Al-Qur’an sebagai petunjuk kehidupan umat manusia, khususnya umat Islam adalah kitab yang memuat petunjuk dan pedoman hidup manusia untuk menjalani kehidupannya dan berinteraksi sesama manusia, ciptaan-Nya dan tentu sang pencipta. Salah satu realitas kehidupan yang terjadi di sekitar kita adalah adanya kaum difabel.
Jika dilihat, kata difabel berasal dari kata different ability yaitu orang-orang yang berkemampuan berbeda atau orang-orang yang berkebutuhan khusus. Penggunaan kata different ability dimaksudkan untuk mengganti label disable atau disability, yang mempunyai arti penyandang cacat. Karena penggunaan kata disabilitas dianggap diskriminatif dan mengandung stigma negative terhadap para penyandang cacat.
Atau lebih tepatnya penggunaan kata difabel adalah untuk menghargai, orang yang termasuk difabel yaitu Tunanetra, Tunarungu, Tunawicara dan ketidaknormalan fisik.
Rasulullah SAW sendiri diutus oleh Allah SWT adalah untuk menyempurnakan akhlak, oleh karena itulah Islam mengajarkan kepada umatnya untuk mempunyai akhlak yang baik kepada semua ciptaan Tuhan, termasuk kepada difabel.
Di dalam Al-Qur’an sendiri sebagai pedoman hidup umat Islam, ada term-term difabel walaupun tidak ditemukan secara eksplisit yang menunjukkan makna cacat, tetapi hanya ditemukan beberapa term yang memberikan indikasi makna bagian dari kategori difabel.
Setidaknya ada lima kata dalam Al-Qur’an yang merupakan bagian dari difabel. Yaitu, أعمى (a’ma) yang berarti tunanetra atau buta, اكمه (akmah) yang berarti tunanetra yang tidak total, بكم (bukmun( yang berarti tunawicara atau bisu, صم (shummun) yang berarti tunarungu atau tuli, dan أعرج (a’raj) yang berarti tunadaksa atau memiliki kecacatan fiksi, seperti pincang dan lainnya.
Keseluruhan term tersebut, terdapat pada 26 surah, dalam 38 ayat. Yaitu pada surah Al-Baqarah ayat 18, 171, Ali Imran ayat 49, Al-Maidah ayat 71, 110, Al-An’am ayat 39, 50, 104, Al-A’raf ayat 64, Al-Anfal ayat 22, Yunus ayat 42-43, Hud ayat 24, 28, Ar-Ra’du ayat 16, 19, An-Nahl ayat 76, Al-Isra ayat 72, 97, Thaha ayat 124-125, Al-Anbiya’ ayat 45, Al-Hajj ayat 46, An-Nur ayat 61, Al-Furqan ayat 73, An-Naml ayat 66, 80, 81, Al-Qashash ayat 66, Ar-Rum ayat 52-53, 18, 171, Fathir ayat 19, Ghafir ayat 58, Fushilat ayat 17, Al-Zukhruf ayat 40, Muhammad ayat 23, Al-Fath ayat 17, dan Abasa ayat 2.
Akan tetapi tidak semua ayat di atas menunjukkan konotasi makna sebagai kaum difabel secara fisik, tetapi lebih kepada cacat non fisik yaitu digunakan dalam konteks ancaman balasan bagi orang-orang yang menyekutukan Allah SWT. Seperti mendustakan risalah Nabi, mendustakan ayat-ayat Allah SWT, menyembah selain Allah SWT, tidak mengambil manfaat dari pancaindra untuk menelaah kebenaraan, berbuat kerusakan, mengingkari hari akhir, berpaling dari hari akhir.
Kata seperti A’ma, Akmah, Shummun, Bukmun, A’raj dalam Ayat-ayat tersebut, jika dimaknai secara bahasa atau letterlijk kata perkata, memang mempunyai arti yang sama seperti buta, tuli, bisu. Akan tetapi, karena menafsirkan ayat Al-Qur’an juga harus melihat asbabun nuzul ayat tersebut, maka ayat-ayat tersebut tidak semuanya bermakna cacat secara fisik. Namun, lebih kepada cacat teologis. Sebagaimana kondisi masyarakat Arab ketika Islam baru datang di tengah-tengah mereka.
Adapun ayat-ayat yang menjelaskan terminologi difabel atau cacat secara fisik bukan secara teologi, dalam Al-Qur’an terdapat lima. Yaitu pada surah Abasa ayat 2, Ali Imran ayat 49, An-Nur ayat 61, Al-Fath 17, dan Al-Maidah ayat 110.
Keberadaan ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan difabel adalah bukti bahwa sejak Islam diturunkan, selain misi utamanya menyempurnakan akhlak dan mengajak kepada amal baik. Juga peduli kepada kelompok-kelompok yang termarjinalkan, seperti kaum difabel.
Sedikitnya ayat-ayat difabel dalam Al-Qur’an bukan berarti Islam menjadikan mereka sebagai kelompok yang terpinggirkan. Akan tetapi, karena dalam Islam atau dihadapan Allah SWT semuanya itu sama, hanya iman, taqwa, amal baiknyalah yang akan membedakannya. Karena belum tentu orang yang fisiknya sempurna, lebih mulia dihadapan sang pencipta dibandingkan dengan saudara kita yang mempunyai kebutuhan khusus atau difabel.
Oleh karena itulah, ajaran Islam yang dibawa Rasulullah SAW mengajarkan untuk saling bertoleransi dan mewujudkan kasih sayang di tengah keragaman tanpa memandang tentang fisiknya, agamanya, ras, suku dan lainnya.
Wallahu a’lam.