Sekitar 1938, Haji Rasul, bapak dari Buya Hamka, menulis Al-Basha’ir, buku polemik yang volumenya terdiri dua jilid. Beliau dalam keadaan sedang berdebat tulisan dengan al-Ustadz Mahmud Yunus, ulama masyhur lulusan al-Azhar dan Darul Ulya Mesir yang berasal dari Batusangkar, yang kemudian hari kita kenal dengan Prof.Dr. H. Mahmud Yunus (salah seorang ahli pendidikan Islam, shahib dari kamus “sejuta umat”, Kamus Ara-Indonesia).
Apa yang beliau polemikkan? Ialah tentang riwayat isteri Nabi, yang diceraikan Nabi lantaran dilihat beliau cacat. Haji Rasul pernah menulis riwayat ini ketika tengah berdebat dengan seorang datuk, yaitu dalam kitabnya yang berjudul PELITA jilid II. Sementara orang, tersebab mengutip riwayat tentang isteri yang diceraikan Nabi yang tidak ada dalam kitab mu’tabar itu, lantas mencap Haji Rasul menghina Nabi.
Sumatera Tengah menjadi heboh lantaran tulisan Haji Rasul tersebut. Beberapa ulama mencoba mencari kebenaran dengan merujuk kitab-kitab Sirah Nabawiyah, di antaranya Ust. Mahmud Yunus, yang ketika itu tenar sebagai ulama muda yang ‘alim, baru pulang dari Negeri Kinanah. Ust. Mahmud Yunus mengemukakan pendapat mengenai riwayat yang dikutip oleh Haji Rasul itu sebagai riwayat yang lemah/ tidak kuat. Haji Rasul, ulama yang seangkatan dengan guru Mahmud Yunus (Syaikh Thaib Umar Sungayang), tidak menerima, kemudian beliau membantah murid kawannya itu dengan menulis buku dua jilid banyaknya, yaitu al-Basha’ir I dan al-Basha’ir II.
Tidak sampai di situ, sebagaimana diceritakan Hamka, Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM) mengadakan rapat untuk membahas buku itu. Hasil dari kerapatan itu, bahwa Haji Rasul nilai tidak menghina Nabi, sebagaimana yang dikemukakan oleh sementara kalangan, namun hanya mengutip pendapat yang dha’if secara riwayat.
Inilah sosok Haji Rasul, yang nama lengkap beliau ialah Syaikh Abdul Karim Amrullah (1875-1945), ayah dari Buya Hamka, yang merupakan pionir Ulama Pembaharu/ Kaum Muda Minangkabau. Seperti gurunya, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, ia kerap kali terlibat polemik. Lebih dari setengah buku hasil tulisannya ialah buku polemik.
Di antara polemik-polemik beliau, yang dapat kita catat, ialah:
1. Polemik masalah Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah dengan ulama senior Syaikh Muhammad Sa’ad Mungka. Haji Rasul menulis “Izhar Asatir Mudhillin”. Polemik ini tidak digubris Syaikh Sa’ad.
2. Polemik dengan Syaikh Khatib Ali Padang (mertua Syaikh Mudo Wali al-Khalidi Aceh). Syaikh Khatib Ali ini adalah “konco arek, lawan kareh”-nya Haji Rasul. Mereka kerap berdebat, dalam bentuk tulisan. Di antaranya dalam masalah Thariqat Naqsyabandiyah. Haji Rasul bahkan keras mengatakan konconya ini sebagai “al-mu’anid” (pembangkang).
3. Polemik dengan Syaikh Sulaiman Arrasuli al-Khalidi Canduang Canduang. Mereka pernah bermudzakarah secara terbuka di Mesjid Pasia, Ampek Angkek.
4. Polemik “Masalah Berdiri Maulid”. Haji Rasul mengatakan berdiri ketika Mahal Qiyam adalah bid’ah dalam kitabnya.
5. Polemik masalah ushalli, beliau mengatakan bid’ah dan menulis buku berjudul “al-Fawa’id”. Tantangannya disambut oleh Syaikh Sa’ad Mungka, soko guru Ulama Tua Minangkabau. Guru beliau, Syaikh Ahmad Khatib, juga membantah beliau dalam masalah ini. Kritik juga datang dari Syaikh Ma’shum Deli.
6. Polemik khutbah Jum’at dengan Syaikh As’ad Bugis – Sulawesi. Beliau berdua saling berbalas buku.
7. Polemik masalah “perempuan”, yaitu beliau mengkritik gaya kebaya perempuan-perempuan Muhammadiyah. Beliau juga menulis buku tentang ini.
8. Polemik dengan A. Hasan Bandung (Persis). Masing-masing menulis buku).
9. Polemik dengan Ust. Mahmud Yunus, kitabnya al-Basha’ir.
10. Polemik adat Minangkabau dengan Datuak Sangguno Dirajo, dengan menulis buku berjilid-jilid banyaknya.
11. Polemik “Kaji Nur Muhammad” (Syattariyah), beliau tulis buku berjudul Qathi’ Riqab Mulhidin.
Meskipun Haji Rasul ialah sosok yang hidup dalam polemik, mempunyai “lawan” pemikiran yang cukup banyak, namun ketika duduk bersama beliau tetap layaknya bersaudara. Beliau pernah bersama-sama “safari” dakwah dengan Syaikh Sulaiman Arrasuli, meski keduanya berbeda pandangan dalam thariqat, dan pernah berdebat sengit. Beliau tetap berkawan erat dengan Syaikh Jamil Jaho, walaupun beliau berdua pernah bersitegang “pemikiran”. Beliau tetap sejalan dengan sahabatnya Haji Abdullah Ahmad, meskipun keduanya renggang hubungan.
Ketika Pemerintah Belanda berencana mengasingkan Haji Rasul ke Jawa, maka ulama-ulama bereaksi untuk menolak rencana itu. Dua ulama, yang dulu adalah “lawan borek” beliau, Syaikh Sulaiman Arrasuli dan Syaikh Jamil Jaho, secara lantang menolak rencana pemerintah kolonial tersebut. Keduanya bersikukuh membela Haji Rasul.
Indahnya dialektika masa lalu.