Rasulullah SAW telah menjanjikan pahala bagi orang yang giat membaca Al-Quran. Sebagaimana definisi Al-Quran, yaitu al-mutaabbad li tilawatih. (bernilai ibadah bagi orang yang membacanya)
Namun, terkait cara membacanya, beberapa orang memiliki perbedaan selera. Ada yang suka membaca dengan lirih ada juga yang membacanya dengan kencang.
Ada beberapa alasan yang mungkin terjadi, orang yang membaca lirih merasa suaranya kurang bagus, sehingga ia malu menunjukkan suaranya. Atau bisa juga ia membaca lirih karena khawatir mengganggu orang lain.
Sedangkan bagi orang yang mengeraskan bacaanya, mungkin, mereka berfikir jika mengencangkan baca Al-Quran akan mendukung syiar Islam, atau bisa jadi karena suaranya cukup bagus, sehingga ia merasa nyaman membaca Al-Quran dengan keras.
Lalu, mana yang lebih baik, bacaan keras atau lirih?
Menurut Imam an-Nawawi, baik bacaan keras atau lirih, masing-masing memiliki dasar dan keutamaan yang bisa dipertanggungjawabkan. Hanya saja, menurut Imam an-Nawawi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni, menurutnya, membaca Al-Quran dengan lirih lebih baik daripada membaca Al-Quran dengan keras, karena hal itu jauh dan terbebas dari sikap riya’.
والجمع بينهما أن الإسرار أبعد من الرياء ، فهو أفضل في حق من يخاف ذلك ،
Artinya, “(Imam an-Nawawi menyebutkan) untuk mengompromikan antara dasar keutamaan membaca Al-Quran dengan keras dan dasar membaca dengan lirih, maka sesungguhnya membaca Al-Quran dengan lirih, lebih jauh dari riya’. Juga lebih utama bagi orang yang takut melakukan riya’ (jika membacanya dengan keras).” (Muhyiddin an-Nawawi, al-Adzkar an-Nawawi, (Beirut: Dar Kutub, 2004), j. 1, h. 166.)
Namun, menurut Imam an-Nawawi, bagi orang yang tidak khawatir bahwa dirinya akan melakukan perbuatan riya’, maka membaca dengan keras lebih utama, asalkan tidak mengganggu orang yang sedang tidur atau orang yang sedang istirahat.
فإن لم يخف الرياء ، فالجهر أفضل ، بشرط أن لا يؤذي غيره من مصل ، أو نائم أو غيرهما.
Artinya, “jika tidak takut terjadi riya’, maka membaca Al-Quran dengan suara keras lebih utama, dengan syarat tidak mengganggu orang lain, baik itu orang yang shalat, orang yang sedang tidur atau yang lain.” (Muhyiddin an-Nawawi, al-Adzkar an-Nawawi, (Beirut: Dar Kutub, 2004), j. 1, h. 166.)
Oleh karena itu, jika membaca Al-Quran dengan keras hanya membuat kita merasa diri kita paling baik di antara yang lain, atau suara kita bagus agar orang lain memuji kita dan lain sebagainya, maka lebih baik membaca dengan lirih.
Namun, jika hati kita tidak memiliki keinginan demikian, maka lebih baik dibaca dengan keras, karena menurut Imam an-Nawawi, membaca Al-Quran dengan keras dapat menggugah semangat orang lain agar melakukan hal serupa, yakni membaca Al-Quran, juga dapat meresap di hati orang yang membacanya, daripada dibaca dengan lirih. Juga yang paling penting, dapat memberi semangat orang lain yang sedang tidur atau malas-malasan.
Tidur dalam hal ini berbeda dengan tidur yang dimaksud dalam larangan di atas. Tidur dalam hal ini adalah tidur yang tidak pada tempatnya, misalnya tidur pada waktu-waktu produktif. Justru dianjurkan untuk dibaca dengan keras agar dapat membangunkan orang yang tidur pada waktu kerja sehingga bisa kerja dan menggunakan waktunya dengan hal yang bermanfaat.
Hal ini berbeda dengan orang yang tidur pada waktunya, atau tidur karena kecapean bekerja. Dalam kondisi ini, kita dilarang membaca AL-Quran dengan keras sehingga dapat mengganggu waktu istirahat orang tersebut.
Wallahu A’lam.
Artikel ini sebelumnya dimuat di NU Online.