Ketika Arie Untung mengatakan lewat akun twitternya @ArieKuntung bahwa aksi menolak ICERD sebagai “The Power of Ukhuwah Malaysia 812”, sungguh saya merasa geli. Betapa tidak, ukhuwah cap opo yang justru berupaya mempertajam perbedaan rasial?
Tapi, buru-buru kegelian itu saya sangsikan mengingat bahwa yang bersangkutan adalah komedian, dan oleh sebab itu tidak menutup kemungkinan jika Arie Untung sedang mengicaukan sebuah satire. Namun, tetap saja ia mengganggu nalar awam saya. Pasalnya, pada saat yang sama Arie Untung adalah ikon seorang hijrah populis.
Ya, lazimnya orang-orang hijrah populis lainnya, mereka itu ingin masuk surga atau meniru sunah Kanjeng Nabi tapi dengan medium alternatif yang sangat minimalis. Meskipun saya juga sadar bahwa tidak semuanya demikian. Akan tetapi, fenomena hijrah yang belakangan ini cukup digemari sejumlah artis justru menunjukan betapa agama cenderung menjadi sebuah komoditas: entah bisnis, politik, atau apapun itu.
Walhasil, seperangkat tema-tema kunci dalam Islam yang sekiranya menguntungkan, kemudian dimodifikasi sedemikian rupa untuk menawarkan sebuah produk.
Baik. Pada awalnya memang ajakan untuk berhijrah. Meninggalkan yang gelap dan menuju terang. Lalu, narasi yang dikampanyekan nyaris itu-itu saja. Tapi karena dikemas dengan gincu agama, ia pun laris manis. Tidak peduli berapapun nominalnya, selama apa yang dibeli seolah-olah ada “garansi” surganya, itu bukanlah soal yang berarti.
Bagi para perempuan, eh akhwat maksut saya, ambilah misal pemakaian hijab. Konon, hijab ini tidak hanya wajib, tapi juga dapat menjauhkan ukhti dari dosa-dosa mengumbar aurat yang mengundang syahwat.
Sayangnya, pengertian aurat dan asal-usul atau konteks hijab yang sangat Timur Tengah sentris tidak mendapatkan porsi penjelasan yang cukup. Pokoknya wajib, gitu aja. Pun dijelaskan, para agen ~travel~ hijrah itu semata-mata hanya mengutip dalil lalu menafsirkan secara serampangan tanpa proses telaah dan perenungan yang mendalam.
Maka, tak heran jika denfinisi hijab, jilbab, dan kudung pun kini menjadi kabur. Sebab, pengertian aurat sendiri nyaris diseragamkan dengan takaran mukena Salat yang hanya boleh memperlihatkan kedua telapak tangan dan wajahnya saja. Sementara, pertimbangan-pertimbangan di luar sembahyang yang, aurat boleh jadi dimaknai secara kontekstual sebagai batas wajar kehormatan bagi perempuan, tidak lagi dipandang penting.
Walhasil, jadilah propaganda hijab syar’i. Semua dipukul rata. Dipikirnya orang-orang macam Najwa Shihab, Megawati, atau bahkan ibu-ibu petani yang kalau nanam padi jalannya mundur itu imannya tidak lebih kaffah ketimbang para akhwat aktivis dakwah di kampus-kampus atau televisi-televisi yang jilbabnya udah kaya mukena. All size.
Itu baru satu produk hijrah yang musti dibayar perempuan, eh akwhat maksudnya.
Sementara, bagi laki-laki, ambilah contoh poligami. Kendati dalam beberapa kasus, seminar poligami juga ada yang memfasilitasi para akhwat, itu soal lain. Yang jelas, pertama-tama yang musti diasadarkan adalah para laki-laki sebagai penopang nafkah lahir-batin sehari-hari.
Meski selain itu juga masih banyak lagi ajakan “surgawi” setamsil memanjangkan jenggot, topi tauhid, celana cingkrang kekinian, dan segala macam produk distro syar’i untuk menambah ~tampilan~ keimanan dan ketakwaan antum. Intinya poligami adalah koentji.
Pada titik ini, saya tidak sedang bermaksud melarang poligami. Akan tetapi, praktik poligami yang diglorifikasi seolah-olah menjadi takaran keimanan itulah yang mestinya kita pertanyakan. Maksudnya, kalau mau poligami ya poligami aja, sih. Toh, itu hak privasi antum. Tapi gaperlulah sekiranya dikomodifikasi menjadi ladang peruntungan ekonomi.
Sebetulnya, masih ada lagi satu produk hijrah populis yang tak kalah meriah dan bisa dikonsumsi bagi laki-laki maupun perempuan: nikah muda. Namun sepertinya bukan waktunya untuk membahas itu pada artikel ini. Yang jelas, nikah itu bukan hanya urusan perlendiran _an sich_. Ia musti mensyaratkan kemapanan mental, sosial dan tak kalah penting ekonomi.
Karenanya, propaganda “pacaran itu seperti bahagia di rumah yang belum dibeli: untungnya belum tentu, dosanya sudah pasti” yang termuat dalam _Udah, Putusin Aja_-nya Felix Siauw, saya kira bukanlah analogi yang adil ketika pada saat yang sama ia mengandung objektifikasi dosa jariyah yang dibebankan kepada salah satu pihak: perempuan.
Dan terakhir, di atas itu semua, gerakan hijrah populis ini akan mencapai titik puncak kesadaran mengenai pentingnya kebangkitan politik umat Islam. Dengan kata lain, dalam beberapa kasus, sejumlah produk di atas hanyalah pemanis belaka untuk menyelipkan agenda-agenda politik Islam.
Meski untuk yang terakhir ini masih perlu kajian yang serius dan mendalam, akan tetapi sejumlah fakta yang ada sejauh ini nyaris menunjukkan kebenaran asumsi tersebut.
Lihat saja saat pecahnya 212 atau pada reuni akbar 212 misalnya. Berapa banyak artis dan ikon hijrah populis yang bertengger di atas panggung, atau sekurang-kurangnya merasa bahwa imannya akan auto-luntur kalau tidak mengikuti festival itu?
Lebih jauh, berapa banyak artis atau ikon hijrah populis yang baru belajar Islam sepelemparan batu, lalu dengan begitu merasa sudah sangat nyunah dan bahkan berani menyandang gelar ustaz/ah kemudian mengobral dalil selaras kepentingan dirinya?
Jangan dijawab. Itu bukan pertanyaan.