Mengadu kepada Tuhan bukanlah hal yang sulit. Kesulitan itu terletak pada bagaimana agar Tuhan memberi jawaban! Demikian tulis Ingrid Mattson dalam Ulumul Qur’an Zaman Kita.
Di masa Nabi, orang boleh saja punya masalah, lalu berdoa kepada Tuhan dan mendapat jawaban lewat Rasul SAW. Ada banyak riwayat yang menceritakan betapa Allah SWT dengan kemurahan-Nya turut serta dalam merespon ironi sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Tapi bagaimana dengan masa kini? Bukankah telah terbentang jurang peradaban yang kelewat jauh antara kita dan masa pewahyuan?
Sehubungan dengan itu, Prof. Quraish Shihab dalam sebuah webinar bertajuk “Pengarusutamaan Tafsir Moderat di Ruang Digital” memberikan panduan agar umat Muslim mendapat pencerahan Tuhan lewat al-Qur’an.
#1 Hormati al-Qur’an
Yang pertama ini secara mutlak berlaku buat semua yang ingin mempelajari al-Qur’an. Mengapa? Tentu saja karena dia adalah kalam Tuhan.
“Karena dia adalah kalam Allah, maka anggaplah dia turun kepada Anda. Kalau ada ungkapan yang mengandung permohonan, maka ikutlah memohon,” kata Prof. Quraish.
Lebih jauh, sebagai firman Tuhan, al-Qur’an adalah bacaan yang sempurna. Itulah mengapa ia dinamakan al-Qur’an (setidaknya menurut pendapat yang populer). Berasal dari akar kata qara’a, bentuk mashdar qur’aanan menjadi bukti bahwa ia betul-betul bacaan yang sempurna. Demikian analisis gramatikal seperti dijelaskan penulis Tafsir al-Misbah ini.
Sedemikian sempurnanya, al-Qur’an pun mudah dibaca dan mudah difahami bagi semua orang, baik yang cerdik-pandai maupun yang awam. Bahkan al-Qur’an juga dibaca oleh anak kecil dan orang tua, oleh yang mengerti artinya atau yang tidak mengerti artinya.
Plus, tidak ada satu bacaan yang diatur mekanisme membacanya melaui satu ilmu khusus, tajwid. Tidak ada satu bacaan yang ditafsirkan maknanya, dikemukakan kesan-kesan yang ditimbulkannya seperti orang-orang memperlakukan al-Qur’an. Dan, inilah bacaan sempurna yang terpelihara, bukan saja dalam bentuk tulisan, tetapi juga dalam bentuk hafalan.
#2 Bersahabatlah dengan al-Qur’an.
Ya, semakin Anda bersahabat dengan al-Qur’an, semakin banyak rahasia yang akan disampaikan kepada Anda, baik melalui pemikiran dan upaya Anda maupun melalui pencerahan atau pengilhaman Tuhan kepada Anda.
Bukankah seorang yang bersahabat dengan orang lain tidak akan segan menyampaikan rahasia-rahasianya? Karenanya, kalau ingin memperoleh penafsiran yang baik dan benar, maka bersahabatlah dengan al-Quran.
#3 Al-Qur’an Adalah Ma’dubatullah atau Hidangan Tuhan
Laksana jamuan pesta, ada bermacam-macam hidangan yang tertuang di dalamnya. Pada dasarnya, semua intisari kehidupan telah terhidang di dalam al-Qur’an. Persoalannya, seberapa jauh upaya kita untuk mengakses hidangan itu?
Dan, kalaupun telah berada di depan meja prasmanan itu, apakah kita selayaknya bertengkar kalau ada seorang yang mengambil kopi sedangkan Anda mengambil teh? Jelas, itu merupakan pemandangan yang tidak elok.
“Karenanya, hormati semua pendapat, walaupun Anda tidak sependapat dengan dia, selama yang bersangkutan mengambil dari hidangan yang sama,” tegas Prof. Quraish.
Memang, al-Quran adalah hamalatu lil wujuh. Maksudnya, ia bisa melahirkan aneka pendapat yang kesemuanya bisa saja mengandung kebenaran, dan oleh karena itu jangan saling menyalahkan walaupun Anda berbeda penafsiran dengan orang lain selama penafsiran itu diambil dari teks-teks al-Qur’an.
Juga, tak kalah penting adalah hormatilah para pendahulu. Anda, misalnya, bisa saja berfikir bahwa pendapat mereka salah. Tapi ketahuilah bahwa itu dari sisi tinjauan Anda di masa kini. Boleh jadi lewat tinjauan masa lalu ketika para ulama itu hidup, pendapat itulah yang benar.
#4 Jangan Menafsirkan al-Qur’an dengan Kira-kira, Karena Itu Pasti Salah.
Memang, kita tidak sepenuhnya bisa menafsirkan al-Qur’an. Hanya saja, ada yang mendekati kebenaran kalau itu didukung argumentasi-argumentasi yang demikian banyak. Itulah yang dinamai qath’iyudhilalah. Tapi, dari sekian banyak penafsiran yang ada, umumnya adalah dzanniyu dhilalah.
Dan, bedakan antara dzanni dengan kira-kira. Keduanya adalah sangat kontras. Ringkasnya, Anda boleh mencari pencerahan atau bahkan menafsirkan al-Qur’an sejauh punya pijakan yang kuat, walaupun belum sampai tingkat keyakinan.
#5 Jangan Malu Berkata Tidak Tahu
Menjadi jubir Tuhan itu memang tidak bisa sembarangan. Salah-salah, umat justru dibikin sesat oleh pernyataan dai serampangan yang mengatasnamakan Tuhan.
Karenanya, ada kalanya saat seseorang tidak mengerti tentang suatu perkara, maka tidaklah mengapa jika ia mengatakan apa adanya. Mengapa?
“Sebab, orang yang lebih pandai dari saya dan dari Anda, orang yang lebih pandai dari Imam Syafi’I dan Imam Malik, dari at-Thabari atau Ibn Katsir, tidak malu berkata saya tidak tahu,” tutur Prof. Quraish.
Sayyidina Umar, misalnya, ketika membaca wafakihatan wa abba, dia tidak tahu apa artinya abba. Maka dia berkata, “sudah, yang penting ini berbicara tentang anugerah Allah, saya tidak tahu, saya tidak akan menafsirkan.” Itu prinsipnya.
#6 Jangan Mencari Pembenaran dari al-Qur’an
Ya, ini memang kerap terjadi. Terkadang, dan seringkali ada yang secara sengaja mengutip ayat Qur’an sebatas melegitimasi kehendak egonya belaka.
Dalam sebuah ibarat, kalau al-Qur’an adalah hidangan Allah dan aneka makanan tersedia di sana, maka jangan bawa makanan pribadi Anda ke hidangan Tuhan. Salah-salah, bisa tersinggung tuan rumah.
“Pendeknya, jangan mencari pembenaran dari al-Quran terhadap ide Anda, tetapi carilah kebenaran itu melalui al-Qur’an walau dengan mengorbankan pendapat Anda, karena pendapat Anda itu adalah pendapat yang belum didukung oleh firman-firman Allah” pungkas Prof. Quraish.