Asghar Ali adalah seorang sarjana muslim yang memiliki pemikiran menarik tentang perempuan dalam Islam
Sebagian pandangan masyarakat tentang perempuan saat ini masih sama dengan pandangan terhadap perempuan zaman dahulu. Ada anggapan bahwa perempuan hanya pantas di rumah saja, perempuan tidak boleh bekerja di luar rumah. Sebagian masyarakat ada yang setuju, namun tidak sedikit juga yang menolak pandangan tersebut.
Dalam permasalahan ini, kita perlu membaca pemikiran Asghar Ali tentang hak perempuan dalam ajaran Islam.
Asghar Ali Engineer atau yang biasanya dikenal dengan Asghar Ali merupakan seorang pemikir pembaharu dan aktivis sosial. Pada 10 Maret 1939, ia dilahirkan di Salumbar Rajashtan, India. Ayahnya bernama Syeikh Qurban Husain dan ibunya bernama Maryam. Rekam jejak pendidikan beliau dimulai pada saat menempuh pendidikan sekolah dasar di India. Kemudian pada jenjang perguruan tinggi ia melanjutkan di Universitas Vikram pada tahun 1956.
Semasa hidupnya, Asghar Ali tidak hanya mendapatkan pendidikan formal. Ia juga diajarkan pendidikan non-formal oleh ayahnya, meliputi ilmu-ilmu keislaman (tafsir, hadis, teologi, dan fikih). Asghar Ali juga dikenal sebagai tokoh pemabaharu yang dapat menguasai beberapa bahasa, seperti bahasa Inggris, Hindi, Marathi, Gujarati, Arab, Persia, dan Urdu.
Asghar Ali pernah bekerja sebagai insinyur selama 20 tahun di Bombay Municipal Corporation. Pada tahun 1993, ia menyelesaikan karyanya tentang harmonitas komunal dan dialog antar agama dan dianugerahi gelar D.Liit (Hon) dari Universitas Calcutta sebagai bentuk apresiasi atas karyanya tersebut. Asghar Ali Engineer merupakan sosok pergerakan sosial yang aktif dalam menulis, baik artikel maupun jurnal.
Berbagai macam pemikirannya mengenai pembaharuan Islam berhasil ia tuangkan dalam forum ilmiah, perkuliahan, seminar, ceramah, dan lain-lain di berbagai negara. Pemikiran keislamannya diharapkan dapat memberikan kerangka teoritik dalam menyebarkan pemikiran keagamaan pada umat Islam karena lebih fokus pada teologi pembebasan.
Selain itu, Asghar Ali juga fokus pada persoalan gender yang bertujuan untuk membangun pola pikir dengan mengulas kembali ulasan dogmatis yang kita kenal saat ini. Pemikiran Asghar Ali mengenai perempuan relatif sama dengan para tokoh pemikir Islam, namun ia dikenal lebih kritis. Dalam bukunya yang berjudul “Pembebasan Perempuan”, Asghar Ali pernah menyatakan bahwa perempuan selalu berada di bawah kuasa laki-laki selama ribuan tahun. Selama itu juga, perempuan dianggap lebih rendah dari pada laki-laki.
Hal itu mengakibatkan perempuan tidak dapat diandalkan oleh laki-laki, karena mereka merasa mampu mengatasi semua persoalan yang ada. Sebaliknya, perempuan hanya patut diandalkan di dapur. Dengan adanya pandangan tersebut, Asghar Ali mencoba menjelaskan kandungan Al-qur’an bahwa semua manusia (laki-laki ataupun perempuan) memiliki kehormatan yang sama.
Dalam tulisannya, Asghar Ali berpendapat mengenai perempuan yang memiliki beberapa hak dalam Islam. Pertama, tentang hak waris. Asghar Ali menegaskan bahwa perempuan berhak mendapatkan warisan dari separuh bagian laki-laki. Hal ini telah menjadi prinsip Islam seperti yang terkandung dalam Al-qur’an mengenai seorang suami yang harus memberikan nafkah pada istri meskipun istri mempunyai harta yang lebih.
Kedua, tentang kesaksian. Para fuqaha berpendapat bahwa kesaksian dua perempuan sebanding dengan satu laki-laki, hal ini seolah menandakan bahwa kedudukan perempuan di bawah laki-laki. Namun menurut Asghar Ali, ketentuan tersebut berawal dari keadaan zaman yang berbeda. Di zaman dahulu perempuan kurang berpengalaman dalam masalah keuangan, sehingga mereka membutuhkan bantuan untuk mengingatkan ketika terjadi kesalahan.
Ketiga, tentang posisi perempuan dalam keluarga. Asghar Ali berpendapat bahwa perempuan memiliki hak untuk bekerja, bahkan mereka juga mempunyai hak untuk menyimpan upah dari pekerjaan tersebut untuk diri sendiri. Namun jika pihak perempuan ingin berbagi dengan suami maka tetap diperbolehkan.
Asghar Ali juga berpendapat, dalam ekonomi industrial modern ini peran perempuan menjadi semakin besar. Sebagian dari perempuan saat ini diharuskan untuk bekerja agar dapat memenuhi kehidupan keluarga. Hal ini berarti perempuan dan laki-laki memiliki keadilan gender dan secara keseluruhan, bahkan Al-Qur’an juga mengakui keadilan gender antara laki-laki dan perempuan ini. (AN)