Kita memasuki era disrupsi agama. Sugi Nur salah satu contoh dari dai-dai baru yang tidak memiliki latar belakang pendidikan Islam memadai tapi mampu tampil merebut hati. Para pemimpin agama terutama dari organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah pun dibuat gerah olehnya. Otoritas untuk menyampaikan pesan-pesan Islam dalam konteks keindonesiaan yang harusnya menjadi kewenangan utama dua organisasi ini kini dirongrong, digerogoti, dan secara perlahan diambil alih oleh para dai baru yang seringkali tidak memiliki kualifikasi standar pendidikan keulamaan seperti yang diajarkan di pesantren-pesantren atau lembaga pendidikan Islam lainnya.
Inilah disrupsi. Sebagaimana perusahaan-perusahaan besar berguguran digeser oleh kehadiran start-up. Seperti jaringan perusahaan Matahari, Hero, dan Gardena yang digeser oleh Lazada, Buka Lapak, dan Tokopedia.
Lantas, apakah kita akan terus melarang atau mempolisikan para dai sebagaimana tukang ojek pangkalan melaporkan perusahaan ojek online? Atau terus menerus menganjurkan jamaah dai-dai baru ini untuk memilih dai sebagaimana direkomendasikan para pemimpin teras organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah?
Hijrah, Islam Nusantara, dan Islam Berkemajuan
Istilah hijrah, nampaknya, kini berada di urutan teratas dalam trending wacana keagamaan di Indonesia belakangan ini dibandingkan dengan Islam Nusantara atau Islam berkemajuan. Artinya apa? Jika hal ini benar setidaknya populernya istilah hijrah menunjukkan betapa besarnya pengaruh dai-dai baru dalam wacana Islam di tengah kehidupan kita. Sebagaimana start-up, para dai ini, dengan manajemen yang bagus, menguasai perkembangan mutakhir teknologi informasi, mampu tampil di tengah publik merebut wacana keagamaan.
Hijrah yang diartikan sebagai titik balik yang penting dalam kehidupan untuk lebih islami berkembang pesat salah satunya disebabkan oleh pengalaman pribadi sebagian para dai baru ini. Mulai dari yang berlatarbelakang preman, non-Muslim, pengusaha yang sebelumnya bermain riba, dan lainnya. Inspirasi hijrah datang dari mereka, pengalaman pribadi mereka, yang kemudian disampaikan baik dalam kajian maupun saluran lain seperti Youtube dan mempengaruhi psikologi jamaah untuk mengikuti jejaknya.
Tentang hijrah dari riba, misalnya. Narasi ini seringkali datang di laman media sosial khususnya Facebook: orang-orang yang resign dari pekerjaannya di bank karena perbankan kita diyakini sebagai tempat transaksi ribawi; sekumpulan orang dalam seminar yang menggunting kartu kredit mereka karena dianggap sebagai sumber riba.
Apakah narasi semacam ini pernah mampir di dinding media sosial Anda? Dan tentu saja, narasi seperti itu, yang berdasarkan kisah nyata, mampu mempegaruhi psikologi pembacanya secara mendalam, apalagi yang awam terhadap fiqih muamalat. Meskipun ulama berbeda pendapat terkait hukum bunga bank, narasi tunggal tentang hukum bunga bank sebagai riba kini nampak mendominasi kehidupan publik kita, terutama di perkotaan. Sekali lagi, ini menunjukkan bagaimana dampak sosial dari kehadiran para dai baru ini.
Pun dengan khilafah Islam. Meski HTI sudah dibubarkan, wacana khilafah nampaknya akan tetap berkembang. Seperti kehadiran Felix Siauw di Yogyakarta pada minggu ketiga Februari ini. Lebih dari seribu orang datang mengikuti kajiannya yang diselenggarakan di Masjid Suciati Saliman di sleman bagian utara. Sekali lagi, ini bisa menjadi petunjuk batapa kuatnya daya gravitasi pada dai baru di tengah kehidupan keagamaan kita.
Lalu Bagaimana?
Saya kira fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Di negara dengan mayoritas penduduk Muslim seperti Mesir juga mengalami hal serupa. Tahun 1999, saat menulis esay bertajuk Muslim tanpa Masjid Kuntowijoyo sudah memberikan prediksi lahirnya kelompok Islam baru seperti yang kita diskusikan dalam tulisan ini.
Baca juga: Gaya Beragama Milenial, Virtual Reality dan Games
Salah satu sarannya yaitu agar di perguruan tinggi diajarkan Islam dengan penjabaran melalui ilmu sosial-budaya sehingga Islam lebih terasa kontekstual, bukannya dogmatis-ideologis. Namun, untuk melahirkan pengajar agama dengan kualifikasi seperti ini tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kita harus berani mereformasi sistem produksi guru agama Islam terlebih dahulu baik dari segi kurikulum maupun pedagoginya. Dan ini adalah proyek jangka panjang.
Dalam situasi seperti sekarang ini, kemunculan dai baru seperti Gus Nur yang hadirnya bak start-up yang menjamur di berbagai tempat, harus diimbangi dengan membangun start-up tandingan. Sebagaimana perusahaan-perusahaan besar yang kini hadir di dunia online dengan beragam tampilan dan diskon. Sudah saatnya paraulama turun gunung, hadir menyapa umat di media online sebagaimana dilakukan Gus Ulil dan iniatif jamaah Gus Baha’ belakangan ini.
Sebagai penutup, saya tetap optimis bahwa kehidupan keberagamaan di negara ini akan baik-baik saja. Meningkatnya generasi muda dari kelompok Islam mainstream seperti NU yang berhijrah ke kota untuk belajar sebagai alasannya. Generasi inilah yang akan bertarung dalam mempromosikan Islam moderat di Indonesia.