Sepanjang sejarah, agama telah menghadapi berbagai tantangan dari ‘lawan-lawannya’ yang berusaha menghancurkannya. Usaha itu nampaknya sia-sia, karena agama tetap eksis hingga saat ini. Namun, di masa mendatang, apakah agama akan mengalami nasib serupa? Apakah agama masih memiliki fungsi yang berguna bagi masyarakat di masa depan?
Jawaban dari pertanyaan tersebut diuraikan dengan apik oleh Guru Besar Filsafat pada Universitas Pelita Harapan (UPH), Prof. Dr. Fransisco Budi Hardiman dalam Muktamar Pemikiran NU ke-2 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Sabtu (2/12) kemarin.
Menurut Mas Franki, sapaan akrabnya, fungsi pertama dari agama di masa depan nanti adalah sebagai jangkar metafisis bagi manusia.
“Agama tetap memberikan jangkar metafisis dalam arti penghayatan tentang yang transendental, kenyataan-kenyataan yang melampaui dunia ini, itu masih ada dalam agama,” bebernya.
Fungsi kedua dari agama di masa depan adalah menjaga agar kehidupan tidak kehilangan maknanya sebagai akibat dari saintifikasi dan digitalisasi yang masif.
“(Agama) merawat kehidupan ketika saintifikasi dan digitalisasi menanduskan makna. Dalam arti memberi makna, agama masih berperan kuat,” ungkapnya.
Terkait dengan agama sebagai pemberi makna kehidupan, Hardiman sebelumnya telah menyinggung bahwa agama-agama tradisional bukan lagi menjadi satu-satunya aktor pemakna, melainkan hanya menjadi salah satu di antara aktor pemakna yang lainnya.
Berikutnya, menjaga misteri di tengah upaya pengilmiahan segala sesuatu menjadi fungsi ketiga dari agama di masa depan. Karena memang masih banyak pengetahuan yang bersumber dari teks-teks keagamaan yang belum mampu dipecahkan jawabannya melalui metode ilmiah. Sehingga, masih menjadi misteri. Dan yang terakhir adalah menjadi horizon atau cakrawala solidaritas bagi berbagai komunitas.
Lebih lanjut, penulis buku Filsafat untuk Para Profesional ini meyakini bahwa di masa depan, horizon agama akan tetap ada, meski ada kemungkinan akan mengalami transformasi.
“Ini keyakinan saya, di masa depan, horizon agama entah bagaimana bentuknya akan tetap ada. barangkali ada transformasi dari agama tradisional, tapi tetap sesuatu yang kita sebut sebagai religiusitas,” terangnya.
Sebagai informasi, Prof. Dr. Fransisco Budi Hardiman didapuk menjadi narasumber pada Sesi Panel Muktamar Pemikiran NU. Ia didampingi oleh dua narasumber lain, yakni Profesor Riset dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Ahmad Najib Burhani, dan Profesor pada New York University, Prof. Ismail Fajrie Alatas.