar Jakarta, sampai polusi dari industri manufaktur yang mengepung Jakarta.
Konon kemarau panjang plus el nino menjadi alasan yang paling signifikan. Absennya air hujan membuat polusi mengambang di udara karena tidak tercuci dan jatuh ke daratan. Mungkin ini juga yang menyebabkan salah satu solusi jarak dekat yang diusulkan rapat terbatas mengenai polusi Jakarta tanggal 14 Agustus lalu adalah rekayasa cuaca untuk memancing hujan.
Dari lain sisi menyatakan bahwa yang paling berpengaruh pada konsentrasi polusi adalah akibat PLTU berbasis batubara, transportasi, dan industri manufaktur.
Karena memang tercatat ada sekitar 16 PLTU berbasis batubara di sekitar Jakarta dan 418 industri manufaktur dalam radius 100 kilometer dari Jakarta. Sehingga muncul usulan untuk diadakannya WFH atau kerja dari rumah. Karena WFH dianggap dapat menekan jumlah polusi dari emisi kendaraan bermotor.
Ada juga usulan tentang pajak emisi yang dikenakan pada kendaraan dengan emisi tidak layak. Jadi mula-mula setiap kuda besi perlu diukur emisinya dan tiap hasil hitungan akan dikonversi yang nantinya akan berpengaruh pada harga pajak tahunan kendaraan. Namun info tentang pajak emisi masih dalam proses rapat yang mungkin tidak akan selesai dalam waktu dekat.
Sementara, penyebab polusi dari PLTU berbasis batubara dan industri manufaktur tidak ditemukan solusi yang ditawarkan untuk mereka harus ngapain. Malah terdapat beda pendapat antara presiden, KLHK, dan Pemprov DKI soal apakah PLTU menyumpang polusi di Jakarta. Jokowi menyatakan PLTU sebagai salah satu sumber polusi, sementara 2 yang lain menyatakan tidak. Konon 2 sumber ini tidak begitu diulik karena berhubungan dengan ekonomi dan politik.
Selain ribut-ribut untuk menentukan musabab polusi, yang menjadi catatan penting dari ramai-ramai soal polusi ini adalah fakta bahwa penderita penyakit yang berhubungan dengan pernafasan (ISPA) memiliki tren positif, jumlahnya naik dibandingkan saat pandemi. Hal ini bisa jadi indikasi bahwa udara Jakarta memang sedang tidak baik-baik saja.
Namun fakta jumlah penderita ISPA yang naik langsung dibantah DinKes yang menyatakan kondisi saat ini belum kritis karena kondisi lebih buruk pernah tercatat pada tahun 2018 dan 2019 lalu. Kondisi udara buruk di Jakarta sebenarnya sudah terjadi sejak awal 1990-an, 3 dekade lalu.
***
Kondisi saat ini seakan kontras dengan hadits di muka, karena saya kira hadits ini clear sekali tentang perintah menjaga ibu-bumi.
Selain menjaga bumi, bumi juga akan melaporkan semua kejadian yang terjadi diatasnya pada Allah, sehingga pertanyaan yang selanjutnya muncul setelah mencari tahu sebab polusi bukanlah mencari siapa yang paling bersalah? Karena itu bukan urusan kita, dan kalaupun ada yang salah, bumi sudah mencatat dan akan melaporkannya pada Tuhan.
Sementara itu, menjaga dan memperbaiki kondisi udara tentu bagian dari menjaga ibu-bumi dan bagian dari amal baik, yang sama-sama nanti akan dikabarkan Ibu-bumi pada Allah. Hal ini perlu dimulai dan kemudian diamplifikasi.
Yang lebih penting ditanyakan dari pada mencari siapa yang salah adalah jihad apa yang bisa “saya” lakukan untuk mengurangi polusi dalam upaya menjaga Ibu-bumi?
Setiap kita punya tanggung jawab atas kondisi bumi yang kita pijak. Itulah kenapa kita penting menanyakan tentang apa yang bisa “saya lakukan”, bukan hanya merekomendasikan apa yang “seharusnya mereka lakukan”.
Mencari tahu apa yang bisa saya lakukan adalah hal penting, karena kita jadi paham apa yang sebenarnya bisa kita usahakan dan tidak bisa kita usahakan.
Semua usulan lebih-lebih yang disampaikan pribadi masih berkutat dengan kata ganti “mereka” harus ngapain. Seperti usulan swasta harusnya WFH juga dengan kompensasi bla bla bla agar turut menekan produksi polusi di jalan, karena kalau hanya ASN yang WFH itu tidak lebih dari 1% jumlah pekerja di Jakarta. Dan ironinya, bersamaan dengan itu tidak muncul redaksi saya harus ngapain.
Atau jangan-jangan kita memang tidak pernah punya solusi yang bisa dilakukan untuk diterapkan diri sendiri.
“Kebijakan WFH untuk ASN sebanyak itu saja cuma berdampak 1%, kalau hanya saya yang berubah, ya malah tidak berdampak apa-apa?”
Pernyataan seperti ini yang saya kita perlu dikritisi. Harusnya kalau saya berubah dan saya tidak berdampak bukan malah membuat kita meninggalkan semua dan akhirnya tidak berubah. Karena usul fiqh menyatakan kalau tidak bisa melakukan semua ya jangan tingalkan semua.
Malah, seharusnya eksistensi kita yang tidak signifikan di muka bumi ini membuat kita sadar bahwa kita memang perlu untuk tumbuh. Memperbesar kapasitas dan lingkaran pengaruh.
Penting untuk cek and ricek perbuatan apa yang paling signifikan menambah polusi di udara dan apa yang bisa kita lakukan untuk mulai berubah. Misal kita dapati bahwa perilaku menggunakan listrik berlebih dan membuang emisi kendaraan bermotor di jalan adalah hal paling menyumbang polusi. Ya sedari sekarang kita perlu berubah dengan hidup lebih hemat listrik dan mulai menggunakan transportasi publik.
Dengan melakukan cek and ricek pada hidup kita, hal itu akan mendorong kita memahami persoalan polusi ini secara lebih komprehensif.
Urusan apa yang kita lakukan signifikan atau tidak, mula-mula pasti tidak signifikan. Sehingga agar gerakan kita berkelanjutan dan lebih berdampak, yang bisa dilakukan selama mulai berubah dari diri sendiri adalah mengajak yang lain untuk mulai hidup dengan mengurangi jumlah polusi udara masing-masing sesuai gaya hidup masing-masing.
Membangun jejaring dengan kelompok se-visi, memperkuat basis akar rumput yang kita miliki, dan melakukan advokasi litigasi agar terdapat kebijakan publik yang lebih strategis untuk menekan jumlah polusi.
Intinya adalah kita sadar apa yang bisa kita lakukan dengan tangan kita sendiri dan apa yang tidak bisa kita lakukan dengan tangan kita sehingga sifatnya hanya saran.
Sehingga akhirnya kita memiliki pemahaman yang lebih lengkap dan dengan kesadaran yang baru. Bahwa yang dilarang tidak hanya makan babi, zina, dan minum alkohol. Tetapi, membuang polusi ke atmosfer pun juga dilarang, karena perbuatan itu secara tidak langsung akan melukai ibu-bumi. Tugas kita jelas, menjaga Ibu-bumi, dan itu bukan hanya tugas Pak Jokowi. itu.