P ISNU[:id]Baru-baru ini, seorang netizen dilaporkan ke polisi atas dugaan ujaran kebencian dan SARA karena menyebut pahlawan nasional non-Muslim sebagai kafir. “Di al-Qur’an, katanya, sebutan kafir untuk yang tidak beriman pada Allah dan Rasul-Nya. Saya salah ikut al-Qur’an?” Demikian cuitan orang itu. Mengikuti al-Qur’an jelas tidak salah bahkan wajib bagi mukmin dan muslim. Yang salah adalah mengikuti seleranya sendiri memenggal al-Qur’an dan tidak memahaminya secara utuh berdasarkan ilmu. Al-Qur’an harus dipahami berdasarkan konteks dan pertalian antar-ayat (munâsabah), asbâbun nuzûl, penjelasan Nabi, nâsikh-mansûkh, serta memahami uslûb dan karakteristik ayat. Perihal uslûb dan karakteristik ayat al-Qur’an bisa dibaca dalam tulisan saya di link ini sebagai pengantar.
Memukul rata non-Muslim sebagai kafir yang harus dimusuhi bukan hanya tidak adil dan tidak sejalan dengan al-Qur’an, tetapi juga merusak prinsip negara-kebangsaan yang tidak mendiskriminasi warga negara berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan. Nation-state yang telah disepakati sebagai konsensus nasional, menurut saya, adalah ‘illat (faktor) keberlakuan hukum. Pemberlakuan dan pengamalan hukum, termasuk hukum Islam, harus dilakukan dalam kerangka NKRI. Dalam NKRI, misalnya, orang tidak bisa menerapkan hukum hudûd (jilid, rajam, potong tangan, qisas dst) karena tidak diakui dalam hukum positif di Indonesia. Idiom kafir, baik itu dzimmî maupun harbî, juga tidak bisa diterapkan dalam konteks nation-state dan demokrasi. Sebab, dalam negara-bangsa berdasarkan demokrasi, warga-negara tidak dikualifikasi berdasarkan agama, ras, dan golongannya. Kedudukan mereka sama di muka hukum (equal before the law).
Menyebut pahlawan nasional non-Muslim sebagai kafir bukan hanya mengingkari konsensus nasional oleh founding fathers yang mendirikan Indonesia sebagai negara-kebangsaan, bukan negara agama, tetapi juga tidak adil dalam perspektif al-Qur’an itu sendiri. Apakah semua orang yang mengingkari risalah Muhammad disebut kafir? Apakah mereka harus dihadapi dengan sikap bermusuhan selamanya? Mari kita lihat penjelasannya di dalam al-Qur’an. Untuk alasan teknis, saya akan kutip terjemahannya. Mohon diperiksa langsung teks-nya di dalam al-Qur’ân al-Karîm aslinya. Membaca al-Qur’an, bukan terjemahannya, sudah dinilai ibadah, apalagi memahami maknanya.
1. Yang mengingkari risalah Nabi Muhammad saw terdiri dari beberapa kelompok yang dibeda-bedakan oleh al-Qur’an. Saat risalah Islam didakwahkan, Nabi ditentang dan dimusuhi oleh kafir Quraisy. Dalam banyak kitab tafsir, mereka sering disebut sebagai kuffâru Makkah. Pengikut Yahudi kebanyakan tinggal di Yatsrib, yang kelak namanya diganti Madinah, bersama suku Aus dan Khazraj. Sementara orang-orang Nasrani kebanyakan tinggal di Yaman, beberapa ratus mil dari pusat dakwah Nabi. Mereka disebut sebagai Ahlul Kitâb. Sebelum Nabi hijrah ke madinah, orang Yahudi sering mengharap kedatangan Nabi untuk menguatkan kedudukan mereka sebagai pemuluk monoteisme melawan bangsa Arab yang pagan. Tetapi, setelah Nabi hijrah ke Madinah, orang Yahudi mengingkari kenabian Muhammad. (Lihat QS. al-Baqarah/2: 89). Mereka kecewa karena Nabi yang ditunggu-tunggu itu, yang tersebut dalam kitab suci mereka, ternyata berasal dari keturunan Arab, bukan dari Bani Israel. Mereka menentang Nabi dan bahkan berkomplot dengan kafir Quraisy memusuhi Nabi. Perhatikan redaksi dalam QS. al-Bayyinah/98: 1 berikut ini:
“Orang-orang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan (agama mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata.”
Jika kita gunakan analisis bahasa, dalam ayat itu tersebut kata ‘min’ yang oleh mufasir disebut lit tab’îdz yang artinya sebagian. Jadi, orang kafir itu sebagian berasal dari Ahlul Kitâb. Artinya, tidak semua Ahlul Kitâb itu kafir.
2. Ahli Kitab terdiri dari Yahudi dan Nasrani, demikian pendapat jumhûr ulama. Ada juga yang berpendapat, selain umat Yahudi dan Nasrani, Ahlul Kitâb juga mencakup pemeluk agama Majusi (penganut ajaran Zarathustra), Hinduisme-Budhisme (penganut ajaran Budha), dan Konfusianisme (penganut ajaran Konfusius). Karena mereka membawa ajaran sebelum Nabi Muhammad, patut diduga mereka adalah para Nabi yang sumber kebenarannya bersifat samawi, karena itu mereka juga termasuk Ahlul Kitâb. Sembelihan dan makanan mereka halal, wanita-wanitanya boleh dinikahi. (Lihat uraian Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1993, h. 193). Pendapat ini tidak banyak diikuti.
Yang disepakati mayoritas, Ahlul Kitâb adalah Yahudi dan Nasrani. Ahlul Kitab tidak sama. Ada yang menolak ajaran Nabi tetapi bersahabat dengan Nabi dan pengikutnya. Ada juga yang menerima ajaran Nabi tetapi menolak dan memusuhi orangnya. Perhatikan ayat berikut ini:
“Mereka itu tidak sama. Di antara Ahlul Kitâb ada golongan yang berlaku lurus. Mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam-malam hari, sedang mereka bersujud” (QS. Ali Imran/3: 113).
Di ayat lain, Allah berfirman yang menegaskan bermacam-macam sifat Ahlul Kitâb yang tidak tunggal:
“Dan sesungguhnya di antara Ahlul Kitâb ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah, dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Ali Imran/3: 199)
Orang-orang Yahudi menolak dan mengingkari risalah Nabi bukan karena ajarannya, tetapi orangnya. Ajaran monoteisme Yahudi sama dengan tauhid yang dibawakan Nabi. Yang mereka tolak adalah Nabi yang berasal dari bangsa Arab. Oleh mufasir, al-magdzûb alaihim (orang-orang yang dimurkai) dalam QS. al-Fatihah merujuk kepada orang Yahudi yang dicela karena arogansi rasial mereka. Al-Qur’an banyak sekali mengecam Yahudi dengan nada keras.
Jika Yahudi mengakui ajaran Nabi tetapi menolak orangnya, kaum Nasrani menolak ajaran Nabi tetapi menerima orangnya. Mereka meyakini doktrin Trinitas dan menolak ajaran tauhid Nabi. Tetapi, mereka menyambut umat Islam dengan tangan terbuka, seperti yang dilakukan Negus, penguasa Ethiopia, yang melindungi muhajirin generasi pertama yang dipimpin Ja’far ibn Abi Thalib, sepupu Nabi. Dalam al-Qur’an, sikap orang Nasrani ini banyak dipuji. Meskipun akidah mereka sesat, sehingga al-dlâllîn dalam QS. al-Fatihah oleh mufasir dirujuk ke mereka, tetapi sikap mereka yang bersahabat mendapat pujian al-Qur’an. Perhatikan beberapa ayat berikut ini. Dua ayat bicara soal kesesatan teologi Nasrani, satunya bicara soal sikap mereka yang dipuji.
“Sungguh telah kafir orang-orang yang berkata, ‘sesungguhnya Allah itu adalah al-Masih ibn Maryam.” (QS. al-Maidah/5: 72)
“Sungguh telah kafir orang-orang yang mengatakan bahwa Allah adalah salah satu dari tiga, padahal tidak ada tuhan yang disembah kecuali Tuhan Yang Maha Esa.” (QS. al-Maidah/5: 73)
“Sungguh akan kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang musyrik. Dan sungguh akan kamu dapati orang-orang yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman adalah orang-orang yang berkata, ‘sesungguhnya kami ini orang Nasrani.’ Yang demikian karena di antara mereka terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, dan juga karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri” (QS. al-Maidah/5: 82).
Jika kita perhatikan ayat-ayat ini, al-Qur’an mengecam Yahudi dengan nada keras karena kesombongan dan kedengkiannya terhadap Nabi, meskipun tauhid mereka lurus. Di sisi lain, al-Qur’an mencela teologi Nasrani yang sesat, tetapi memuji sikap sosial mereka yang bersahabat. Nabi diriwayatkan pernah menangis membaca ayat yang berisi dialog antara Allah dan Nabi Isa berikut ini (QS. al-Maidah/5: 116-118):
“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, “Wahai Isa putra Maryam! Apakah engkau mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua Tuhan selain Allah?” (Isa) menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya, tentulah Engkau mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahi segala yang gaib.”
“Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (yaitu) ‘sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu’ dan aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di tengah-tengah mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkaulah Yang Maha Menyaksikan segala sesuatu.”
“Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu. Dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”
Rasulullah bersimpati dengan kaum Nasrani. Meski menolak ajaran Nabi, tetapi mereka tidak memusuhi Nabi dan umatnya sekeras Yahudi. Salah satu wujud simpatinya, Nabi bersedih oleh kekalahan bangsa Romawi Timur yang Nasrani dari bangsa Persia yang Majusi. Perhatikan QS. ar-Rum berikuti ini:
“Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Romawi, di negeri yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan akan menang dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu, bergembiralah orang-orang yang beriman karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang (QS. ar-Rum/30: 1-5).
3. Dari poin 1 dan 2 dapat ditarik benang merah bahwa tidak semua Ahlul Kitâb kafir. Di antara Ahlul Kitâb, al-Qur’an lebih lembut terhadap kaum Nasrani yang bersahabat, rendah hati, dan tidak sombong. Terhadap kaum Yahudi, sikap al-Qur’an sangat tegas karena keangkuhan dan permusuhan mereka terhadap Nabi dan umat Islam. Perhatikan ayat berikut ini:
“Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka.” (QS. al-Baqarah/2: 120).
Redaksi yang digunakan untuk Yahudi adalah ‘lan’ (tidak akan pernah) yang berarti nafi permanen. Sementara redaksi yang digunakan untuk Nasrani adalah ‘wa la’ (tidak pula) yaitu nafi yang lebih terbatas. Sikap Yahudi yang memusuhi Nabi dan sering melanggar kesepakatan menyebabkan disharmoni. Terhadap Ahlul Kitab yang menyerang dan memusuhi Nabi, al-Qur’an melarang berteman akrab dengan mereka, mengangkat mereka sebagai teman setia atau pemimpin. (Lihat QS. al-Maidah/5: 51 dan QS. Ali Imrân/3: 118). Bagaimana jika mereka tidak menyerang dan memusuhi? Sikap al-Qur’an jelas. Perhatikan beberap ayat berikut ini:
“Apabila mereka condong kepada perdamaian, maka condong pulalah kepadanya dan berserah dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Anfal/8: 61).
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (QS. al- Mumtahanah/60: 8-9).
Al-Qur’an bahkan melarang mengganggu tempat-tempat peribadatan mereka, baik dalam kondisi perang apalagi damai. Perhatikan ayat berikut ini:
“Dan seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Dan Allah akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (QS. al-Hajj/22: 40).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, Indonesia bukan negara Islam. Tidak semua hukum Islam dan idiom Islam dapat digunakan di Indonesia, kecuali yang sudah diserap sebagai hukum positif. Melabelkan idiom kafir untuk warga Indonesia non-Muslim tidak tepat, apalagi kepada pahlawan bangsa yang berjasa memerdekakan negara Indonesia tercinta. Idiom itu tidak elok digunakan di ruang publik yang mengakui fakta kebhinekaan dan persamaan di muka hukum. Penggunaan idiom kafir dengan nada permusuhan mengabaikan fakta bahwa al-Qur’an sendiri membedakan non-Muslim berdasarkan akidah dan sikap sosialnya. Terhadap Ahlul Kitab yang bersahabat, al-Qur’an memerintahkan umat Islam berbuat adil dan condong kepada perdamaian. Kerja sama dan perkawanan dengan mereka tidak dilarang, seperti dicontohkan Nabi yang berkawan dengan Negus.
Kedua, idiom kafir dalam al-Qur’an mencakup kaum pagan (orang musyrik penyembah berhala), kaum ateis (mulhid), dan sebagian Ahlul Kitab. Terhadap Ahlul Kitâb, kafir adalah kata sifat untuk mereka yang memusuhi Nabi dan menolak risalah Nabi (Yahudi) dan mereka yang membelokkan ajaran monoteisme menjadi Trinitas (Nasrani). Tidak semua Ahlul Kitâb kafir dalam definisi itu. Sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an, sebagian Ahlul Kitâb lurus akidahnya, rendah hati, dan bersahabat dengan Nabi dan umat Islam. Terhadap mereka dianjurkan bersikap adil dan diperbolehkan bersahabat. Yang dilarang adalah berkarib dengan mereka yang memusuhi umat Islam dan mengusir dari tanah airnya.
Ketiga, dari dua Ahlul Kitâb yang disepakati Jumhur, al-Qur’an lebih cenderung menerima kehadiran kaum Nasrani yang bersahabat ketimbang Yahudi yang agresif dan congkak. Al-Qur’an mencela kaum Nasrani karena menyelisihi ajaran monoteisme Ibrahim, tetapi memuji sikap sosial mereka yang rendah hati dan bersahabat. Di sisi lain, al-Qur’an mengutuk Yahudi karena tabiat mereka yang culas, congkak, dan khianat meskipun akidah mereka monoteistis. Semasa hidup Nabi, umat Islam sering bentrok dengan Yahudi karena keculasan mereka, bukan karena akidah mereka.