Pelaksanaan Hari Raya Idul Fitri dilaksanakan secara berulang dalam setiap tahunnya, namun membutuhkan sebuah sistem penanggalan untuk menentukan hari terlaksananya Hari Raya Idul Fitri. Metode yang pertama adalah dengan menggunakan metode hisab dalam menentukan hilal yang sebenarnya dapat dihitung secara akurat dengan perhitungan-perhitungan astronomi.
Sedangkan yang kedua adalah dengan menggunakan menggunakan metode rukyat yang selalu mengacu secara harfiah pada kebiasaan-kebiasaan Nabi dalam menentukan awal Ramadhan dan 1 Syawal.
Secara harfiah hisab diartikan dengan perhitungan, dalam Al-Quran kata hisab banyak digunakan untuk menjelaskan hari perhitungan (Yaumul Hisab), di mana Allah akan menghitungkan dan menimbang semua amal dan dosa manusia dengan adil. Kata hisab dalam Al-Quran sebanyak 37 kali yang semuanya berarti perhitungan dan tidak memiliki ambiguitas arti.
Pengertian kata hisab ini untuk pengertian yang umum yang kemudian kita lanjutkan dengan dasar hukum yang menggunakan kata hisab dalam cara menentukan hilal yang akan digunakan untuk menentukan awal bulan dalam kalender Islam.
Sedangkan pengertian rukyat secara harfiah adalah melihat dan arti yang paling umumnya adalah melihat secara visual (melihat dengan mata kepala).
Para ulama memberikan fatwa bahwa melihat secara visual harus dengan mata kepala telanjang dan tidak diperbolehkan menggunakan alat bantu seperti teropong binekuler dan semacamnya, karena Nabi juga melakukannya dengan mata telanjang.
Pada zaman Rasulullah, cara-cara perhitungan permulaan bulan berdasarkan perhitungan astronomi memang belum berkembang baik, sehingga cara melihat dengan visual adalah sarana dan metode yang paling mungkin dan paling mudah dilakukan sesuai dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan saat itu.
Sehingga sebagaimana telah ditentukan oleh Rasulullah SAW, penentuan Ramadhan dan 1 Syawal adalah dengan menggunakan jalan rukyat (melihat hilal) atau dengan menghitung bilangan bulan Sya’ban yang digenapkan tigapuluh hari, apabila hilal tidak tampak.
Pemerintah Republik Indonesia mempunyai hak dan wewenang untuk menetapkannya, khususnya masalah yang menyangkut dengan pelaksanaan syariat Islam. Khusus untuk penetapan waktu pelaksanaan syariat Islam, pemerintah harus membentuk badan hisab-rukyat yang beranggotakan para ulama dari Majelis Ulama Indonesia, Ormas-Ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis, para pakar dari IAIN, praktisi atau tenaga ahli dalam hisab-rukyat, staf Planetarium dan Observatorium Jakarta, staf Badan Meteorologi dan Geofisika, serta para pejabat Departemen Agama RI.
Keputusan akan diambil dalam suatu Sidang Itsbat, sedangkan Departemen Agama berfungsi sebagai fasilitator. Dalam merumuskan keputusannya, Sidang Itsbat mengevaluasi semua data, baik data hisab maupun kesaksian rukyat. Kesaksian rukyat yang datang dari seluruh penjuru Indonesia disahkan oleh Hakim Agama dari Pengadilan Agama sebelum disampaikan ke Jakarta pada Sidang Itsbat.
Tidak sedikit pihak yang langsung menyerahkan laporan hasil rukyat mereka kepada cabang-cabang Ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Biasanya, laporan ini dijadikan bahan pertimbangan oleh perwakilan Ormas Islam bersangkutan di dalam Sidang Itsbat.
Setelah Sidang Itsbat mencapai keputusan, maka Pemerintah dan Departemen Agama mengukuhkan lewat surat keputusan Menteri Agama melalui Televisi. Memang tidak semua keputusan disepakati secara bulat, namun dengan asas musyawarah dan mufakat, hasil keputusan Sidang Itsbat selalu berhasil dirumuskan demi kemaslahatan umat Islam Indonesia dan kecepatan waktu pelaksanaan syariat Islam.
Wallahu A’lam