Politik bernafaskan kebencian tampak kian nyata di depan kita, terbukti seorang Ibu dan anaknya dirundung dan dipersekusi hanya karena beda pilihan politik. Padahal, dalam Islam, semua orang mengerti bahwa posisi ibu memiliki derajat yang tinggi. Hal ini tercermin dari pertanyaan seorang sahabat kepada Rasulullah terkait dengan orang yang paling berhak diperlakukan dengan baik. Rasulullah menjawab pertanyaan ini hingga tiga kali dan tetap mengucapkan kata ibu sebagai orang paling berhak untuk diperlakukan dengan baik. Setelah itu baru kemudian ayah dan orang terdekat seterusnya.
Begitu mulainya sosok ibu, setiap orang pasti memiliki rasa sentimentil tersendiri saat nama ibunya disebutkan. Karena itu, narasi-narasi yang paling mengunggah dan membuat orang menangis dalam pelatihan-pelatihan motivasi itu bukan mengenai keberhasilan, kegagalan, ataupun kutipan ayat surat dalam Al-Quran mengenai surga dan neraka dalam Islam, melainkan cerita mengenai ibu. Namun, atas nama pilihan politik dan akumulasi kebencian kepada rejim pemerintahan saat ini, sosok ibu dianggap sebagai musuh politik yang perlu disikapi.
Hal ini tercermin dengan adanya Car Free Day (CFD) di Jakarta. Dengan menggusung tagar ganti presiden yang juga dikenakan di kaos sebagai penanda identitas dan kebanggaan, gerombolan massa mengintimidasi dan melecehkan orang-orang yang menggunakan identitas kaos yang berbeda, yaitu #iasibukbekerja dengan bergambar seseorang lelaki sedang menggulung kemeja lengan tangan kanannya. Intimidasi dengan teriakan kata-kata cebong, dibayar, nasibungkus, ini tidak memilih siapa individu yang harus mereka teror.
Akibatnya, saat ada seorang ibu dan anak berjalan mengenakan kaos dengan bergambar Jokowi tersebut, mereka juga tidak segan mengintimidasi dan melecehkan dengan mengipasinya dengan uang lima ribuan. Tindakan yang nyaris berujung persekusi ini tidak berpikir lebih jauh.
Akibatnya, anak yang dibawah oleh ibu itu menangis. Tangisan ini yang membuat ibu itu marah sambil berteriak, “Kita enggak takut ya Pi. Kita benar” sambil menatap wajah anaknya mengusapkan matanya yang basah karena menangis. “Masyaallah…masyallah ada ibu-ibu kalian perlakukan seperti ini. Muslim apa kalian?”.
Memang, dalam video yang beredar di media sosial tersebut, ada dua orang berkaos #gantipresiden2019 yang mencoba melerai dan kemudian menyelamatkannya dari amukan gerombolan tersebut. Namun, amarah gerombolan tersebut masih terlihat. Bahkan, ada seorang temannya yang mencoba untuk menahan dirinya. Pertanyaannya, apa sebenarnya yang ada di kepala gerombolan tersebut? Mengapa mereka begitu tega melakukan kekerasan verbal kepada ibu dan anak tersebut?
Jika benar mereka seorang Muslim, bagaimana sebenarnya mereka menempatkan sejumlah hadis-hadis Rasulullah yang sangat memuliakan perempuan, terutama ibu.
Setidaknya ada tiga jawaban yang bisa dikemukakan. Pertama, kemarahan. Alih-alih gerakan yang bermula dari tagar di media sosial tersebut merupakan gerakan simpatik, gerakan tersebut sebenarnya lebih menjurus kepada tindakan intimidatif. Intimidasi yang tentu saja diiringi dengan kemarahan. Hal ini tercermin dari video yang beredar di media sosial betapa mereka berusaha untuk mempersekusi orang-orang yang menggunakan kaos dengan identitas politik yang berbeda dengan mereka. Kedua, bergerombol. Satu sisi, tindakan bergerombol dalam melakukan aksi menguatkan daya solidaritas di antara mereka. Di sisi lain, saat mereka menjadi bentuk massa, mereka nirlogika, kehilangan logika.
Di titik ini, siapapun yang bukan bagian dari mereka ditandai dengan kaos identitas yang berbeda adalah musuhnya. Persoalan apakah itu perempuan yang membawa anak hingga kemudian menangis bukanlah urusan mereka. Meskipun, ada satu orang yang masih menggunakan logika, berusaha menyelamatkan ibu dan anak tersebut.
Tiga, kuatnya budaya patriarki. Meskipun, ibu sebagai sosok yang begitu dihormati, dalam kenyataannya justru kaum ibu ini yang seringkali menjadi korban tindakan kekerasan. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat, sepanjang tahun 2016, terdapat 259.150 jumlah kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 245.548 kasus diperoleh dari 358 Pengadilan Agama dan 13.602 kasus yang ditangani oleh 233 lembaga mitra pengadaan layanan yang tersebar di 34 Provinsi (www.kompas.com, 7 Maret 2016). Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh gerombolan ini merupakan cermin dari gunung es atas kekerasan terhadap perempuan. Karena itu, tindakan kekerasan verbal yang dilakukan oleh gerombolan ini bukan hanya bagian dari hal yang normal, tapi tampak seperti tindakan yang biasa.
Jika begini, bagaimana mereka mau mengganti Presiden 2019 dengan melakukan tindakan kontra-produktif semacam ini? Tindakan pengecut semacam ini justru makin menaikan popularitas Jokowi dan pemilih suara Prabowo pada tahun 2014 akan berpindah di tengah pembangunan infrastruktur yang begitu massif. Karena itu, alih-alih sekedar membuat gerakan tagar #gantipresiden2019 karena memang pada tahun itu pemerintahan Jokowi sudah selesai dan harus ikut Pilpres kembali jika ingin tetap berkuasa.
Sementara itu, Prabowo sendiri elektabilitasnya justru terlihat menurun seiring dengan ucapannya yang kontroversial dan membangun pesimisme terhadap bangsa Indonesia. Yang perlu mereka lakukan sebenarnya sederhana, terus mengkritik Jokowi dengan sejumlah data dan informasi atas sejumlah capaian yang telah dilakukan oleh pemerintahannya selama 5 tahun. Ini karena, ada banyak celah sebenarnya yang bisa dijadikan amunisi untuk menjatuhkan kinerja Jokowi.
Kritik keras Jokowi dengan cara seperti ini tidak hanya menaikkan posisi mereka untuk segera mengganti Jokowi, melainkan juga memungkinkan untuk memberikan masyarakat pilihan dan pertimbangan menjawab kritik mereka melalui calon-calon yang diusung sebagai penantang Jokowi. Ini karena, gerakan asal bukan Jokowi saja dengan mengganti presiden tidak cukup. Apalagi itu dilakukan melalui tindakan aksi brutal yang justru menciderai jiwa keislaman mereka yang selama ini mengusung spirit Islam dalam pelbagai hal. Hal inilah yang memberikan angin segar Jokowi untuk mendapatkan dukungan yang lebih di tengah serangan kritik, fitnah, dan agitasi politik yang pengecut semacam ini. Bagi masyarakat yang selama ini netral, justru menganggap Jokowi adalah orang yang penyabar dan tidak pemarah.
Saran saya, untuk memulai gerakan simpatik tersebut, mereka sebenarnya bisa memulainya dengan mengganti tagar terlebih dahulu, yaitu #ganticalonpresiden2019. Ini karena calon yang selama ini diusung justru pangkal persoalan mengapa mereka tidak bisa simpatik dalam berkampanye.