Selama ini kita selalu dijejali informasi negatif tentang pemahaman keliru segelintir orang yang memandang bahwa relasi muslim dengan non-muslim harus selalu dalam bingkai permusuhan dan peperangan yang tiada henti. Setiap muslim bagi yang menganut pandangan ini diwajibkan oleh al-Quran untuk selalu bersikap keras dan kasar kepada non-muslim.
Hal demikian dilakukan karena mereka tidak percaya terhadap ajaran yang disampaikan Nabi SAW dan karenanya harus diperangi sampai mereka benar-benar beriman. Kenyataan demikian makin diperparah dengan adanya pandangan sebagian mufassir yang justru melegitimasi sikap kasar dan keras mereka terhadap orang-orang non muslim. Terlepas dari itu, paling tidak, ada dua arus utama pandangan ulama dalam kaitannya dengan sikap yang harus diambil dalam menghadapi orang-orang non-muslim:
Pertama, pandangan yang mengatakan bahwa non-muslim harus dibunuh dan diperangi karena kekafiran dan kemusrikannya. Pandangan ini dipegang oleh sebagian mufassir. Bagi mereka, ayat mengenai ‘tidak ada paksaan dalam menganut agama’ telah dinasakh oleh ayat-ayat perang dan karenanya yang berlaku adalah memerangi kaum kafir yang merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim sampai mereka masuk Islam.
Kedua, pandangan yang mengatakan bahwa Islam adalah agama dakwah dan karenanya tidak ada paksaan dalam menganut agama. Pandangan yang kedua ini sayangnya memakai argumen ruang dan waktu (zamaniyat nusus) dalam memahami ayat-ayat perang. Implikasi dari pandangan ini ialah bahwa ayat-ayat pedang hanya berlaku pada masa turunnya saja dan tidak berlaku secara umum. Pandangan ini bahayanya ialah “menganggurkan” ayat-ayat al-Quran karena mengembalikannya ke masa silam sehingga tidak kontekstual lagi diterapkan saat ini.
Perang dan Damai dalam al-Quran?
Karena itu, bagaimana sebenarnya sikap al-Quran kepada kaum non-muslim? Apakah sikap al-Quran bernilai positif atau negatif? Untuk menjawab ini, kita seharusnya membaca al-Quran secara intertekstual untuk melihat sejauh mana sikapnya terhadap kelompok non-muslim dan bagaimana al-Quran membangun relasi dengan mereka. Dalam al-Quran paling tidak ada dua tipe ayat dalam kaitannya dengan sikap memerangi orang-orang non-muslim;
Pertama, ayat yang menjelaskan basis legitimatif yang membolehkan kaum beriman memerangi orang-orang non-muslim, basis yang mengandaikan bahwa memerangi mereka bukan karena kekafiran mereka sendiri melainkan karena sebab yang lain. Hal demikian seperti yang dapat dipahami dalam ayat berikut:
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
“Telah diizinkan bagi orang-orang yang beriman untuk berperang (melawan kaum kafir) karena mereka telah ditindas.” (QS. al-Hajj: 39)
Ayat ini menegaskan bahwa karena tertindas dan terus menerus dizalimi selama tiga belas tahun di Mekkah dan diperangi di Madinah, orang-orang beriman dizinkan untuk mempertahankan diri dengan berperang. Ayat-ayat lainnya yang senada dengan semangat ayat ini banyak sekali disebut dalam al-Quran seperti pada (QS. al-Baqoroh: 193) yang berbicara bahwa tujuan perang, agar kebebasan berkeyakinan dijamin, (QS. al-Baqoroh: 217) yang berbicara bahwa tujuan perang karena teraniaya dan ditindas dalam soal keyakinan dan karena terusir dari kampung halaman, (QS. An-Nisa: 75) yang berbicara bahwa tujuan perang ialah agar dapat melindungi orang-orang lemah dan (QS. At-Taubah: 36) yang memerintahkan berperang karena terlebih dahulu diperangi.
Dengan melihat ayat-ayat yang memerintahkan bersikap kasar dan keras terhadap kaum musyrik yang puncaknya ialah perintah untuk memerangi mereka seperti disebut di atas, dapat disimpulkan bahwa bersikap kasar atau keras hanya legitimatif dilakukan jika kaum kafir musyrik terus menerus memerangi, menzalimi, menindas dan mengusir orang-orang mukmin terutama orang orang-orang lemah di kalangan mereka. Perang juga dilakukan jika kebebasan beragama dan dakwah dihalang-halangi. Artinya perang atau bersikap kasar dilakukan hanya jika kondisi dan prasyarat menuntut dan mendesak untuk melakukan itu.
Kedua, ayat yang menjelaskan tentang sengitnya peperangan yang sedang terjadi. Hal demikian seperti dapat kita perhatikan pada beberapa ayat seperti (QS. Ali Imran: 111), (QS. AtTaubah: 29), (QS. At-Taubah: 123) dan (QS. al-Fath: 16). Semua ayat ini berbicara mengenai kondisi perang yang menuntut untuk tidak lemah dan lembek tapi harus kuat dan keras. Terutama surat at-taubah ayat 123 yang memerintahkan orang-orang beriman harus keras agar ditakuti oleh musuh. Ayat-ayat ini wajar bersikap keras karena kondisi perang memang mengharuskan seperti itu.
Tipe ayat yang kedua maknanya dapat juga dikaitkan dengan tipe ayat pertama sehingga ayat-ayat yang menjelaskan perang secara umum sebenarnya mengandung arti perang yang sedang terjadi. Dengan demikian, perang tersebut hanya bisa dilakukan jika ada basis legitimatifnya seperti yang dijelaskan pada tipe ayat pertama, yakni perang hanya bisa dilakukan dengan tujuan untuk melawan permusuhan, menolong orang-orang lemah dan tertindas serta melawan segala bentuk ancaman luar yang mengancam eksistensi kaum beriman. Jadi dua tipe ayat perang ini mengandung arti keharusan untuk bersikap keras kepada kaum kafir musyrik dalam peperangan dengan alasan-alasan yang telah al-Quran sebutkan.
Al-Quran dan Klasifikasi Non-Muslim
Sikap demikian kemudian dipertegas lagi dengan beberapa ayat al-Quran yang mengklasifikasikan non-muslim kepada dua tipologi; pertama, kelompok yang tidak memerangi kaum beriman sehingga bisa berdamai dan hidup berdampingan dengan mereka seperti perintah yang disebut dalam (QS. al-Mumtahanah: 8); dan kedua, kelompok yang memerangi kaum beriman sehingga mereka harus mempertahankan diri (QS. al-Mumtahanah: 9)
Berdasarkan keterangan dari dua ayat ini, jelaslah bahwa al-Quran memerangi kaum kafir-musyrik bukan karena kekufuran mereka an sich melainkan lebih karena persoalan penindasan, pengusiran, gangguan terhadap keamanan, ketentraman dan kebebasan beragama bagi kaum beriman. Penderitaan yang dialami kaum beriman selama lebih dari tiga belas tahun di Mekkah dan ancaman atas keamanan mereka di Madinah telah menjadikan perang sebagai solusi yang tidak bisa ditawar lagi saat itu.
Namun demikian bagi non-muslim yang tidak memerangi kaum beriman, al-Quran dengan tegas menyuruh kaum beriman untuk tetap toleran dan tidak berlaku kasar. Hal demikian seperti tercermin dalam perintah untuk melakukan al-qisth ‘keadilan’ dan al-birr ‘kebaikan’ kepada mereka.
Pandangan yang quranik ini jelas sangat membebaskan dan liberatif jika dipahami dengan betul. Sayangnya, ayat-ayat yang telah disebut di atas terkoyak oleh pandangan dan kepentingan sempit kelompok ekstrim yang memelintir makna ayat sekedar untuk menyebarkan kengerian dan ketakutan bagi masyarakat di luar kelompok mereka. Nalar kekerasan ini jelas harus dibabat habis sebelum kemudian akan mendatangkan marabahaya sendiri bagi Islam dan umatnya.
Memahami al-Quran, tanpa harus berfikir mendalam seperti dengan merujuk kepada literatur tafsir klasik dan modern yang tebal-tebal pun, bisa sampai kepada kesimpulan bahwa watak Islam yang sebenarnya itu bukan yang serba keras. Jelas sekali kekerasan yang dilakukan jaringan teroris saat ini benar-benar merupakan apa yang disebut al-Quran sebagai tindak al-i’tida ‘melampaui batas’ atau ‘keterlaluan’. Allahu a’lam.
Artikel ini ditulis oleh Abdul Aziz, Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Universitas Gadjah Mada