Bagaimana Santri dan Mahasiswa Muslim Indonesia Berkontribusi Terhadap Menguatnya Hubungan Indonesia dan Tiongkok?

Bagaimana Santri dan Mahasiswa Muslim Indonesia Berkontribusi Terhadap Menguatnya Hubungan Indonesia dan Tiongkok?

Bagaimana Santri dan Mahasiswa Muslim Indonesia Berkontribusi Terhadap Menguatnya Hubungan Indonesia dan Tiongkok?
Islam berkembang di Tiongkok sejak zaman dahulu. pict by muslimahdiary.com

Artikel ini ditulis oleh Arif Zamhari, Guru Besar Sosiologi Agama di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Aldi Nur Fadil Auliya Peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM).

 

Selama di bawah kepemimpinan presiden Jokowi, hubungan bilateral Indonesia-Tiongkok terus berkembang semakin erat. Penguatan kerja sama antara Jakarta dan Beijing ini tidak hanya terfokus di bidang ekonomi dan politik, tetapi juga dalam bidang pendidikan dan kebudayaan.

Dalam upaya penguatan hubungan ini, peran santri dan mahasiswa Muslim Indonesia yang merupakan lulusan perguruan tinggi Tiongkok terlihat semakin menonjol dalam mempererat hubungan kedua negara.

Sejak organisasi-organisasi massa Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, menyuarakan kritik mereka atas dugaan perlakuan buruk terhadap etnis Muslim Uighur di Xinjiang pada tahun 2018 lalu, Tiongkok kian mengintensifkan diplomasi Islamnya terhadap Indonesia.

Berkembangnya sentimen anti-China di Indonesia ketika itu membangunkan Beijing bahwa situasi tersebut dapat berpotensi buruk bagi kepentingan Tiongkok di negara ini.

Merespons hal tersebut, pemerintah Tiongkok telah menempuh beberapa langkah strategis diplomasi Islam, terutama melalui peningkatan kolaborasi dengan organisasi-organisasi Islam utama di Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah dalam beberapa proyek.

Salah satu aspek penting dari kemitraan ini adalah penyediaan beasiswa penuh yang dikhususkan bagi anggota NU dan Muhammadiyah untuk menempuh pendidikan tinggi di universitas-universitas Tiongkok.

Terlepas dari banyaknya narasi kritis yang mengekspresikan bahwa upaya tersebut memiliki “tujuan terselubung” untuk membungkam masyarakat sipil Muslim, termasuk dalam menyuarakan isu diskriminasi terhadap minoritas Uighur, pendekatan diplomatik ini terbukti efektif dan memperlihatkan hasil yang progresif dalam beberapa tahun terakhir.

Dalam penelitian kami berjudul “Prospek Mahasiswa Muslim Indonesia yang Lulus dari Perguruan Tinggi di Tiongkok: Pengalaman Pendidikan, Jaringan Profesional, dan Kontribusi Diplomatik”, kami menemukan bahwa Tiongkok telah secara strategis menjaring para mahasiswa Muslim Indonesia yang berpotensi dapat memperkuat hubungan Indonesia dan Tiongkok.

Setidaknya, itu bisa dilihat dari sepak terjang para alumni Muslim mereka yang sejauh ini telah berkontribusi dalam meningkatkan citra positif hubungan Tiongkok dan Islam melalui berbagai publikasi dan aktivitas media sosial mereka.

Salah satu alumni Muslim yang paling mencolok adalah Novi Basuki, seorang santri dari kalangan Muslim tradisional Nahdlatul Ulama.

Pada tahun 2021, Novi menulis sebuah buku berjudul “Islam di Tiongkok: Dulu dan Kini” yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas. Ia juga aktif menulis berbagai artikel opini dan memberikan komentar di berbagai platform media dan tanpa ragu mengonter berbagai isu yang berpotensi menyudutkan Tiongkok, termasuk isu Muslim Uighur dan Pemboikotan Olimpiade Beijing 2022.

Selain itu, Novi juga mendirikan platform media sosial Aseng.id yang menampilkan sisi lain dari Tiongkok dan aktif berpartisipasi dalam berbagai wawancara dan diskusi-diskusi daring.

Menyusul Novi, beberapa alumni Muslim lainnya dari kalangan Nahdlatul Ulama juga telah berkontribusi dengan menulis beberapa buku. Buku berjudul “Santri Indonesia di Tiongkok”, misalnya, yang ditulis oleh Ahmad Syaifuddin Zuhri dan kawan-kawan yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada tahun 2023, telah mendapatkan atensi dari kalangan santri Indonesia. Buku itu membahas tentang situasi keislaman yang kompleks dan beragam di Tiongkok.

Para penulis juga mendiskusikan perkembangan pesat Tiongkok dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi selama beberapa dekade terakhir.

Ahmad kini merupakan seorang dosen di salah satu Universitas Islam Negeri (UIN) di Indonesia. Ia juga sebagai Rois Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Tiongkok.

Dalam perannya ini, Ahmad secara pro-aktif mendorong pentingnya peran santri dalam memperkuat hubungan antara Indonesia dan Tiongkok, terutama dalam menghilangkan persepsi negatif di masyarakat di kedua negara.

Karya terbaru yang diterbitkan pada tahun 2024 yang ditulis oleh lulusan Muslim lainnya berjudul “Pertautan Muslim Indonesia dan Tiongkok: Sejarah dan Dinamika Akulturasi Budaya Dua Bangsa”. Budy Sugandi, Wakil Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama (GP Ansor NU) dan alumnus doktoral dari Southwest University, Tiongkok, merupakan inisiator dalam proses penulisan buku ini.

Para penulis menggali sejarah tentang pertautan muslim Indonesia dan Tiongkok, inkulturasi budaya Tionghoa di beberapa daerah di Indonesia, hingga bagaimana kedua bangsa bertemu dan melahirkan kebudayaan baru. Buku tersebut juga telah mendapatkan endorsement dari para sarjana Muslim terkemuka seperti Sumanto Al Qurtuby, Ismail Fajrie Alatas, Noorhaidi Hasan, dan Ayang Utriza Yakin, dengan kata pengantar yang ditulis oleh Menteri Agama Indonesia (2020-2024), Yaqut Cholil Qoumas.

Selain itu, selama wawancara mendalam bersama alumni dan mahasiswa Muslim Muhammadiyah yang belajar di Tiongkok, kami juga mendapati banyak kesan positif yang mereka bagikan selama tinggal di negara tersebut.

Ketika isu terkait tindakan represif pemerintah Tiongkok terhadap etnis Uighur ramai dibicarakan di Indonesia, para kader Muhammadiyah yang tinggal di sana bahkan membantu meredam keresahan masyarakat Indonesia dengan membagikan pengalaman kehidupan Muslim yang aman dan nyaman di Tiongkok melalui sosial media mereka.

Tidak hanya tentang citra positif hubungan Islam dan Tiongkok, beberapa alumni Muslim mereka juga berkontribusi melalui bidang lainnya, seperti pendidikan dan kebudayaan serta perdagangan dan investasi.

Di bidang pendidikan dan kebudayaan, beberapa di antara mereka telah mendedikasikan diri di lembaga-lembaga Confucius Institute yang sudah berdiri di beberapa universitas di Indonesia dan turut memfasilitasi berbagai diskusi untuk mengenalkan budaya Tiongkok.

Sementara di bidang perdagangan dan investasi, dengan keterampilan dan kemampuan bahasa Mandarin yang mereka miliki, sebagian mereka telah bekerja di perusahaan-perusahaan Tiongkok yang beroperasi di Indonesia.

Diplomasi Islam Tiongkok melalui jaringan para santri dan mahasiswa Muslim Indonesia ini tampaknya telah sebagian berkontribusi terhadap menurunnya persepsi negatif Indonesia terhadap Tiongkok selama beberapa tahun terakhir.

Laporan Survei The State of Southeast Asia 2024 yang dilakukan oleh ISEAS-Yusof Ishak Institute menunjukkan tren ini.

Persentase responden Indonesia mengenai perlakuan buruk Tiongkok terhadap minoritas di Tibet dan Xinjiang serta penanganan Hong Kong, yang berpotensi memperburuk kesan positif mereka terhadap Tiongkok, telah menurun dari 42,0% pada tahun lalu menjadi 27,6% pada tahun ini.

Pada saat yang sama, ketika responden Indonesia ditanya bagaimana perkembangan hubungan Indonesia dengan Tiongkok dalam tiga tahun ke depan, 58,5% mereka mengatakan bahwa hubungan tersebut akan “membaik”. Persentase optimisme ini meningkat dibandingkan dengan tahun lalu yang hanya 33,9%.

Seiring menguatnya hubungan Indonesia-Tiongkok di bidang investasi dan stabilitas regional, diplomasi Islam Tiongkok melalui jaringan alumni Muslim mereka tampak menjadi salah satu pendekatan kekuatan lunak yang halus dan cerdas untuk meningkatkan pengaruhnya di negara mayoritas Muslim terbesar di dunia ini.