Pernahkah Anda bertanya bahwa kenapa sih al-Qur’an turun dengan Bahasa Arab? Tidakkah lebih universal jika al-Qur’an memakai Bahasa Inggris, misalnya? Atau, tidakkah menggunakan Bahasa Indonesia akan lebih bisa kita pahami? Secara saja, Indonesia itu adalah negara dengan populasi masyarakat Muslim terbesar di dunia.
Jika pernah, maka jawaban yang paling sederhana adalah karena Nabi Muhammad merupakan orang Arab. Dan, Bahasa Inggris, secara usia, tidaklah lebih senior dari Bahasa Arab. Apalagi Bahasa Indonesia. Ada bejibun kosa kata Bahasa Arab yang bahkan tidak bisa terwakili oleh Bahasa Indonesia, even English.
Namun di atas itu semua, al-Qur’an bukanlah sekadar risalah yang melulu berkutat dengan teori-teori yang sulit dipahami. Sebaliknya, ia begitu membumi dengan—salah satu buktinya adalah— adanya unsur sastrawi yang tidak tertandingi. Jumhur ulama menyepakati hal ini.
Terus terang, saya bukanlah praktisi atau pakar sastra. Namun, sebentar lagi, lewat riwayat-riwayat berikut kita akan menjadi lebih mafhum betapa kandungan sastra al-Qur’an itu memang benar-benar nomor wahid.
Jangan salah, kendati Al-Qur’an itu berbahasa Arab, bukan berarti ia tidak dipahami oleh orang kafir Quraisy. Yang benar saja, sekafir-kafirnya orang Quraisy, Bahasa Arab adalah bahasa ibu mereka. Ini sekaligus menjelaskan bahwa audiens pertama yang menjadi target operasi al-Qur’an merupakan masyarakat Arab.
Atas alasan itulah, Tuhan sebetulnya mengkritik orang kafir Quraisy bukan karena mereka tidak paham al-Qur’an, tetapi lebih pada mereka tidak mau merenungi apa yang ditawarkan al-Qur’an. Tentu saja, ini adalah tamparan bagi kita yang jangankan merenungi, wong paham saja belum, namun dengan pongahnya mengibarkan bendera seolah-olah jubir Tuhan dalam menegakkan kebenaran.
Nah, sekarang kalau kita tanya, apakah orang kafir Quraisy itu bisa paham Qur’an? Tentu saja sangat bisa. Kita punya banyak riwayat tentang orang kafir yang masuk Islam setelah mendengar Qur’an. Yang paling masyhur adalah ceritanya Umar bin Khathab. Anda bisa cek detailnya di sini.
Tapi, percayalah, ada yang lebih kocak. Keterangan ini saya sadur dari salah satu kajian Tafsir Jalalain yang diampu KH Bahaudin Nur Salim (Gus Baha) scene surat an-Naml ayat 1-9.
Apakah Anda kenal dengan Walid bin Mughirah? Jika tidak, maka sama, saya juga tidak.
Meski begitu, Walid dikabarkan pernah muntab gara-gara disindir oleh al-Qur’an. Dan, jangan bayangkan kalau geramnya Walid itu a la – a la para “pembela” agama masa kini yang marah-marah ketika Capres pilihannya batal menang.
Kalau Anda secara detail membaca sejara Islam awal, maka Anda akan mendapati bahwa Walid merupakan seorang preman sekaligus salah satu oposan paling ulung Nabi Muhammad Saw. Kelak, atas kepremanan Walid itu, umat Islam diberkahi seorang panglima perang yang tangguh bernama Khalid. Ya, siapa lagi kalau bukan Khalid bin Walid bin Mughirah.
Ceritannya, satu waktu Walid mendengar surat al-Qalam ayat 10-13. Teks Arabnya Anda bisa cek di al-Qur’an. Tapi intinya begini:
Walaa tuthi’ kulla (Muhammad, kamu jangan mengikuti orang yang) hallaafin (tukang sumpah) mahiin (yang hina), hammaazin (tukang melecehkan orang lain) masysyaa-in bi namiim (tukang mengadu/ tukang fitnah), mannaa’in lilkhayri (tukang menghalang-halangi kebaikan) mu’tadin atsiim (terus meliwati batas), ‘utullin ba’da dzaalika zaniim, an kaana dzaa maalin wabaniin (yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya; karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak).
Menariknya, dari sekian karakter yang disebut oleh al-Qur’an, Walid memahami betul dan mengakui bahwa itu semua melekat dalam dirinya, kecuali satu perkara: zaniim!!
Sontak, dia menjadi naik pitam karena tersinggung. Lha gimana, Walid itu adalah anaknya Pak Mughirah. Sedangkan, Mughirah itu min bani Makhzum (menyandang nama Keluarga Besar Makhzum), suku Quraisy terhormat.
Ringkasnya, Walid harusnya berdarah biru. Istilah bekennya adalah anak sultan. Namun, yang demikian itu dibantah oleh al-Qur’an. Tidak terima disebut zaniim (seorang yang nasabnya ngaku-ngaku), Walid lalu mendatangi Ibunya. Dialognya kira-kira begini:
“Buk, Muhammad itu menyifati aku dengan banyak karakter dan, terus terang, semuanya benar. Akutu sadar kalau tukang sumpah, sering kurang ajar, dan suka fitnah.”
“Tapi”, lanjutnya, “ada satu yang ganjil. Masa aku disebut sebagai orang yang nasabnya palsu? Padahal, bagaimanapun, Muhammad ya gak mungkin bohong, bukan?”
Duh, pucing pala Walid.
Bayangkan! Sebebal-bebalnya seorang Walid, ia masih mengakui kejujuran Nabi. Dan yang lebih mendasar, Walid kelewat paham dengan apa yang dimaksud oleh al-Qur’an. Kita yang bahkan sejak jabang bayi didaulat sebagai Muslim belum tentu secanggih Walid.
Plus, zaman itu belum ada kitab tafsir, tapi Walid dengan detail bisa paham isi Qur’an. Bukankah ini menarik?
Alhasil, ibunya pun mengaku, setelah Walid mendesak dengan ancaman bunuh. Ya, Walid, konon, mengancam akan membunuh ibunya jika ia tidak diberitahu apa yang terjadi. Dan, ini sekaligus membuktikan betapa garangnya Walid.
“Jadi begini, bapakmu itu memang orang berpunya…. tapi impoten. Karena impoten, maka gak bisa bikin anak. Lalu, ada seorang penggembala dan aku tidur dengannya. Ya, jadinya kamu itu!!”
Terang saja, Walid pun mimbik-mimbik. Segera setelah itu, ia mengutuk, “bedebah betul!! Muhammad itu memang kurang ajar. Omongan kok semuanya benar.”
Poinnya adalah orang kafir Quraisy itu pada dasarnya paham betul dengan ayat sekaligus kandungan al-Qur’an. Sederhana saja, terkadang Al-Qur’an itu turun dengan memakai khitab orang kafir. Mengapa? Ya karena agar mereka berislam.
Serupa dengan itu, turunnya ayat 11 surat al-Mudatsir juga masih tentang Walid bin Mughirah. Dan, ini juga tak kalah menarik, karena sababun nuzul ayat ini berkenaan dengan legitimasi sosial Walid yang kondang sebagai sastrawan.
Di situ Walid, sekali lagi, tidak bisa sembunyi dari pesona al-Qur’an, kendati pada akhirnya memilih ingkar.
Mula-mula Walid mendatangi Nabi, lalu Beliau Saw membaca al-Qur’an. Di luar dugaan Walid menjadi terkesima. Kabar ini sampai ke telinga Abu Jahal. Abu Jahal kemudian bersiasat kepada Walid.
“Man, Paman!! Sesungguhnya kaummu akan mengumpulkan harta untuk diberikan padamu agar engkau mengganggu Muhammad”, kata Abu Jahal.
“Badala, bukankah seantero Quraisy paham betul kalau akulah yang paling kaya di antara mereka?” balas Walid.
Abu Jahal menimpali, “ya kalau begitu, ucapkanlah suatu perkataan yang menunjukkan bahwa engkau ingkar dan benci Muhammad!!”
“Sik tho, sik tho, apa yang harus kukatakan?!” Walid pun mulai ngegas.
“Demi Allah”, lanjutnya, “tidak ada di antara kalian yang lebih tinggi syairnya, sajaknya, ataupun kasidahnya daripada gubahanku. Bahkan, syair-syair bangsa Jin pun tidak ada yang bisa mengungguliku. Meski begitu, demi Allah, sejauh yang aku tahu, apa yang dirapalkan Muhammad itu adalah murni, bagus, indah, gemilang, dan cemerlang. Tidak sedikitpun aku mendapati ucapan Muhammad jika sedang mendaraskan al-Qur’an.”
Lalu, Abu Jahal berkata, “ya gimana ya, masalahnya orang-orang tidak akan senang sebelum engkau menunjukkan kebencianmu kepada Muhammad.”
“Baiklah kalau begitu, biarkan aku berpikir sejenak,” pungkas Walid.
Sejurus kemudian, ia (Walid) mengumandangkan bahwa ucapan Muhammad itu hanyalah sihir yang berkesan dan memberi bekas kepada yang lainnya.
Lalu, turunlah ayat 11 surat al-Mudatsir. Ini versi al-Hakim yang disahihkan dan bersumber dari Ibnu Abbas dengan sanad yang sahih pula menurut syarat al-Bukhari. Demikian pula dikutip Ibnu Jarir at-Thabari dan Ibnu Abi Hatim. Wallahu a’lam.