Pada Februari lalu, ada tiga bangsa di Bumi yang hampir bersamaan mendaratkan wahana antariksa di Mars: Amerika Serikat mengirim Perseverance, China membesut Tianwen-1, dan Uni Emirat Arab mengorbitkan Misbar al-Amal.
Amerika tak perlu dibahas lagi: Perseverance adalah wahana antariksa mereka yang kesekian ratus. China? Ya, mereka punya segalanya sekarang. Negara calon adidaya itu bukan hanya tidak sudi menganggurkan sepetak wilayah tak bertuan seperti Laut China Selatan, bahkan planet kering kerontang pun tak akan mereka biarkan.
Uni Emirat Arab! Orang Arab? Ya. Orang Arab mengirim robot penjelajah ke planet berjarak 480 juta kilometer dari Bumi dan menempuh perjalanan selama tujuh bulan. Misi luar angkasa itu dipimpin oleh seorang perempuan, yang berkerudung, Sarah al-Amiri, dan bahkan 80 persen anggota tim Sarah ialah kaum hawa. (Ironi, sementara di negeri lain, masih ada sebagian kaum perempuannya dilatih menunggang kuda dan memanah.)
Tak diragukan lagi, itu pencapaian luar biasa orang Arab, yang menyiratkan bahwa mereka tak hanya cukup kaya untuk mendanai misi luar angkasa, tetapi juga telah merengkuh ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka bahkan sudah mencanangkan membangun permukiman di Mars pada 2117.
Titik Terjauh
Segera setelah Misbar al-Amal tiba di ‘gerbang’ Mars dan mengirim foto planet merah itu ke Bumi, tagar #ArabstoMars menggema di media sosial. “Ini adalah titik terjauh di alam semesta yang dapat dijangkau oleh orang-orang Arab sepanjang sejarah mereka,” kata Wakil Presiden UEA Mohammed bin Rashid al-Maktoum. Misbar al-Amal memang wahana nirawak, namun kita mengerti maksudnya kalau mereka mendaku telah ke Mars.
Perayaan yang dirangkum dalam semboyan #ArabstoMars itu seolah-olah maklumat untuk umat manusia yang berisi sedikitnya dua hal pokok:
Pertama, orang Arab—minimal orang Arab di negara UEA—sudah move on dari kenangan kejayaan masa silam pada zaman kekhalifahan. Sekarang mereka bangkit dan bertekad melanjutkan tradisi intelektual leluhur jauh mereka seperti ilmuwan al-Biruni, atau penjelajah Ibnu Batutah. Alih-alih mau mendirikan lagi kekhalifahan, di Bumi, mereka malahan merintis hunian di Mars.
Kedua, misi luar angkasa itu bukan sekadar untuk gagah-gagahan atau gaya-gayaan, melainkan demi bersumbangsih pada ilmu pengetahuan dan masa depan umat manusia. Misi Misbar al-Amal—menyelidiki atmosfer Mars—memang berbeda dengan Tianwen-1 atau Perseverance. Tetapi mereka akan segera berbagi informasi dan pengetahuan dengan hasil ekplorasi Tianwen-1 dan Perseverance, dan wahana-wahana lain.
Hasil penyelidikan Misbar al-Amal barangkali akan sangat berguna untuk mengatasi perubahan iklim global yang mengancam umat manusia di Bumi. Upaya manusia untuk menguak misteri gempa bumi, sekalian untuk memprakirakannya, mungkin akan terjawab dari hasil investigasi Perseverance dan Tianwen-1. Pengetahuan tentang iklim dan keberadaan mikroba—kalau ada, atau pernah ada—di Mars mungkin dapat menemukan cara baru bagi manusia untuk memerangi virus penyebab penyakit di Bumi.
Destabilisasi Politik
Pencapaian bangsa Arab di UEA dalam misi eksplorasi ruang angkasa, begitu pula dengan negara-negara lainnya—pada masa lampau maupun masa depan—pastilah buah dari pencapaian di bidang ekonomi. Tetapi, sebagaimana diingatkan astronom NASA, Carl Sagan, dalam Pale Blue Dot, pencapaian itu meniscayakan satu prasayarat utama: kestabilan politik.
Anda tak akan mengharapkan negeri porak-poranda seperti Suriah untuk meluncurkan wahana antariksa ke Mars. Parlemen di negara seperti itu mustahil akan menyetujui memberikan dana ratusan juta dolar untuk membiayai proyek setara Misbar al-Amal yang senilai 200 juta dolar AS (Rp2,9 triliun).
Tampak muram situasinya kalau membandingkannya dengan Indonesia. Situasi politik di negara yang dua puluh enam tahun lebih dahulu merdeka daripada UEA ini hampir tak pernah stabil. Tidak porak-poranda seperti Suriah, memang, namun selalu bergejolak. Apalagi kalau menengok peristiwa sepanjang sekurang-kurangnya lima tahun terakhir.
Topik yang selalu menyulut polemik panas dan memicu destabilisasi tak jauh-jauh dari empat kata berikut ini: penistaan, kriminalisasi, dizalimi, komunis. Setiap kali satu atau beberapa kata itu menjadi polemik, memantik huru-hara, situasi politik tampak sangat rapuh dan berpotensi merusak.
Diakui atau tidak, kadang-kadang, peristiwa hukum di satu tempat dapat memicu gejolak di tempat lain, seperti halnya aksi bom bunuh diri di Makassar pada Minggu, 28 Maret 2021. Sebagian besar orang memang mengutuknya, tetapi ada yang secara diam-diam mendukung, atau minimal bersimpati—mendukung atau bersimpati pada misi pergi ke surga: #IndonesiatoHeaven.
Anda bisa mengamati di media sosial: siapa atau kelompok apa yang, tentu saja secara diam-diam, bersimpati pada ‘misi pergi ke surga’ itu. Dengan hanya penelusuran singkat, Anda akan segera tahu afiliasi politiknya. Mereka lebih memedulikan pencapaian ke surga ketimbang menjelajahi Semesta.
Entah surga itu lebih jauh atau lebih dekat daripada ke Mars, yang pasti, atau tampaknya, waktu tempuhnya jauh lebih singkat.