Rasulullah Saw bersabda “Sebaik-baik masa adalah masaku, kemudian orang-orang setelah mereka dan kemudian orang-orang setelah mereka.”
Kesalehan generasi sahabat dan tabi’in memang tak diragukan lagi, mereka adalah orang-orang shaleh yang banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah. Terlebih di bulan Ramadhan, mereka akan melipatgandakan waktu untuk beribadah. Begitu pula dengan al-Aswad bin Yazid.
Nama lengkapnya ialah al-Aswad bin Yazid bin Qois an-Nakho’i, seorang zuhud yang banyak berpuasa dan membaca Al-Quran. Laki-laki yang diberi kunyah Abu Abdirrahman ini merupakan seorang mukhodrom. Ia hidup semasa dengan Rasulullah Saw, namun sayangnya ia tak sempat berjumpa dengan utusan Allah tersebut.
Ia belajar dari para sahabat, termasuk dari Muadz bin Jabal saat Muadz diutus ke Yaman. Selain Muadz, beberapa gurunya diantaranya Aisyah, Bilal, dan Ibnu Mas’ud.
Asy-Sya’bi pernah ditanya mengenai Aswad bin Yazid, ia berkata “Sesungguhnya ia (Aswad bin Yazid) adalah shawwam (banyak berpuasa), qawwam (banyak shalat malam) dan hajjaj (banyak berhaji).
Dikisahkan bahwa Aswad bin Yazid sangat sering berpuasa hingga tubuhnya kurus dan lidahnya hitam karena mengering. Namun ia senantiasa membaca Al-Quran untuk membuat lisannya basah dengan firman-firman Allah Swt.
Di bulan-bulan biasa, Aswad bin Yazid selalu mengkhatamkan Al-Quran sekali dalam seminggu. Sedangkan di bulan Ramadhan ia semakin meningkatkan kualitas dan kuantitas bacaannya, ia mampu mengkhatamkan Al-Quran hanya dalam waktu dua hari.
Selain berpuasa dan membaca Al-Quran, Aswad bin Yazid juga sering berhaji. Ia telah berangkat ke baitullah sebanyak 80 kali, baik untuk berhaji maupun umrah. Selama hidupnya, Aswad bin Yazid banyak beribadah dan menyedikitkan tidur, waktu tidurnya hanya antara magrib dan Isya.
Ketika ia menghadapi sakratul maut, ia menangis sedih. Kawan-kawannya pun bertanya “Mengapa engkau bersedih seperti ini ya Abu Abdurrahman? Bagaimana aku tak bersedih. Sungguh demi Allah, sekalipun aku mendapatkan ampunan dari Allah Swt, aku masih sangat malu atas apa yang sudah kuperbuat.
Sesungguhnya seseorang akan berada di antara dirinya dan dosa kecil terakhir. Lalu Allah Swt pun mengampuninya. Bahkan rasa malu pada Allah masih tetap ada meskipun ia telah diampuni.
Wallahu A’lam