Hadis-hadis yang menceritakan pembunuhan terhadap penista Nabi ini hadir dalam berbagai literatur dalam bentuk percikan-percikan peristiwa yang tidak utuh. Ini artinya, jika sanksi bunuh langsung diberikan kepada penistanya terlihat bahwa kesimpulan ini terlalu terburu-buru.
Karena itu, satu-satunya cara untuk melihat secara lengkap peristiwa ini ialah dengan melihat semangat zaman di masa Nabi. Zaman di masa Nabi dan beberapa abad setelahnya adalah zaman perang, zaman ketiadaan stabilitas politik. Karena itu, hukum apapun yang diproduk di masa ini harus dipahami dalam kerangka instabilitas politik termasuk hukuman mati yang dijatuhkan kepada para penista Nabi.
Menghina Nabi akan menjerumuskan seorang muslim menjadi murtad. Hukum murtad di masa itu, menurut ar-Raysuni, ulama dari Maroko dalam al-Kulliyat al-Asasiyyah, harus mempertimbangkan dua hal: pertama, jika sekedar keluar dari Islam dan pindah ke agama lain, hukumnya tidak dibunuh; kedua, jika masuk Islam hanya menjadi mata-mata atau musuh dalam selimut, lalu keluar dari Islam dan melaporkan rahasia negara ke pihak musuh, orang yang bersangkutan wajib dibunuh.
Aspek yang terakhir ini dilakukan sebenarnya bukan karena pertimbangan agama tapi lebih karena pertimbangan politik di masa itu. Fenomena keluar masuk Islam adalah fenomena biasa di masa Nabi. Namun yang tidak biasa ialah soal bagaimana mengidentifikasi politik di balik baju keimanan. Suatu kelompok Yahudi yang berada di bawah kendali Ka’ab bin al-Asyraf memiliki banyak mata-mata yang disebar di kalangan umat Islam dengan pura-pura masuk Islam. Beberapa pengikutnya ada yang ketahuan berpura-pura lalu keluar Islam. Nabi saat itu memerintahkannya untuk dibunuh. Kebijakan ini wajar karena jika dibiarkan, negara Madinah secara politik akan mengalami kerugian besar.
Jika kita balik lagi ke persoalan diskursus bunuh bagi penista Nabi ini, tentu harus dilihat aspek politiknya. Selama ini hadis-hadis yang dihadirkan tidak memotret secara utuh peristiwa pembunuhan terhadap penista Nabi tersebut. Dalam memahami hadis-hadis tersebut kita tidak cukup dengan melihat apa yang terkatakan namun juga harus mampu mengungkap yang tak terkatakan secara jelas. Aspek yang terkatakan ialah ada orang yang menghina dan mencaci Nabi lalu dihukum bunuh. Sedangkan yang tak terkatakan ialah soal keberpihakan politik sang penista, pro negara Madinah dengan simbolnya Nabi Muhammad SAW atau pro-musuh dengan simbolnya Ka’ab bin al-Asyraf dan kawan-kawan.
Dalam kondisi perang, tentu sikap politik yang rasional ialah berhati-hati. Jadi dua wanita penghina Nabi bisa jadi adalah yang pro-musuh. Ini jelas berbahaya bagi negara. Hal ini berbeda dengan al-Hakam bin Abi al-Ash. Nabi tidak membunuhnya namun hanya sekedar mengusirnya dari Madinah ke Thaif.
Ini artinya al-Hakam bin Abi al-Ash melakukan penistaan murni terhadap Nabi tanpa disertai embel-embel politik, yakni penghianatan terhadap negara Madinah. Karena itu hukumannya cukup dengan diusir dari Madinah ke Thaif. Menariknya, di Thaif banyak sekali aliansi-aliansi Bani Umayyah, terutama dari Bani Tsaqif. Jadi diusirnya al-Hakam ke Thaif bisa dikatakan hukuman yang amat ringan.
Kendati al-Hakam yang merupakan leluhur raja-raja Bani Umayyah ini dilaknat Nabi, namun menariknya keturunan al-Hakam bin Abi al-Ash sendiri kelak di masa negara Bani Umayyah banyak yang berjasa terhadap Islam. Marwan bin al-Hakam dan anaknya yang bernama Abdul Malik bin Marwan merupakan deretan khalifah yang secara kredibilitas keagamaan diakui di kalangan sunni. Imam Malik dalam al-Muwathha’nya terkadang banyak menimba inspirasi ijtihadnya dari Abdul Malik bin Marwan ini.