Di tengah ontran-ontran pandemi Corona (Covid-19), muncul respon seperti ini: “Hidup dan mati sudah diatur oleh Allah. Kalau sudah waktunya mati, ya mati. Kalau belum, ya tidak akan mungkin mati.” Atau, “Saya tidak takut Corona, hanya takut kepada Allah.”
Ada juga yang mengatakan, “pandemi corona telah merusak tatanan agama. Sholat di masjid tak boleh lama-lama. Iktikaf di masjid tak dianjurkan. Bersilaturrahim harus dihindari. Bersalaman pun harus dijauhi.”
Plus, ada pula yang bercetus, “Jangan tinggalkan masjid karena takut Corona.”
Persoalannya, orang-orang yang memegangi prinsip demikian tetap menjalankan kehidupan sehari-hari, tanpa mengindahkan anjuran otoritas setempat terkait penanganan pandemi Corona.
Merespon itu, banyak yang gelisah dan mempertanyakan, “apakah jangan-jangan pemikiran kegamaan kita ini memang kontraproduktif dengan upaya para ilmuwan untuk menangani pandemi Covid-19?”. Lebih jauh lagi, “bagaimana jika sikap keagamaan kita bertentangan dengan ilmu pengetahuan?”
Secara teori, mayoritas umat Islam Indonesia menganut mazhab teologi Asy‘ariyah, dinisbatkan kepada nama seorang ulama besar, Abū al-Ḥasan al-Asyʿarī (w. 936 M). Mazhab Asy’ariyah meletakkan kemahakuasaan Allah (qudratullah) di atas segala-galanya. Ini berbeda, umpamanya, dengan mazhab Mu‘tazilah yang meletakkan keadilan Tuhan sebagai jangkar pemikiran teologi mereka.
Akibat menekankan kekuasaan Allah, penganut mazhab Asy‘ariyyah sering dituduh fatalis, atau bersikap pasif, alias manut kepada keadaan, toh semua sudah diatur Gusti Allah. Dan, karena alasan yang sama, penganutnya sendiri pun juga sering jatuh ke lubang fatalisme itu sendiri.
Tapi benarkah mazhab Asy’ariyyah mengajarkan sikap ini?
Menurut saya tidak. Jawaban gamblangnya sebenarnya ada di salah satu karakter manhaj (paradigm) Aswaja yang selama ini menjadi pegangan NU, yakni tawasuth (moderat, tengah-tengah, seimbang).
Tawassuth menjadi salah satu karakter manhaj Aswaja bukan tanpa latar belakang. Tawasuth, salah satunya, menggambarkan negosiatif yang diambil oleh Imam al-Asyʿarī dalam merespon dua pemikiran keagamaan yang populer pada zamannya. Di satu sisi, ada Qadariyyah yang mengatakan bahwa manusia adalah pemilik perbuatannya. Di sisi lain, ada Jabariyyah yang menyatakan bahwa segalanya telah ditentukan Allah, alias manusia hanyalah wayangnya Allah.
Baca juga: Mengenal Aliran Jabariyah
Melihat adanya kelemahan pada kedua posisi tersebut, Imam al-Asyʿarī akhirnya melakukan sintesa kreatif dengan menggabungkan aspek positif dari kedua posisi itu. Hasilnya?
Lewat teori kasb (usaha), Imam al-Asyʿarī mengatakan bahwa segalanya di dunia ini terjadi atas izin Allah, tetapi manusia tetap punya potensi dan tanggung jawab untuk berusaha. Teori ini memang rumit, tapi dalam bahasa sederhana, saya bisa merangkumnya dengan ungkapan berikut:
“Optimalkan ikhtiar lalu bertawakkal.”
Artinya, ada sinergi yang seimbang antara ikhtiar, doa, dan tawakkal. Pokoknya, harus ada keseimbangan antara ikhtiar lahir dan batin. Berikutnya, lewat teori ini, mazhab Asy’ariyyah ini juga tidak membabat habis hukum alam sebagai sunnatullah.
Berdoa dan bertawakkal adalah kemestian yang akan menentramkan batin kita dan menghindarkan kita dari ketakutan yang berlebihan. Dua paket ini tidak dapat dibantah. Hanya saja, yang perlu diingat sembari berdoa dan sebelum bertawakkal (mewakilkan urusan yang berada di luar kemampuan kita kepada Allah) ada hal yang perlu dilakukan, yakni ikhtiar.
Nah, ikhtiar optimal kita dalam menghadapi Covid-19, misalnya, bisa dilakukan dengan mengikuti himbauan hasil “ijtihad” para ilmuwan, yang informasinya sudah tersebar di mana-mana, seperti: jaga jarak, hindari kerumuman, #dirumahaja. Atau, kalau memang mendesak betul harus keluar rumah, ya silakan ikuti prosedur yang disarankan. Mengapa?
Sederhana saja, bahwa metode tersebut sudah terbukti efektif di negara-negara yang berhasil menekan penyebaran virus Covid-19. Kalau sudah ada buktinya, apakah kita masih mau menentang hukum alam? Yang bener aja.
Lantas, ada juga yang berujar: “Kita Punya Allah, dan Allah pasti akan menolong kita.” Tetapi, siapa kita sehingga berani “memasti-mastikan” sesuatu kepada Allah?
Memang, keimanan itu penting sekali, tetapi jangan sampai keimanan kita menjatuhkan kepada kecerobohan, kerusakan, dan kezaliman yang lahir dari ketidakmautahuan, untuk tidak mengatakan kebodohan, dan sikap takabbur. Keimanan mustinya melahirkan sikap rendah-hati dan semangat untuk mencari dan menyebarkan informasi yang tepat. Dalam kondisi seperti saat ini, setiap pernyataan yang lahir dari pemimpin umat dipertaruhkan; apakah ia melahirkan kemanfaatan atau kemadaratan yang luas.
Benar, Nabi memang menganjurkan kita untuk sholat di masjid, silaturahmi, dan bersalaman. Tetapi perlu diingat juga bahwa Nabi, dalam salah satu hadis, juga menganjurkan untuk menjauhkan diri dari orang yang berpenyakit kusta karena tergolong penyakit menular.
Ada hadis lain: “Jika kalian mendengar ada wabah tha’un dalam satu tempat, maka janganlah kalian masuk ke dalamnya. Dan jika kalian ada di dalamnya maka janganlah kalian keluar darinya” (Muttafaq ‘Alaih).
Nabi, dengan demikian, menganjurkan umatnya untuk bersikap logis, mengikuti hukum alam, dalam mengambil langkah. Nabi tidak mengajarkan untuk menantang keadaan tanpa perhitungan yang matang dengan dalil, “Allah pasti akan menolong kita.” Nabi tidaklah sombong.
Para sahabat juga menggunakan pertimbangan logis ilmiah dalam mengambil keputusan. Ali Imran, dosen Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga, dalam sebuah artikelnya menceritakan sikap para sahabat dalam menyikapi wabah yang menjangkiti Damaskus. Ia menganjurkan untuk mengikuti ijtihad ‘Umar bin Khattab dan ‘Amr bin ‘Ash yang memilih langkah logis untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa.
Setelah mendengar kabar wabah, ‘Umar bin Khattab memilih tidak melanjutkan perjalanan, padahal sudah separuh jalan. Sementara itu, sahabat lain, ‘Amr bin ‘Ash membuat kebijakan dengan mengisolasi warga yang sakit ke bukit-bukit. Jangan salah, kebijakan mereka ditentang oleh para sabahat lain juga.
Tetapi, bukankah al-Qur’an mengatakan, “Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al Maidah: 32).
Di titik kesadaran ini, bisa dimengerti bahwa mazhab Asy’ariyyah sebetulnya tidaklah mengajarkan kepasrahan buta. Mazhab ini menganjurkan sikap tawasuth (moderat) yang meletakkan ikhtiar (upaya), doa, dan tawakkal dalam kerangka yang seimbang. Selain itu, ada pertimbangan hukum alam sebagai sunnatullah yang seyogianya perlu diikuti dalam melakukan sebuah ikhtiar.
Akhirnya, ketika cara beragama bisa dipahami sedemikian seimbang, bukankah seharusnya ketika menghadapi pandemi Corona umat Muslim bisa bersikap elegan? Alih-alih gegabah, atau malah pasif total.
Wallahu a’lam…