Salahuddin Khalil ash-Shafadi dalam kitabnya berjudul Nakt Al-Himyan fi Nukat Al-‘Umyan, salah satu kitab yang secara khusus membahas perihal kelebihan orang-orang hebat dan terkenal namun tunanetra, mengungkapkan, “Jarang sekali ada orang tunanetra yang bodoh, dan tidak pernah dijumpai orang-orang tunanetra kecuali ia memiliki kecerdasan”.
Kesimpulan as-Shafadi itu tidak bisa kita anggap sebagai kesimpulan yang tak berdasar. As-Shafadi telah memberikan banyak contoh atas kesimpulan yang ia berikan. Ia menyebutkan beberapa tokoh seperti at-Tirmidzi al-Kabir (ahli hadis), as-Syathibi; salah seorang ulama pakar qiraat, al-Faqih Manshur al-Mishri (Penyair), Ibn Siydah (Pakar Bahasa), dan beberapa ulama lain.
Bahkan, Ash-Shafadi juga memberikan daftar tokoh-tokoh tunanetra mulai zaman pra-Islam (jahiliyyah) hingga masanya. Tokoh-tokoh tersebut ia sebut secara berurutan, dimulai dari huruf alif hingga ya`.
Dari berbagai tokoh yang disebutkan, tidak sedikit pula yang merupakan ulama penghafal Al-Qur’an dan ahli qiraat, termasuk as-Syathibi.
Disebutkan oleh as-Shafadi, bahwa as-Syathibi yang bernama lengkap al-Qasim bin Firruh bin Khalaf bin Ahmad ar-Ru’aini as-Syathibi merupakan ulama ahli qiraat, alim, cerdas, banyak hafalannya dan mampu menguasai berbagai macam fan keilmuan.
Kitab Hirz al-Amani merupakan bukti betapa luasnya ilmu yang dikuasai oleh as-Syathibi. Dalam kitab tersebut as-Syathibi menjelaskan, “Siapa saja yang membaca nadzam yang aku susun dalam kitab ini, maka Allah akan memberikan kepadanya ilmu yang manfaat, sebab aku menyusunnya dengan ikhlas lillahi ta’ala.”
Keilmuan dan kecerdasan beliau telah diakui oleh siapapun. Bahkan, setiap orang yang tidak mengetahui beliau dapat dipastikan akan menduganya sebagai orang normal yang bisa melihat, lantaran terlampau cerdas dan sama sekali tidak ada tanda-tanda seperti tunanetra.
Syams ad-Din Abu al-Khair bin al-Jazari dalam kitabnya yang menjelaskan biografi para ahli qiraat: Ghayah An-Nihayah menjelaskan akan hal itu. Ibn al-Jazari mencatat bahwa as-Syathibi sejak kecil tidak bisa melihat, namun memiliki banyak kelebihan,
“Aku pernah mendapat cerita dari salah satu guruku bahwa, setiap usai shalat Subuh, as-Syathibi membuka majelis talaqqi Al-Qur’an, dan begitu banyak orang yang berdatangan untuk mengaji kepadanya. Setiap kali akan memulai, as-Syathibi duduk dan mengatakan, “Siapa saja yang datang pertama, bacalah!” kemudian mereka membaca secara berurutan.”
Suatu ketika ada salah seorang yang datang pertama, namun kala majelis dimulai as-Syatibi tidak lagi mengatakan, “Siapa yang datang pertama, maju,” melainkan,“Siapa saja yang datang kedua, bacalah!”
Orang kedua pun maju dan orang yang datang pertama tersebut bingung, apa yang membuat ia tidak dipanggil untuk membaca, dosa apa yang diperbuat? Tak berselang lama, ia baru ingat bahwa semalam ia mimpi basah dan lupa belum mandi wajib.
Seketika itu ia mandi dan kembali ke majelis. Setelah orang kedua tadi selesai membaca di hadapan as-Syathibi, baru ia dipanggil, “Orang yang datang pertama, silahkan baca!”.
Selain as-Syatibi juga ada sederet ulama’ pakar Al-Qur`an tunanetra lainnya yang disebut oleh Ash-Shafadi, yaitu: Ja’far bin Ali bin Musa Abu Muhammad al-Baghdadi, Abu al-Hasan al-Bathaih, Ahmad bin Yusuf al-Kawasyi, Abdullah bin Ahmad bin Ja’far, dan beberapa ualam lain.
Melihat fakta-fakta mengenai tokoh-tokoh tunanetra tersebut, as-Shafadi menjelaskan bahwa kebanyakan orang-orang tunanetra memiliki kecerdasan luar biasa dibanding orang normal. Menurutnya, orang tunanetra mampu menggabungkan antara hati dan apa yang dipikirkan. Orang yang tunanetra lebih memiliki kemampuan konsentrasi tinggi dibanding orang normal. Mereka mampu fokus melebihi orang-orang biasa pada umumnya.
Oleh sebab itu, Ash-Shafadi menjelaskan pula, mengapa kebanyakan orang ketika lupa dan berusaha mengingat, mereka akan memejamkan mata dan seketika itu ia akan ingat kembali. Orang dikala memejamkan mata, ia dapat fokus dan tidak terganggu atas apa yang telah dilihatnya.
Wallahu a’lam.