Raden Ngabehi Ronggowarsito (1802-1873), yang dikenal sebagai Pujangga Terakhir di Pulau Jawa, adalah sufi yang mewariskan banyak karya tulis. Gubahan sufistiknya yang paling monumental adalah Serat Wirid Hidayat Jati yang termuat pula di dalamnya Serat Ma’lumat Jati—terkait keberadaan dua buah serat tersebut seakan-akan terpisah, tulisan singkat ini tidak akan membahasnya lebih jauh.
Serat Wirid Hidayat Jati yang di dalamnya termaktub Serat Ma’lumat Jati, adalah karya tulis pujangga Ronggowarsito yang merekam penemuan tertinggi laku sufistiknya. Dalam kedua serat tersebut, Dzat, Shifah dan Af’al Allah, dibabar dengan sedemikian rupa yang kemudian mengerucut pada laku yang disebutnya sebagai salat daim.
Salat daim adalah kontinuitas laku shalat dari saat ke saat yang dijelaskan sebagai, “Salat angiras nyambut gawe, anglakoni panggaweyan kasambi salat, alungguh sarwi lumaku, lumaku karo andheprok, lumayu sajroning mandheg, ambisu karo acarita, lunga karo aturu, aturu karo melek…” (Shalat sembari bekerja, bekerja sambil terus shalat, duduk dengan berjalan, berjalan dalam keadaan duduk, berlari dalam keadaan berhenti, membisu sambil bercerita, bepergian dengan tidur, tidur dalam keadaan terjaga…)
Pencarian yang terekam dalam Serat Jayengbaya
Serat Jayengbaya adalah karya awal Ronggowarsito yang digubahnya saat masih berusia 20-an tahun. Serat Jayengbaya berbentuk tembang sebanyak 250 bait dan hanya dalam satu pupuh Asmaradana. Dalam serat ini, pencarian awal sang pujangga yang akhirnya mengerucut pada laku salat daim di belakang hari itu, terekam dengan sangat baik.
Tembang dibuka dengan bait, “Kidung kadresaning kapti, yayah nglamong tanpa mangsa, hingga silarja jatine, satata samaptaptinya, raket rakiting ruksa, tahan tumaneming siku, karasuk sakeh kasrakat.”
(Inilah tembang yang terlahir dari kesungguhan hati, yang terus menerus mencari tanpa mengenal waktu, hingga menembus hakikat, dimana hati senantiasa waspada, tenang di dalam menggumuli kefanaan, tabah menghadapi pelbagai tantangan, dan siap menerima segala risiko).
Bait kedua, “Kaenakaning ngaurip, ora kaya blantik jaran, bisa tegar esok sore, durung untung wis kapenak, lamun ana bendara, anon jaran kempitanku, wangune rada karenan.” (Kebahagiaan hidup itu, tak sebagaimana yang dirasakan calo kendaraan bekas, bisa tebar pesona siang sore dengan mengendarai mobil mewah berganti-ganti. Meski belum dapat untung, namun sudah memperoleh kesenangan. Apalagi jika ada yang berminat dan sudah cocok dengan barangnya, maka semahal apa pun ditawarkan pasti dibeli.)
Tembang pun terus mengalir mengisahkan pencarian Jayengbaya yang ingin menjadi ini dan itu, setelah memahami yang begini dan begitu. Hingga kesal juga dia, bahkan sampai frustrasi sehingga menjadi anjing dirasanya lebih baik dalam hidup ini, meski kemudian ditata kembali arah pencariannya sebagaimana yang tersurat pada bait ke-246 berikut.
“Kok mung kuwi yen pinethik, tujune durung kalakyan, sidaa getunku akeh, jaba dadi Gusti Allah, duwe batur malekat, mbawahken jagad sawegung, sakarepe tanpa cuwa.” (Masa anjing menjadi pilihan hidup, untunglah belum terjadi, seandainya sampai terjadi tentu penyesalanku berlipat-lipat, kecuali kalau aku bisa menjadi Tuhan, memiliki pembantu para malaikat, menjadi penguasa alam raya, tentu dapat berbuat apa saja dan takkan pernah bersedih).
Lagi-lagi keinginannya yang kebablasan itu pun direnungkannya kembali dengan seksama, maka insyaflah dia. “Korup kareping ngaurip, riptane si Jayengbaya, lantaran mung wuking gawe, dumadi anda andina, trustha traping sambawa, sabda sadu wedalnya dur, cukup telu belah pada.”
(Pada puncak kebingungannya dalam memaknai hidup, maka si Jayengbaya pun memahami hakikat gagasannya, setelah kesemuanya disadari bahwa tidak ada yang nyata, yang ada hanyalah kegelapan semata karena butanya pandangan, bersyukurlah dia atas hidupnya, walaupun saat dikisahkan dalam kata tampak buruk. Maka cukuplah 250 bait saja). Demikian sang Pujangga Penutup Tanah Jawa mengakhiri Serat Jayengbaya.