Seperti kita maklumi bersama bahwa salah satu syarat sahnya shalat adalah suci dari hadast dan najis. Untuk menghilangkan hadas kecil, kita diwajibkan berwudhu, dan untuk menyucikan diri dari hadas besar kita diharuskan mandi.
Ketika kita menanggung hadas kecil dan hendak mengerjakan shalat diharuskan berwudhu terlebih dahulu. Sebaliknya dalam keadaan suci yang perlu kita perhatikan adalah mempertahankan atau menjaga status kesucian itu dengan cara menghindari semua perkara yang dapat membatalkan wudhu. Atau hal ini secar populer dinamakan mubthilat al-wudhu atau asbab al-hadats.
Pertanyaannya, adalah apakah menyentuh istri oleh suami termasuk perkara yang dapat membatalkan wudhu?
Imam Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, menjelaskan paling tidak ada 7 pendapat dalam masalah tersebut (menyentuh istri oleh suami termasuk perkara yang dapat membatalkan wudhu).
Pertama, persentuhan kulit antara lelaki dan perempuan bukan mahram secara langsung (tanpa penghalang) dapat membatalkan wudhu baik dengan atau tanpa sengaja disertai atau tanpa syahwat. Ini merupakan pendapat Madzhab Syafi’i. Umar bin Khattab, Ibnu Mas’ud, dan Abdullah bin Umar demikian halnya Makhul al-Sya’bi al-Nakhai dan lain-lain.
Kedua, tidak membatalkan secara mutlak. Pendapat ini kebalikan dari pendapat pertama. Para pelopornya antara lain Ibnu Abbas, Atho, Masruq, dan Abu Hanifah termasuk beberapa tokoh yang mendukung pendapat yang kedua ini.
Ketiga, persentuhan tersebut membatalkan bila disertai sahwat. Dengan demikian, persentuhan itu tidak batal kalau terjadi tanpa dengan sahwat (nafsu birahi).
Keempat, membatalkan jika dilakukan dengan sengaja.
Kelima, membatalkan kalau menyentuhnya dengan anggota wudhu
Keenam, membatalkan jika disertai sahwat walaupun terdapat penghalang yang tipis.
Ketujuh, kalau menyentuh perempuan halal (istri) tidak batal. (lihat pula al-Mizan al-Kubra: I,120).
Dari keterangan Imam Nawawi tampak jelas bahwa menurut madzhab Syafi’i yang selama ini kita amalkan meneyentuh perempuan membatalkan wudhu. tentu saja yang dimaksud di sini adalah pereempuan yang sudah cukup dewasa dalam arti sudah dapat menarik lawan jenisnya, serta tidak tergolong mahram, yakni perempuan yang haram dinikah akibat hubungan nasab, hubungan perkawinan dan susuan.
Adapun istri, karena tidak termasuk mahram, menyentuhnya tetap membatalkan wudhu. Kalau ditelusuri lebih dalam, salah satu penyebab timbul perbedaan di atas adalah ketidaksamaan dalam memakai kata lamastun pada ayat 43 surat al-Nisa sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apayang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh (lamastun) perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Nisa;43).
Terhadap ayat ini, sebagian ulama mengartikannya dengan “menyentuh”. Sedangkan sebagian yang lain menginterpretasikannya dengan “bersetubuh”. Keduanya dari segi bahasa dimunkinkan, keterangan lebih lanjut misalnya dapat dilihat pada kitab Rawa’i al-Bayan: I, 477-490.
Kalau dirasa sulit menghindari persentuhan kulit dengan istri khususnya atau perempuan pada umumnya, dapat saja kita berpindah madzhab dengan mengikuti madzhab Hanafi yang dikembangkan oleh Imam Abu Hanifah.
Sudah barang tentu mengikutinya harus secara total dalam satu qadhiyah, dalam hal ini meliputi tata cara berwudhu dan hal-hal yang bersangkutan dengannya secara komplit, yang meliputi rukun, syarat, dan perkara yang membatalkan.
Rukun wudhu menurut Madzhab Hambali ada empat, yakni membasuh muka, kedua tangan, kaki, dan mengusap seperempat kepala. Sedangkan perkara yang membatalkan meliputi keluarnya sesuatu dari jalan depan dan belakang, hilangnya kesadaran, tertawanya orang shalat dengan terbahak-bahak, bersetubuh, mengalirnya najis seperti darah dan nanah dari badan, muntah-muntah sampai memenuhi mulut.
Wallahu A’lam.
Disarikan dari Dialog Problematika Umat, hal: 7-9, Khalista, Surabaya, 2014.