Diskursus tentang hukum Islam di Indonesia sejatinya sudah ada sejak pemerintahan Hindia Belanda. Politik Belanda di akhir abad 19 telah memberikan gambaran terkait dengan posisi hukum Islam di Indonesia. Adalah L.W.S Van Den Berg, seorang orientalis asal Belanda, yang mengatakan bahwa hukum Indonesia adalah hukum Islam, bukan hukum adat atau yang disebut Receptio in Complexu.
Namun, teori tidak bertahan lama. Sejak datangnya Snouck Hurgronje di Indonesia, mengamati dan meneliti terkait dengan hukum di Indonesia, Snouck menemukan adanya ketidaksesuaian antara teori Van Den Berg dengan realitas sosial masyarakat adat. Snouck Berargumen bahwa sebenarnya hukum yang berlaku di Indonesia pada masa itu ialah hukum adat. Adapun hukum Islam sudah terintegrasi dalam hukum adat tersebut. Teori ini kemudian disebut receptie. Singkatnya, sejak saat Snouck menjabat, hukum yang diterapkan di Indonesia meliputi tiga yaitu hukum Islam, hukum sipil, dan hukum adat.
Ketika Indonesia sudah merdeka, pengaruh pemikiran Snouck masih ada. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya ketiga pembedaan negara terhadap hukum di Indonesia. Negara Indonesia tidak mengambil bentuk sebagai negara integralisitik, sebagaimana Iran, namun mengambil paradigma Pancasila.
Paradigma Pancasila berbeda dengan paradigma lainnya. Terdapat tiga paradigma yang menjelaskan relasi antara agama dan negara, pertama paradigma integralistik yang mengakui adanya kedaulatan Tuhan, seperti konsep imamah atau negara Syiah. Kedua, paradigma simbiotik, adanya saling membutuhkan antara agama dan negara. Ketiga, paradigma sekularistik, yaitu memisahkan agama dan negara.
Dari ketiga paradigma tersebut sebenarnya Indonesia masuk dalam kategori berparadigma simbiotik. Namun paradigma simbiotik yang didasarkan pada falsafah Pancasila. Jadi Pancasila memberikan batasan kepada negara agar tidak terjebak dalam kerangka negara integralisitik maupun sekularisitk, serta posisi hukum Indonesia tidak akan didominasi oleh agama mayoritas (Islam).
Maka dari itu, ketika hukum Islam diterapkan menjadi hukum negara disebut dengan hukum positif. Namun, upaya positifikasi hukum Islam tidak lah mudah. Sebab negara memiliki andil untuk mengintervensi hukum Islam apakah sesuai atau tidak dengan keadaan Indonesia. Di era Orba, keluarnya UU Perkawinan 1974, menunjukkan bagaimana hukum Islam diproduksi untuk kepentingan negara. Pada masa itu, sebenarnya negara masih kebingungan untuk menyatukan hukum (kodifikasi hukum) perkawinan di Indonesia.
Upaya positifikasi hukum Islam dalam sebuah negara seperti Indonesia diperlukan adanya sebuah pembacaan yang kritis terhadap situasi historisitas masyarakat Indonesia. Hasbi As Shiddieqy pernah berpendapat bahwa seharusnya umat Islam Indonesia perlu memiliki hukum Islam sendiri. Pandangan seperti ini berangkat pada realitas masyarakat muslim Indonesia yang selama ini masih didominasi oleh fiqih madzab Mesir, fiqih madzab Arab, dan fiqih madzab Irak.
Dengan melihat karakterisitik fiqih dari negara-negara tersebut, bagi Hasbi seharusnya Indonesia, dengan kekayaan khazanah intelektualitasnya, mampu memiliki corak hukum Indonesia sendiri. Hal ini bisa dipahami sebab hukum Islam yang ada dalam nash memuat beberapa nilai yang bisa diterapkan secara kontekstual. Artinya, hukum Islam yang ada dalam al-Qur’an bukan dijadikan sebagai rujukan satu kelompok atau untuk waktu tertentu saja, melainkan seluruh umat manusia di seluruh zaman. Itu artinya, Islam sendiri tidak menghendaki stagnasi berpikir. Nilai universalitas Islam perlu diterjemahkan dalam konteks kekinian, sehingga produk hukum yang dihasilkan pun akan menyesuaikan dengan keadaan zaman.
Gus Dur pernah berpendapat bahwa agama menjadi inspirator atau ruh dari hukum negara. Hukum negara harus mencerminkan khazanah kekayaan yang ada dalam agama (Islam), juga harus disesuaikan dengan historisitas masyarakat Indonesia. Gus Dur memahami bahwa apabila hukum Islam diambil makna esotersinya, maka hukum Islam bisa diterapkan sesuai dengan konteks zamannya, meskipun tidak menggunakan bahasa agama.
Dengan demikian, posisi hukum Islam di Indonesia merupakan sebuah hasil dialog antara realitas masyarakat, agama, politik, dan negara. Untuk menghasilkan sebuah hukum islam bercorak Indonesia, unsur-unsur tersebut harus selalu dalam kerangka dialogis. Karena dengan begitu, hukum Islam bisa diterapkan sesuai dengan konteks zamannya dan berlaku untuk umum (fi kulli zaman wa makan). Wallahhua’lam.
M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.