Dalam perbincangan mengenai video kemarahan seorang ustadz yang viral di media sosial, muncul sebuah komentar yang membicarakan tentang gaya hidup sebagian kalangan ulama yang menurut mereka “bermewah-mewahan”. Faktnya, memang banyak ulama yang terlihat hidup bermewah-mewahan, seperti menaiki mobil mahal, mengenakan pakaian bagus, dan semacamnya. Seolah tidak mungkin orang kaya bisa zuhud.
Bagi mereka yang berkomentar demikian, ulama sewajarnya meninggalkan kemewahan dunia, berzuhud. Secara bahasa, Zuhud dimaknai sebagai lawan dari berhasrat dan gemar terhadap dunia (Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Jil. 3, h. 196). Dengan kata lain, seorang zahid (orang yang berzuhud) tidak memiliki hasrat terhadap hal-hal duniawi.
Namun, apakah dengan memiliki segala kemawahan berarti seorang tidak bisa berzuhud? Tentu penilaian tersebut dapat dikatakan terlalu sembrono. Mengapa? Karena zuhud bukan berarti larangan untuk menjadi kaya. Tengok saja beberapa sahabat Nabi SAW yang memiliki kekayaan berlimpah, yang paling masyhur tentu khalifah Utsman bin Affan RA.
Lalu, bagaimana makna zuhud yang sebenarnya? Sufyan as-Tsauri (w. 161 H), sebagaimana dikutip dalam al-Risalah al-Qusyairiyah (h. 115) mengatakan:
الزهد في الدنيا قصر الأمل, ليس بأَكل الغليظ ولا بلبس العباء
Zuhud terhadap dunia adalah sedikitnya harapan (terhadapnya), bukan dengan memakan makanan yang keras dan memakai pakaian yang tidak layak.
Praktek zuhud yang dilakukan sebagian orang dengan memakan makanan seadanya, atau memakai pakaian yang lusuh, banyak sobekan, tidak layak pakai, justru banyak dikritik. Karena, justru yang demikian malah menyulitkan diri sendiri. Dalam sebuah perkataan yang dikutip oleh Imam al-Qusyairi (w. 465 H) dalam al-Risalah al-Qusyairiyah (h. 115) dinyatakan:
ينبغي للعبد أن لا يختار ترك الحلال بتكلفه، ولا طلب الفضول مما لا يحتاج إليه، ويراعي القسمة فإن رزقه الله مالا من الحلال شكره, وإن وقفه الله على حد الكفاية لم يتكلف في طلب ما هو الفضول.
Dianjurkan bagi seorang hamba agar tidak mempersulit diri dengan meninggalkan sesuatu yang halal, dan juga tidak meminta (kepada Allah) hal-hal yang di luar kebutuhannya. Jika Allah memberi rezeki harta kepadanya, maka ia bersyukur. Sebaliknya, ketika Allah mencukupkan sesuai batas kebutuhan (dasar), ia tidak meminta lebih.
Sehingga, tidak ada salahnya memiliki harta lebih selama itu halal. Yang jelas, ia harus mensyukurinya dengan cara menggunakannya sebagai sarana beribadah kepada Allah. Bahkan, sebagian ulama membatasi zuhud hanya terhadap hal-hal yang diharamkan.
Orang yang berzuhud, sekalipun memiliki harta yang banyak atau jabatan yang bertumpuk, ia memandang semua hal itu tidak bernilai apapun. Sebagaimana pernyataan Abu Abdillah ibn Jala` (w. 306 H):
الزهد هو النظر إلى الدنيا بعين الزوال لتصغر في عينك, فيسهل الإعراض عليك عنها
Zuhud adalah memandang dunia tidak bernilai di matamu, sehingga kamu akan mudah untuk berpaling darinya.
Karena dunia tidak bernilai di hadapannya, orang yang berzuhud tidak memiliki harapan untuk meraih hal-hal duniawi. Orang yang berzuhud tidak mendatangi dunia, namun dunialah yang justru datang kepada mereka. Ada sebuah ungkapan lain yang dikutip oleh al-Qusyairi:
من صدق في زهده أتته الدنيا راغمة, ولهذا قيل: لو سقطت قلنسوة من السماء لما وقعت إلا على الرأس من لا يريدها
Barangsiapa yang berzuhud dengan benar, dunia akan mendatanginya meski ia tidak menginginkannya. Karena hal inilah dikatakan: seandainya sebuah peci jatuh dari langit, peci tersebut hanya akan menimpa orang yang tidak menginginkannya.
Demikianlah, bahwa kehidupan ulama yang terlihat mewah di mata kita tidak selalu berarti mereka tidak berzuhud. Atau, bukan tidak mungkin, orang kaya bisa zuhud. Karena zuhud seseorang tidak bisa dinilai dari banyaknya dunia yang dimiliki. Orang kaya yang tidak terpaut dengan segala kepemilikannya itu lebih zuhud daripada orang yang tidak kaya namun selalu mengejar dunia. Wallahu a’lam.