Ketika baru-baru ini seorang ‘ustadz’ di laman facebooknya memosting gambar Imam Besar Universitas Al-Azhar sedang berciuman dengan Paus Fransiskus banyak orang langsung menuduh bahwa sang ustadz sedang menyebar fitnah. Setelah dilaporkan ke polisi atas tuduhan mencemarkan nama baik, sang ustadz tidak bisa mengelak; seakan mengakui telah menyebar foto palsu ia segera menghapus alat fitnah tersebut dari laman facebooknya. Tapi ironisnya ia tidak mengakui kesalahannya, tetapi justru menyampaikan bahwa ia memosting foto tersebut dengan ‘niat baik’ mengingatkan umat Islam agar menolak upaya berdamai dengan penganut Syiah sebagaimana pesan Sang Imam.
Apa yang dilakukan sang ustadz bukanlah kejadian yang baru dan jarang terjadi. Belakangan media sosial seakan penuh sesak dengan berita dan tulisan-tulisan yang didasarkan pada fakta palsu dan disinformasi. Apa yang sedang terjadi? Apakah penyebaran fitnah hanyalah ekspresi kebencian dan kemarahan yang tidak terkendali dari orang-orang yang merasa keyakinanya terganggu?
Seorang ulama yang juga Professor di Universitas Damaskus Suriah, baru-baru ini berkeliling memberi ceramah di sejumlah universitas di Indonesia. Di Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Taufiq Al-Buthi yang merupakan putra dari almarhum Syaikh Ramadhan Al-Buthi, ulama Suriah yang meninggal karena dibunuh pada Malam Jum’at (21/3/2013) saat sedang mengajar/ceramah di masjid Al-Iman Damaskus, memberi pesan berharga bagi Indonesia.
Mengacu pada pengalaman Suriah, negara yang kini hancur oleh perang, Al-Buthi menekankan pentingnya mewaspadai bahaya fitnah bagi keberlangsungan sebuah bangsa. Kelompok ekstrem, menurut Al-Buthi menggunakan fitnah sebagai senjata utama untuk merongrong fondasi sebuah bangsa. Fitnah dianggap mempunyai kekuatan untuk menciptakan jurang yang membelah kekuatan-kekuatan sosial-politik penopang keutuhan bangsa; ia mendorong posisi ekstrim dan pada akhirnya menggoyah pondasi bangsa. Dalam situasi ini, kelompok ekstrim yang pada umumnya adalah kelompok kecil akan memetik keuntungan karena bisa memainkan peran kunci. Keberadaannya dianggap penting oleh masyarakat luar sebagai alat koreksi.
Jadi, fitnah bukanlah sekedar ekspresi kemarahan dan kebencian buta, tetapi lebih dari itu adalah sebuah strategi yang didasarkan pada kesadaran taktis.
Karakteristik Ashabul Fitnah
Dalam Bahasa Arab, Al-Buthi menyebut kelompok ekstrem yang menggunakan strategi fitnah sebagai Ashabul Fitnah. Ada tiga karakter yang menandai kelompok ini.
Pertama, mudah mengafirkan kelompok yang berseberangan baik secara agama dan politik. Dalam Islam, tindakan mengafirkan Muslim lain sangat dilarang; bahkan secara keras Nabi Muhammad pernah mengingatkan bahwa barang siapa mengafirkan Muslim lain maka tuduhan itu bisa berbalik pada dirinya sendiri. Mereka yang suka mengafirkan bisa jadi dia sendirilah yang kafir.
Kedua, sifat takfiri ini berkaitan dengan dengan karakter kedua yakni kecenderungan untuk menciptakan polarisasi berdasarkan aliran (mazhab) dan identitas keagamaan. Polarisasi ini dianggap penting karena pada umumnya tidak ada bangsa yang sepenuhnya homogen. Sejarah sebuah bangsa biasanya dibentuk oleh proses negosiasi dan kompromi di antara kekuatan-kekuatan sosial politik yang berbeda. Dengan demikian dimungkinkan terjadinya koeksistensi damai antar masyarakat yang berbeda identitas dan keyakinan. Di Suriah, menurut Al-Buthi, relasi antar warga tidak dipengaruhi oleh perbedaan agama dan aliran. Adalah hal yang biasa bahwa satu apartemen menjadi tempat tinggal bersama warga yang berbeda keyakinan.
Ashabul Fitnah menyadari pentingnya legasi koeksistensi ini bagi keberlangsungan sebuah bangsa. Karena itu, mereka menyasar pondasi ini dengan menyebarkan rumor dan cara pandang sempit untuk membangun tembok yang membelah masyarakat berdasarkan perbedaan agama dan aliran.
Ketiga, tantangan utama kelompok ekstrem dalam menciptakan polarisasi adalah tokoh atau ulama moderat. Ulama moderat menjadi kekuatan penting karena merekalah yang memberikan basis legitimasi bagi koeksistensi damai. Dalam teori perdamaian tokoh moderat mewakili salah satu prasyarat koeksistensi damai yang disebut “critical mass of peace enhancing leaders.” Dalam sebuah masyarakat multikultur, selalu ada kekuatan yang kritis dan ekstrim. Tokoh pembawa damai dalam jumlah yang cukup kuat (critical mass) menjadi kunci keberlangsungan pluralitas dalam masyarakat tersebut karena merekalah yang bisa membendung rumor dan agitasi yang mengancam kemapanan basis koesistensi.
Karena itu, ashabul fitnah menjadikan tokoh moderat sebagai sasaran. Dalam situasi ekstrim seperti Suriah upaya ini bisa dilakukan dengan membunuh ulama-ulama moderat; tetapi di negara di mana kekerasan fisik beresiko secara hukum, upaya menyerang tokoh moderat bisa dilakukan dengan membunuh karakter mereka misalnya dengan memberikan label-label antagonis seperti liberal, syiah, dan sekuler.
Anti-Virus Fitnah
Fitnah layaknya sebuah virus yang menyerang sendi-sendi utama yang menopang sebuah tubuh. Virus tidak berbentuk luka pada bagian luar tubuh yang nampak secara nyata dan karena itu memicu reaksi cepat. Karena tidak nampak virus seringkali diremehkan, sebelum ia tumbuh berkembang dan menciptakan rasa sakit yang mengganggu gerak tubuh.
Kesadaran tentang ancaman fitnah sudah mulai menguat belakangan; bisa jadi karena ibarat virus fitnah sudah tumbuh berkembang dan mulai mengganggu gerak maju bangsa. Contoh paling nyata adalah Surat Edaran yang dikeluarkan Kapolri pada tahun 2015 yang menginstruksikan aparat kepolisian untuk mengambil tindakan terhadap apa yang disebut dengan istilah ujaran kebencian (hate speech). Surat Edaran ini tidak serta-merta membuat polisi menangkap para pengujar kebencian yang memang tidak mudah dihentikan. Tetapi paling tidak kita melihat langkah maju untuk menghambat persebaran virus fitnah. Situs-situs dan media sosial yang menjadi arena pertempuran ashabul fitnah sedikit-demi sedikit mulai dibatasi. Kementerian Komunikasi dan Informasi mulai bertindak menutup situs-situs ekstrim. Selain itu, kesadaran publik terhadap ancaman fitnah juga mulai muncul. Inisiatif untuk melaporkan fitnah berupa gambar Imam Al-Azhar berciuman dengan Paus adalah contoh nyata yang patut diikuti.
Langkah-langkah seperti di atas adalah anti-virus fitnah yang perlu diperkuat. Kini banyak orang baik bahkan tokoh moderat yang ikut larut dalam arus taktik ashabul fitnah. Hal ini bisa dilihat dari masuknya tema-tema sektarian di kalangan masyarakat yang pada dasarnya moderat. Kekhawatiran dan ketakutan yang terbangun terhadap isu-isu keagamaan seperti ‘bahaya’ Syi’ah, aliran sesat Kristenisasi dan Islamisasi tidak bisa dipungkiri sangat menguntungkan agenda ashabul fitnahuntuk menciptakan polarasi sektarian di negeri ini.
Anti-virus fitnah lain yang ditegaskan oleh Al-Buthi adalah tashih berita atau kesadaran tentang pentingnya menerima berita secara kritis. Dalam ilmu studi perdamaian, anti-virus ini disebut “membunuh rumor.” Istilah membunuh mungkin terasa keras tetapi ini merefleksikan pentingnya merespon dengan tegas persebaran fitnah dan berita palsu yang bertujuan untuk menciptakan kebencian dan polarisasi komunal.
Langkah “membunuh rumor” tidak harus dilakukan dengan melarang aktivitas penyebar rumor, tetapi dengan menyediakan alternatif informasi yang bisa menguji keabsahan rumor. Di sejumlah negara, langkah ini diwakili misalnya oleh keberadaan sejumlah lembaga ‘Fact Check” yang bisa menangkal disinformasi.
Pesan penting yang disampaikan Taufiq Al-Buthi di atas seperti menohok jantung sumber ancaman terhadap keutuhan Indonesia sebagai negara kesatuan yang sejak berdiri begitu bangga dengan identitas Bhineka Tunggal Ika.
Tentu ada yang patut menjadi catatan kritis dari ceramah Al-Buthi yang menjadi inspirasi tulisan ini. Catatan khususnya terkait dengan posisi politik Al-Bouthi yang tampak mengesampingkan pelanggaran HAM pemerintahan Bashar Al-Asad. Al-Bouthi kerap memberikan argumen yang sepenuhnya negatif terhadap negara-negara Barat, seakan fitnah dan kehancuran yang terjadi di Suriah adalah sepenuhnya ulah “konspirasi Barat.” Cara pandang esensialis demikian mengesampingkan keragaman dari apa yang secara sederhana disebut “Barat” dan “Islam”.
Terlepas dari itu, pengalaman Suriah sebagai sebuah bangsa yang hancur karena polarisasi sektarian patut menjadi pelajaran berharga agar Indonesia tetap utuh. []
M. Iqbal Ahnaf, Penulis adalah Pengajar di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), UGM.
Sumber: CRCS UGM