Mungkin, salah satu hal yang paling diingat ketika disebut nama seorang tokoh atau ulama adalah karyanya. Bagaimana tidak, karya-karya yang telah dihasilkan oleh para ulama menjadi warisan sekaligus mewakili dan menggambarkan kredibilitas ulama tersebut. Tak heran, jika semenjak dahulu budaya menulis buku atau kitab menjadi budaya yang hingga saat ini terus dirawat dan diteruskan.
Karena, sebenarnya para ulama terdahulu mempunyai dua pola besar dalam menyebarkan ilmu yang mereka punya. Dua pola itu terwakili dalam bentuk pengajaran secara fisik kepada murid-murid beliau dan yang kedua adalah dengan melahirkan karya yang akan terus dibaca hingga saat ini. Namun dari keduanya, tampaknya pola yang kedua lah yang biasanya mempunyai dampak dan hasil yang bisa dirasakan lintas generasi. Tidak hanya semasa hidup ulama itu saja, lebih jauh dari itu bahkan ratusan atau ribuan tahun kemudian. karya itu akan terus bermanfaat. Sebagaimana dikatakan oleh al-Jahidz :
قال الجاحظ – رحمه الله – : القلم أبقى أثراً واللسان أكثر هذراً .
“Dampak yang dihasilkan dari pena/tulisan lebih kekal dan nyata daripada bahasa lisan yang lebih banyak celotehnya”
Di antara ulama yang sangat produktif dalam menulis adalah Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310 H). Beliau adalah seorang ulama yang menguasai berbagai macam bidang keilmuan. Akan tetapi nama beliau lebih kesohor sebagai mufassir kenamaan. Hal itu bisa kita lihat dalam salah satu karya monumentalnya Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an.
Ibnu Jarir at-Thabari merupakan ulama yang mempunyai banyak sekali karya. Diantara beberapa karya at-Thabari yang bisa kita temu saat ini adalah Adab Al-Manasik, Al-Adar Fi Al-Usul, Ikhtilaf, Khafif, Latif Al-Qaul Fi Ahkam Syara‘i’ Al-Islam. ‘Ibarah Al-Ra’yu, Al-Musnad Al-Mujarrad. Fada’il Ali bin Abi Talib, Radd ‘Ala zi al-Asfar, Al-Radd ‘Ala al-Harqusiyyah, Sarih, Tabsyir. Dalam bidang Al-Qur’an, Tafsir al-Thabari, Fasl Bayan Fi al-Qira’at serta dalam bidang sejarah Zayyil al-Muzayyil, Tazhib al-Asar, dan karya monumentalnya Tarikh Al-Umam Wa Al-Mulk.
Produktivitas al-Thabari tampaknya sudah mulai tertanam sejak kecil. Semenjak usia yang belia ia sudah mengkhatamkan al-Qur’an, menjadi imam bersama masyarakat dan menulis kitab hadis di usia 9 tahun. Hal itu pernah ia ungkapkan sendiri:
حفظت القرآن ولي سبع سنين، وصليت بالناس وأنا ابن ثماني سنين، وكتبت الحديث وأنا في التاسعة
“Saya sudah selesai menghafalkan al-quran di usia 7 tahun, saya shalat bersama masyarakat di usia 8 tahun, dan saya mulai menulis hadis di usia 9 tahun”
Imam Khatib al-Baghdadi bahkan pernah menceritakan bahwa Ibnu Jarir at-Thabari selama 40 tahun menulis dalam setiap hari 40 halaman. Ketekunan dan kedisiplinan yang selalu dipegang oleh Ibnu Jarir al-Thabari tampaknya menjadi salah satu kunci penting dibalik karyanya yang menggunung.
Dalam kitab Qimatuz-Zaman Indal-Ulama’ disebutkan, salah satu muridnya, Abu Bakar Ahmad bin Kamil asy-Syajari, menyaksikan bahwa dalam kesehariannya sang guru begitu memperhatikan rutinitas dan mempunyai manajemen waktu yang baik.
Menurut penuturan muridnya tersebut, beliau setiap selesai makan pagi, Ibnu Jarir tidur sebentar. Setelah bangun, ia kemudian mengerjakan shalat Dhuhur. Aktivitas selanjutnya adalah menulis hingga waktu Ashar tiba, kemudian melaksanakan shalat Ashar. Usai shalat Ashar, beliau di majelis bersama orang-orang untuk mengajar sampai datang waktu Maghrib.
Tak cukup sampai di situ, suatu ketika Ibnu Jarir memberikan penawaran kepada santrinya.
“Apakah kalian ingin belajar tentang Tafsir al-Qur’an?”
“Kira-kira berapa tebalnya?” tanya muridnya.
“Mungkin sekitar 30.000 Halaman”
“Wah kalau setebal itu, seumur hidup pun belum tentu kami bisa menyelesaikan belajarnya”
Akhirnya at-Thabari meringkasnya menjadi 3000 halaman. Saat ini tafsir itu adalah tafsir yang kita kenal dengan nama Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an.
Dalam kesempatan lain at-Thabari menawarkan hal serupa kepada santrinya. Namun kali ini at-Thabari menawarkan dalam bidang ilmu sejarah. Santrinya pun seperti biasa bertanya.
“Berapa kira-kira tebalnya,”
“30.000 halaman.”
Para santri pun kembali menggelengkan kepala tanda ketidaksanggupan.
Namun tidak seperti yang awal kali ini Ibnu Jarir justru berkelakar;
انا لله وانا اليه راجعون ماتت الهم
“Innalillahi wainna ilaihi rajiuan, Ya ampun himmah kalian telah hilang”
Sementara itu menurut muridnya yang lain yakni Al Farghani menceritakan di dalam kitabnya yang terkenal yaitu as-Shilah, sebuah pengantar kitab mengenai sejarah Ibnu Jarir Ath Thabari:
Suatu ketika sekelompok murid Ibnu Jarir Ath-Thabari penasaran dengan produktivitas sang guru. Mereka ingin menghitung seberapa banyak karya yang dihasilkannya setiap hari. Mereka pun menghitung sepanjang usia at-Thabari yang sibuk dengan tulis-menulis dimulai sejak usia baligh sampai wafat yakni di usia 86 tahun. Kemudian mereka menghitung jumlah lembaran-lembaran itu, dari penghitungan tersebut dapat diketahui bahwa pada setiap harinya beliau menulis kurang lebih 14 lembar. (AN)